11 Agustus 2010

opini musri nauli : PUASA DAN MENAHAN DIRI


Secara harfiah, pengetahuan tentang puasa sudah menjadi pengetahuan bagi Agama Islam. 

Dari umur 8 tahun, anak-anak sudah diajarkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Seiring bertambahnya umur anak, pelajaran puasa semakin ditingkatkan. Apabila sebelumnya diajarkan untuk berpuasa selama 6 jam (biasa dikenal “setengah hari” dimulai dari waktu sahur hingga tengah hari), hingga meningkat dimana sebelumnya satu hari, kemudian bisa berpuasa selama 14 hari. Begitu terus menerus hingga usia akil balig. 


Sehingga pada usia akil balig, anak dapat melaksanakan puasa selama sebulan penuh. Begitu pelajaran yang diterima anak dan diteruskan terus menerus. 

 Begitu banyak juga pembahasan tentang makna dan hakekat berpuasa. Baik dilihat dari pahala yang dijanjikan, fungsi sebagai “self defense” terhadap godaan dunia hingga kegunaan bagi kesehatan. 

 Dilihat dari budaya, sambutan dari masyarakat menyambut datangnya Ramadhan begitu unik. Budaya “mandi belimau”, budaya “mandi” pakai bunga, budaya “doa” menjelang Ramadhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Pasar-pasar ramai dan mempersiapkan makanan berbuka dan sahur. 

Belum lagi berbagai perangkat dan peralatan menyambut datangnya Ramadhan. Mesjid dibersihkan, dicat dan dipersiapkan untuk menampung untuk Sholat Tarawih berjamaah. 

Seruan “Marhaban Ya Ramadhan menggema di seluruh penjuru. Pokoknya menyambut datangnya bulan Ramadhan, begitu agung ditunggu-tunggu. 

 Budaya dan sosial masyarakat yang menyambut datangnya Bulan Ramadhan merupakan bentuk penghormatan masyarakat datangnya “ritual suci”. 

Budaya yang dilakukan secara turun menurun memang menempatkan masyarakat menghargai Agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Dan hubungan juga dilakukan untuk membangun silahturahmi yang sempat renggang akibat kesibukan masing-masing. 

 Budaya dan sosial masyarakat yang menempatkan bulan Ramadhan sebagai “ritual suci” sebagai gambaran akan penghormatan dan mengisi relung hati dengan “itikad baik”. 

“Ritual Suci” sebagai pengisi relung hati akan menempatkan diri “cermin” yang senantiasa dibersihkan untuk menggugah nurani untuk melihat persoalan kemanusiaan yang terjadi di sekitar kita. 

 RAMADHAN BUKAN RUTINITAS SEMU 

 Namun Ramadhan bukan rutinitas yang berulang terus menerus setiap tahun. “Cermin” yang dibersihkan dengan “zikir” harus dapat menahan godaan untuk melakukan dosa. 

“Cermin” ini harus dapat menilai dan memilah perbuatan dosa yang akan terjadi. 

“Cermin” itu harus mampu sebagai alat kontrol yang effektif untuk melakukan dosa. 

“Cermin” itu harus sebagai “self defensif” untuk melindungi diri dari dosa-dosa yang akan dilakukan. 

 Mengapa penulis memberikan definisi Ramadhan untuk membersihkan diri dan menjadikan “cermin” sebagai alat kontrol yang effektif dan “self defensit” ? 

Dari berbagai pengalaman yang mengajarkan kepada kita semua, ternyata Ramadhan kemudian berubah menjadi “ritual semu”. 

Ramadhan kemudian hanya berfungsi menjadikan “ritual” sebagai simbol semata. 

Ramadhan tidak mampu membersihkan “cermin” dan menjadi “self defensif”. 

Ramadhan hanya menjadikan bagian “ritual” perayaan yang jauh dari tercapainya Ramadhan itu sendiri. 

Ramadhan kemudian semata-mata melambangkan sikap pongah dan pamer kemewahan untuk melihat kesuksesan yang diraih. Ramadhan kemudian menjadi sebuah “ritual” yang menakutkan. 

 Dalam analisis sosio-psikologi, korupsi semakin menggila bukan semata-mata tidak “berjalannya” penegakkan hukum. 

Korupsi tidak bisa diberantas bukan karena rendahnya ancaman hukuman. 

 Sudah banyak kajian yang mencoba memberantas korupsi dengan “mencantumkan” sanksi pidana yang berat, memberikan fasilitas dan gaji berlebih (ingat kasus Gayus dan beberapa oknum pegawai Pajak yang terlibat), membatasi kewenangan, membuat prosedur yang mudah dipahami dan berbagai perangkat dan peraturan yang bertujuan untuk mengurangi dan menghapus korupsi. 

Sama sekali hipotesis kajian sosio-psikologi tidak mampu menjawabnya. 

Agama ternyata tidak mampu menjadi “self defensif” untuk tidak terlibat kasus korupsi. 

 Begitu juga, nurani kemanusiaan yang tidak tersentuh bagaimana “ormas” yang bertindak seperti polisi melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan, menuduh “kafir” kelompok yang dianggap berseberangan, “bertindak arogan”, “melarang” sebuah kelompok agama untuk beribadah, “membakar dan merusak” fasilitas kelompok Ahmadiyah. 

Nurani kemanusian yang begitu mengusik kita, selain memalukan juga menggunakan simbol-simbol agama dan berbagai teriakan yang seolah-olah “mewakili pikiran” Islam namun justru menggunakan cara-cara barbar, “premanisme” dan kekerasan. 

Cara-cara ini justru selain membuat citra umat Islam semakin tercoreng. Peristiwa kericuhan antara jemaat HKBP Pondok Timur Indah dan warga Ciketing, Mustikajaya ingin beribadah di lahan kosong justru menjadikan posisi umat Islam semakin menakutkan. 

 Umat islam yang menjadi mayoritas di Indonesia justru gagal menjadi “rahmatanlil alamin” dan juga akan merusak Islam sebagai agama yang pluralisme. Ramadhan yang bisa “membersihkan cermin” menjadi semata-mata “rutinitas semu” 

 PUASA DAN MENAHAN DIRI 

 Begitu “perginya” Ramadhan, kita kemudian “berkubang” akan dosa. 

Ramadhan “tidak mampu” membersihkan “cermin” dan menjadi “self defenstif”. 

Ramadhan tidak mampu membuat umat Islam sebagai “rahmatanlil alamin” dan sebagai agama yang plural yang mampu menghormati kebebasan beribadah dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan. 

Ramadhan tidak mampu membuat umat Islam kembali sebagai sikap yang “tawaddu” dan “sederhana”. 

 Dari paparan yang telah penulis sampaikan, ada beberapa pemikiran yang dapat ditarik sebagai pembelajaran kita selanjutnya. Pertama. 

Pergeseran identitas Islam yang pluralisme menjadi pergeseran identitas Islam berbentuk formal dan simbol. 

 Kedua. Harus diberi porsi yang cukup juga terhadap sebagian kalangan umat islam yang plural. 

Yang meletakkan islam sebagai identitas agama tanpa masuk kedalam wilayah publik. 

Ketiga. tidak menggunakan simbol-simbol agama dalam menyelesaikan perbedaan pandangan dan keyakinan 

 Keempat. Sudah saatnya umat islam yang menjadi mayoritas di Indonesia menjadi rahmatanlil alamin. 

Menjadi rahmat bagi berbagai umat manusia. 

Sudah saatnya, tafsiran-tafsiran yang berkaitan dengan agama haruslah dilihat dari konteknya dan tidak melakukan tafsiran-tafsiran teks yang sempit. 

Sehingga justru merugikan pandangan terhadap umat islam. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 15 Agustus 2010