08 Agustus 2010

opini musri nauli : Paradok




Dalam waktu yang bersamaan, kita menyaksikan bentuk perlawanan dari anak negeri. 

Kusen Sastrosuwito (78) bersama lima kepala keluarga lainnya selama 53 tahun tinggal di atas tanah tanpa surat-surat yang jelas. 
Tiba-tiba saja, tanah yang disinyalir milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini harus diambil paksa dari mereka untuk pembangunan kantor Pengadilan Agama yang baru. 

Puluhan warga Rawa Kebo, Rawa Sari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pun langsung menunjukkan solidaritas dan simpatinya. 

Mereka nekat menguburkan diri dalam tanah yang lembab di sekitar lokasi yang akan digusur. 

Aksi kubur diri menentang pengosongan lahan di Rawa Kebo. Bahkan, beberapa di antaranya membacakan Surat Jasin dari Alquran yang lazimnya diucapkan untuk mereka yang sudah meninggal. 

 Sementara Pong Harjatmo (68) seorang aktor senior “nekad” memanjat atap kubah Gedung DPR-RI dengan menyemprot “pilox” tulisan “Jujur, Adil, Tegas". Pramono Anung, menganggap aksi Pong Harjatmo yang memanjat gedung DPR sebagai bentuk otokritik rakyat kepada anggota Dewan (Tempo, 2 Agustus 2010). 

 Sedangkan Orang tua, Maura Bily, siswa kelas IV SD Negeri Kepatihan, Banyuwangi, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD. Edi Subandi, orang tua Bily, memprotes tindakan Saiful Rohman, wali kelas IV SD Negeri Kepatihan, yang dianggap melakukan pemukulan sehingga anaknya mengalami luka lebam di bagian kakinya. 

Luka tersebut akibat pukulan penggaris kayu yang diayunkan pada anaknya hingga sebanyak 27 kali. 

 Di lain peristiwa pertandingan antara Sriwijaya FC dan Arema Malang di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, diwarnai kericuhan para pendukung Arema. Ribuan suporter Aremania mengamuk setelah tim kesayangan kalah 1-2. Mereka mengadakan aksi bakar di stadion dan melempari wasit Jimmy Napitupulu dengan botol air mineral. PARADOKS HUKUM Bagaimana kita melihat peristiwa-peristiwa itu ?. 

Cara-cara seperti “menguburkan diri”, “memanjat atap kubah Gedung DPR”, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD”, “mengamuk” adalah bentuk perlawanan akibat macetnya saluran hukum, politik dan demokrasi. 

Cara “menguburkan diri” dilakukan karena mekanisme hukum terhadap penyelesaian tanah di Rawa Kebo, Rawa Sari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat dianggap akan “mengusir” masyarakat. 

Masyarakat tidak percaya kepada mekanisme penyelesaian hukum melalui jalur formal. Hukum dianggap tidak berpihak. 

Pemerintah DKI dengan argumentasi “legal-formal” lebih berhak dibandingkan dengan warga. 

 Padahal berdasarkan Pasal 1963 Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ini yang intinya berbunyi :“bahwa seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama 30 tahun, maka ia memperoleh hak milik atas sesuatu tersebut tanpa dipaksa untuk menunjukkan alas haknya”. 

Penerapan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut telah sejalan pula dengan pendapat Prof. DR. Soebekti S.H. dalam bukunya yang berjudul POKOK POKOK HUKUM PERDATA halaman 186, yang menyatakan bahwa dengan lewatnya waktu 30 tahun, bizitter yang jujur tersebut tidak diharuskan mempertunjukkan sesuatu titel lagi, artinya ia dapat menolak tiap tuntutan dengan hanya menunjukkan bezitnya selama 30 tahun berturut-turut dengan tidak pernah mendapat gangguan, dan ia akan dianggap telah memperoleh hak milik atas barang itu ; 

 Namun cara “menguburkan diri” merupakan bentuk perlawanan hukum terhadap alasan “legal-formal”. 

Masyarakat sudah “kehabisan akal” menghadapi sikap Pemerintah DKI yang ngotot dan tidak menghargai keberadaan masyarakat yang sudah tinggal disana. 

 PARADOKS POLITIK 

 Sikap yang sama juga ditempuh oleh Pong Harjatmo. 

Aktor senior “nekad” memanjat atap kubah Gedung DPR-RI dengan menyemprot “pilox” tulisan “Jujur, Adil, Tegas". 

Sikap “ “memanjat atap kubah Gedung DPR” dilakukan karena tersumbatnya mekanisme saluran politik. 

Parlemen yang “seharusnya” memperjuangkan kepentingan rakyat kemudian terjebak dengan pragmatis semu. 

Parlemen lebih sibuk mengurusi “dana aspirasi”, “rumah aspirasi”, “studi banding” dan sibuk “mengurusi” bagaimana tunjangan dan fasilitas terus didapatkan. 

Hampir tidak ada sikap yang jelas terhadap persoalan yang berkaitan dengan rakyat. 179 kali “Meleduk”nya kompor gas 3 kg sama sekali tidak menarik perhatian parlemen. 

Bahkan anggota malah bolos dan titip absen dan hanya mampu menyelesaikan 5 RUU dari 70 RUU yang harus diselesaikan tahun 2010. 

 Sementara partai sibuk “berkoalisi”, “gertak” kepada Pemerintah, membangun Sekgab, bersolek diri, sibuk kalkulasi menghitung “peluang” menjadi Kepala Daerah dan berbagai “jabatan”. 

 Sementara Pemerintah sendiri sibuk “mengeluh”, “mengaku akan diserang kelompok teroris”, “membuat album rekaman lagu”, “membangun pencitraan”, lamban, peragu dan tidak pernah mengambil keputusan tegas. 

 Kasus Century yang seharusnya menjadi terang benderang, namun redup dan entah kemana juntrungannya. 

 Sehingga sikap “nekad” Pong Harjatmo merupakan bentuk perlawanan politik terhadap sistem politik yang ada. 

 PARADOKS SOSIAL 

 Sementara Edi Subandi, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD” dan “mengamuknya” suporter Arema merupakan akumulasi dari problema sosial yang terus menghimpit masyarakat. 

Sikap “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD” dan “mengamuk” merupakan puncak gunung es dari problema sosial yang tidak dapat diselesaikan. 

Bentuk “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD” dan “mengamuknya” merupakan wujud katup konflik sosial. 

Hak mendapatkan pendidikan yang diperlakukan tidak adil yang dirasakan oleh Edi Subandi membuat mekanisme harus dilakukan dengan cara-cara “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD”. 

 Begitu juga “mengamuknya” suporter Arema bukan semata-mata akibat kekalahan tim kesayangan dalam pertandingan antara Sriwijaya FC dan Arema Malang di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah. 

Sama sekali tidak. 

Terlalu sederhana memaknai “mengamuknya” dengan kekalahan dalam pertandingan. 

Apalagi menghubungkan dengan “sikap aneh dan intervensi” Kapolda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Alex Bambang Riatmodjo untuk mengganti wasit Jimmy Napitupulu. 

 INDONESIA DAN PARADOKS 

 Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu konflik atau kontradiksi. (wikipedia). 

Kata paradoks seringkali digunakan dengan kontradiksi, tetapi sebuah kontradiksi oleh definisi tidak dapat benar, banyak paradoks dapat memiliki sebuah jawaban, meskipun banyak yang tetap tak terpecahkan 

 Dalam kajian filsafat, paradok diletakkan dalam bingkai pernyataan yang betul atau sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi. 

Dalam filosofi moral, paradoks memainkan peranan pusat dalam debat tentang etik. Maka menghubungkan menguburkan diri” dengan paradoks hukum, “memanjat atap kubah Gedung DPR”, dengan paradoks politik, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD”, “mengamuk” dengan paradoks sosial bukanlah dilihat etik, tapi harus dilihat dari konteks premis yang akan menunjukkan kebenaran. 

Cara-cara seperti “menguburkan diri”, “memanjat atap kubah Gedung DPR”, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD”, “mengamuk” membutuhkan jawaban, apakah paradoks itu akan berhadapan dengan hukum, politik dan sosial. Dari sudut ini, maka cara seperti “menguburkan diri”, “memanjat atap kubah Gedung DPR”, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD”, “mengamuk” telah menemukan jawaban sementara (tentatif). 

Cara-cara ini kemudian effektif untuk menawarkan “premis” kebenaran. Bandingkan “Premis” kebenaran yang yang ditawarkan kaum agama islam menentukan kiblat. 

Departemen Agama menengarai ada 70% masjid di Indonesia yang arah kiblatnya melenceng dari yang seharusnya. Karena itu, pihaknya meminta agar ada pengukuran kembali. 

Pergeseran 1 derajat saja, maka perbedaanya bisa berjarak 114 kilometer dari Baitullah. Hal itu disebabkan pergeseran bumi, salah satunya akibat gempa bumi. 

 Atau “premis” intelektual masuk partai. 

“Premis” ini ditawarkan oleh Rofiqi Putra Pertama, Pengkhianatan Kaum Intelektual. “Premis” yang ditawarkan, berangkat dari terlibatnya para intelektual seperti Ulil Abshor Abdalla (PD), Indra Jaya Piliang (Golkar), Zuhairi Misrawi (PDIP) dan Bima Arya Sugiarto (PAN). “Premis” yang ditawarkan intelektual berjarak dengan kekuasaan  Atau “Premis” Pembangunan Tanpa Roh, Hendri Saparini (Kompas, 7 Juli 2010). 

Premis yang ditawarkan diagnosis terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. 

Indonesia telah mendayung ekonomi pada jalur paradigma yang salah selama puluhan tahun. Diagnosis terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. 

Pilihan Indonesia untuk menggantungkan pembiayaan pembangunan pada utang, mempercepat liberalisasi di berbagai sektor tanpa mendasarkan pada strategi dan kepentingan nasional, menempatkan SDA hanya sekadar komoditas ekspor bukan modal untuk membangun bangsa, adalah kebijakan akibat kesalahan dalam pilihan paradigma, bukan kesalahan kebijakan, apalagi sekadar kesalahan pelaksanaan. 

 “Premis” menawarkan kebenaran adalah paradigma yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. UUD 1945 telah menyiapkan enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33), dan (34), yang mengatur kewajiban sosial dan ekonomi negara kepada rakyat. 

 Maka memperbandingkan antara “premis” cara-cara seperti “menguburkan diri”, “memanjat atap kubah Gedung DPR”, “mendatangi sekolah mengenakan seragam SD”, “mengamuk” dengan “Premis” Pembangunan Tanpa Roh, “premis” intelektual masuk partai, “Premis” menentukan kiblat adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan. Dan tidak membicarakan dari ranah etik. Dengan demikian, seluruh “premis” yang ditawarkan harus menawarkan kebenaran. 

 Dimuat di Jambi Independent, 10 Agustus 2010