Akhir-akhir ini kita dipaksa untuk “meraba-raba” apakah memang ada rekaman pembicaraan (bedakan dengan call detail record/CDR) antara Ari Muladi dengan Ade Rahardja dalam perkara “Penyuapan” oleh Anggodo Widjojo.
Rekaman pembicaraan begitu penting selain akan membuktikan akan upaya “penyuapan” sekaligus membuktikan apakah memang benar ada upaya rekayasa kasus kepada Pimpinan KPK (Bibit Rianto dan Chandra Hamzah).
Rekaman itu telah menjadi bukti yang kuat terhadap tuduhan kepada seseorang telah melakukan tindak pidana. Masih segar dalam ingatan kita rekaman Al Amin Nasution, rekaman Urip Tri Gunawan dan yang paling menghebohkan “rekaman” antara Anggodo Widjojo terhadap berbagai aparat penegak hukum yang diputar di MK Dalam tayangan ulang di televisi, dengna jelas sekali Kapolri dan Jaksa Agung meyakinkan anggota DPR-RI bahwa memang benar adanya rekaman antara Ari Muladi dan Ade Rahardja.
Sebagai penutup, secara tegas Kapolri menyatakan, bahwa pembicaraan antara Ari Muladi dan Ade Rahadja merupakan alat bukti yang kuat yang dapat dipertanggungjawabkan dimuka persidangan.
Beberapa kali tayangan itu diulangi, penulis meyakini bahwa memang benar pada saat itu, Kapolri dan Jaksa Agung menegaskan adanya rekaman untuk dapat menyeret Pimpinan KPK.
Namun, entah apa yang terjadi, kemudian ketika rekaman itu hendak diputarkan, semua mendadak kelu. Barreskrim Mabes Polri menyatakan akan berusaha menghadirkan namun ternyata kemudian hanya bersedia menghadirkan CDR.
Sedangkan Kejaksaan Agung yang semula “keukeuh” ternyata juga tidak berusaha maksimal untuk menghadirkan barang bukti yang diperlukan didalam persidangan.
BARANG BUKTI, ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN Mencampur-adukkan istilah “barang bukti”, “alat bukti” dan pembuktian didalam lapangan hukum acara pidana menyesatkan.
Dalam beberapa kali tayangan, terlihat jelas pernyataan Kapolri yang mengatakan bahwa adanya rekaman pembicaraan antara Ari Muladi dan Ade Rahardja merupakan “alat bukti yang kuat”.
Nah, mengganggu pikiran kita apabila rekaman dikategorikan sebagai “barang bukti” kemudian ditegaskan menjadi “alat bukti”.
Didalam praktek hukum acara pidana, pasal 184 KUHAP menegaskan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “alat bukti”.
Alat bukti itu terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Bandingkan dengan istilah “barang bukti”.
Yang dimaksudkan dengan barang bukti yaitu barang mengenai delik dilakukan (obyek) delik dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik (Andi Hamzah, Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981).
Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyarat¬kan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. Barang bukti harus diperlihatkan kepada saksi (Putusan MA 125 K/Kr/1960 tanggal 13 November 1960. Lihat juga115 Kr/K/1972. 23 Mei 1973), juga terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenai benda itu.
Tentunya juga diperlihatkan bukti diam (silent evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti. Alasan yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan.
Apakah keterangan itu dapat atau tidaknya dipercaya berdasarkan pasal 302 R.I.B terserah kepada kebijaksanan hakim.
Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa.
Namun yang harus Penasehat Hukum perhatikan tentang barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut umum ditentukan haruslah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Di KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975).
Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak ketiga), dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. UU No. 7 Tahun 1955 dan pasal 39 KUHP perampasan tidaklah diharuskan (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964).
Namun Barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr/1976 Tanggal 1 Juli 1978).
Putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex facti majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16 Oktober 1978) Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972).
Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13 November 1962).
Dari paparan diatas, maka terhadap barang bukti yang ternyata dipergunakan terhadap kejahatan dapat dilihat didalam Pasal 39 KUHP telah memberikan ruang untuk mengatasi pertanyaan itu. Barang bukti yang merupakan “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”.
Didalam berbagai pendapat ahli, pasal 39 KUHP memberikan tafsiran “benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
Atau benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tinda pidana.
Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Dengan melihat berbagai ketentuan yang berkaitan dengan “barang bukti” dan “alat bukti” dalam praktek peradilan pidana tentu saja mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Pasal 184 KUHAP yang menegaskan “alat bukti” adalah sebagai alat untuk melihat apakah telah terbukti melakukan tindak pidana atau tidak.
Bahkan sebagai bahan bagi hakim untuk menentukan kesalahan atau tidak terhadap pelaku.
Didalam pasal 183 KUHAP secara tegas dinyatakan, bahwa hakim harus memutuskan berdasarkan kepada dua alat bukti yang sah.
Begitu pula putusan, harus menjelaskan putusan itu dijatuhkan yang berdasarkan alat bukti yang sah. Lalu, bagaimana dengan kekuatan “barang bukti”.
Dalam praktek pidana, barang bukti mempunyai kekuatan pembuktian apabila telah diterangkan para saksi, ahli dan surat, keterangan tersangka yang menerangkan tentang barang bukti tersebut. “barang bukti” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila tidak ada saksi, ahli, atau surat atau keterangan tersangka yang menerangkan tentang “barang bukti” tersebut.
Didalam KUHAP, mencantumkan “barang bukti dapat dihadirkan… “ Dengan demikian maka, rekaman antara Ari Muladi dan Ade Rahardhja merupakan “barang bukti” bukan “alat bukti”. “barang bukti” ini berguna apabila adanya saksi yang mendukung bahwa “memang telah terjadi pembicaraan” antara Ari Muladi dan Ade Rahardja sebanyak 64 kali.
Pembicarakan rekaman pembicaraan Ari Muladi dengan Ade Rahardja adalah hal penting. Selain ingin membuktikan apakah memang adanya “main mata” antara Ari Muladi dan Ade Rahardja juga ingin membuktikan, apakah tidak ada rekayasa dalam perkara ini.
Namun sangat disayangkan apabila kemudian “rekaman” yang mestinya dapat didengar di muka persidangan kemudian bergeser menjadi hanya menyerahkan CDR semata.
Alasan pihak kepolisian bahwa “CDR membuktian rangkaian pembicaraan antara Ari Muladi dan Ade Rahardja” tidak mudah. Pernyataan bahwa tidak ada hubungan antara Ari Muladi dan Ade Rahardja memang bisa dibantah dengan adanya komunikasi sebanyak 64 kali.
Namun CDR tidak mampu membuktikan, pembicaraan yang berkaitan dengan upaya penyuapan. Dengan demikian, justru tabir gelap semakin sulit terkuak.
Keberadaan rekaman itu juga menimbulkan implikasi yang sangat serius. Rekaman yang menjadikan pimpinan KPK sebagai tersangka harus dihadirkan dimuka persidangan. Sedangkan menghilangkan barang bukti merupakan tindak pidana.
Sedangkan apabila, Kepolisian meyakini bahwa barang bukti rekaman itu memang dijadikan barang bukti didalam perkara pimpinan KPK namun tidak menghadirkan barang bukti maka pihak kepolisian telah melakukan penghinaan peradilan (contempt of court) dan merupakan upaya yang serius untuk menutup-nutupi fakta persidangan yang menyangkut pembuktian terhadap para pelaku.
Sedangkan memang diyakini tidak adanya rekaman tersebut, maka pernyataan Kapolri dan Jaksa Agung didepan Parlemen merupakan upaya rekayasa terhadap pimpinan KPK. Sehingga apa yang dikhawatirkan “adanya upaya rekayasa” memang terbukti.