17 Oktober 2017

opini musri nauli : BENAR DAN SALAH



Bumi berputar mengelilingi porosnya. Terus mengikuti grativasi dan tidak berhenti. Namun kehidupan kemuidan berputar. Ada yang dulu ditentang sekarang dilakukan. Dulu Menghina sekarang melakukan. Dulu dibela sekarang menghina. Dulu memuji sekarang menjilat. Demikianlah kehidupan manusia yang “sibuk” mengikuti pola berputar.
Dulu Ahmad Dhani sempat berseteru dengan ormas terlibat polemik sampul album 'Laskar Cinta’. Dewa dinilai bermuatan kaligrafi berbunyi ‘Allah’. Dewa menyalahgunakan lambang-lambang Islam untuk sampul kaset Dewa berjudul 'Laskar Cinta'. Dewa juga dituding menginjak-injak karpet merah dengan kaligrafi bertuliskan Allah saat konser eksklusif Dewa di Trans TV.

Ahmad Dhani kemudian membuat syair yang kemudian dituliskan kedalam lagu. Laskara Cinta. Lihatlah bait-baitnya.

Wahai,jiwa jiwa yg tenang
berhati-hatilah dirimu
kepada..Hati hati yang penuh..dengan
kebencian yang dalam
Karena, sesungguhnya iblis..ada dan bersemayam
Di hati yang penuh
Dengan benci dihati..Yang penuh..Dengan prasangka

Laskar cinta..sebarkanlah benih-benih cinta..
Musnahkanlah virus-virus benci..Virus yang bisa merusakkan jiwa..
Dan busukkan hati..

Laskar cinta..ajarkanlah ilmu tentang cinta..Karena cinta adalah hakikat
Dan jalan yang terang bagi semua manusia
Jika..kebencian meracunimu..Kepada...manusia lainnya…
maka sesungguhnya iblis…
sudah berkuasa atas dirimu
Maka..jangan pernah berharap..aku..akan mengasihi..menyayangi..
Manusia manusia..yang penuh benci..seperti kamu...

Ahmad Dhani yang mengaku penggemar “Gusdur” kemudian memperjuangkan pluralisme dan menempatkan diri sebagai “laskar-laskar cinta yang menyebarkan cinta” untuk kedamaian dunia.

12 tahun kemudian Ahmad Dhani menjadi “penentang” dan kemudian bergabung dengan ormas yang menentangnya. Bahkan kemudian Ahmad Dhani sempat dijadikan tersangka dengna tuduhan serius “Makar” dan “disebut-sebut” dalam kasus penyebar kebencian.

Lihatlah cuitan di akun Twitter @AHMADDHANIPRAST yang berbunyi “Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya”. Penyidik pun telah menaikkan status kasus tersebut ke tahap penyidikan. Bahkan penyidik telah menemukan tindak pidana.

Nasib serupa juga dilakukan oleh Anies Baswedan. Mengusung “menenun dan merawat kebangsaan”, Anies kemudian menuliskannya “Saya melihat Indonesia ini sebagai, istilah saya, tenun. Dengan benang lintas agama, lintas budaya, dan adat bahasa, yang menghasilkan mozaik luar biasa indah.

Saya istilahkan tenun karena harus dijaga keeratannya. Tenun kalau robek maka meskipun ditisik sehebat apapun tidak bisa kembali. Oleh karena itu, jaga ikatan kebangsaan kita.

Sekali tenun itu ada cacat maka memperbaikinya dengan alat apapun dan dengan cara apapun sulit mengembalikannya.

Kalau ada peristiwa SARA misalnya, maka efeknya bagi republik ini terlalu lama dan selalu ada orang yang melakukan itu.

Negara hadir untuk menjaga ikatan tenun itu dan berani untuk bertindak. Tenun itu dijaga kuat dengan pendidikan, toleransi, dan penegakan hukum.

Siapa saja yang berencana untuk merusak tenun kebangsaan dan  melakukan kekerasan maka jangan dibiarkan tak dihukum. (Kompas, 11 September 2012).

Berbilang tahun kemudian tulisan Tsamara Amany di situs jakartaasoy.com berjudul 'Pak Anies, Saya Menyesal’ dimulai dengan pernyataan “Saya bahkan tidak tau harus memulai bagaimana. Tapi saya ingin katakan bahwa salah satu alasan saya memilih Universitas Paramadina dibanding universitas swasta lainnya adalah Anies Baswedan. Waktu itu tahun 2014, tahun di mana Pilpres berlangsung, tahun di mana Jokowi memenangkan pertarungan politik.

Namun Tsamara Amany kemudian diakhiri “Bagi saya, Anies lebih parah dari mereka. Idealisme Anies tak lebih dari kepentingan politik semata. Kepentingan untuk berkuasa. Dulu ia menghina blusukan Jokowi sebagai pencitraan, lalu menjadi jubir Jokowi dan memujanya, kemudian dijadikan menteri, begitu dipecat langsung nyagub diusung dua parpol yang dulu ia ejek habis-habisan ketika Pilpres 2014. Dan kini, yang paling rendah, Anies rela membuang pandangan banyak orang bahwa ia adalah tokoh yang toleran, tokoh yang tidak mempermasalahkan agama/suku/ras dalam kompetisi politik, agar dapat meraup suara dari kelompok ekstrim kanan. Anies rela menggadaikan idealismenya demi mengejar jabatan gubernur!

Pak Anies, saya menyesal pernah mengagumimu. Mungkin di masa depan, dengan idealismemu yang murah itu, kau bisa jadi bagian dari perobek tenun kebangsaan yang sering kau sebut itu.

Nasib berbeda dialami oleh Ariel Peterpan yang “booming” menjadi headline ketika ditetapkan tersangka kasus pornografi. Desakan agar ditunda pembahasan atau tidak menerapkan UU Pornografi disambut berbeda ditengah masyarakat. Desakan agar Ariel Peterpan disidangkan kemudian bergulir di pengadilan hingga Ariel Peterpan menjalani pidana penjara.

7 tahun kemudian “tokoh agama” yang mendesak agar Ariel Peterpan disidangkan dengan tuduhan “pornografi” memakan korban. Menjadi tersangka dengan tuduhan serupa. Tuduhan melakukan “chatting” dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Percakapan dan gambar dalam wattapp dapat dikategorikan “tidak senonoh” dan tidak pantas dan dapat dijadikan dasar diterapkan UU Pornografi.

Padahal 7 tahun yang lalu, saya menolak diterapkan UU Pornografi. Konsistensi itu didasarkan kepada “negara” yang terlalu mencampuri urusan privat hingga mengatur “ranjang” kehidupan privat.

Ruang sepi” dan “urusan ranjang”, wilayah privat yang tidak menjadi urusan public kemudian menjadi gegap gempita dalam urusan public. Dari ranah inilah kemudian UU Pornografi memang menjadi masalah didalam penegakkan hukum. (Mengintip Kamar Artis, Jambi Independent, 7 Agustus 2010).

Berkaca dari peristiwa 3 peristiwa diatas maka saya teringat dengan perkataan KH. Mustafa Bisri (Gusmus). “Malaikat tidak pernah salah. Setan tidak pernah benar. Manusia bisa Benar. Manusia bisa salah. Maka kita dianjurkan saling mengingatkan. Bukan saling menyalahkan.