09 April 2012

opini musri nauli : Mencari Pemimpin Kota



Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Kota Jambi menggagas hajatan yang dikemas  AJI Discussion Forum “Calon walikota Jambi versi rakyat, 7 April 2012 Telanai Room Hotel Ratu, Jambi. Acara yang digagas AJI lebih tepat dijadikan tempat “kumpul kangen” (meminjam istilah mas Yoyo) teman-teman dari berbagai latar belakang untuk kumpul-kumpul. Mengapa mas yoyo menyebut istilah “kumpul kangen”, karena AJI Discussion Forum tidak begitu serius-serius amat. Selain karena pembahasannya tidak begitu fokus, melebar dan tidak adanya pemberi materi atau pembahas didalam forum, ajang ini kemudian digunakan secara baik berbagai kalangan untuk kumpul-kumpul. Meminjam istilah salah satu peserta, hampir praktis, tidak ada lagi tempat kumpul-kumpul atau acara yang mengumpulkan berbagai kalangan.

Terlepas daripada materi dan format acara yang dikritik oleh sebagian peserta diskusi, terlalu sayang, forum sebesar dan sebanyak mengumpulkan orang untuk mendiskusikan Walikota Jambi tidak memberikan warna ataupun catatan penting untuk bisa didiskusikan.

Dalam berbagai pernyataan yang disampaikan, hampir praktis, forum sudah menyadari, berbagai dinamika politik kontemporer membuat suhu politik di Jambi sedikit memanas. Berbagai nama-nama kandidate yang sudah berseliweran menghiasi media massa sebagai calon Walikota Jambi, nama-nama yang beredar belum mewakili untuk mampu menyelesaikan problema kota Jambi yang terus berkembang.

Dalam catatan Planologi, masterplan kota Jambi yang hendak arahnya dibawa kemana tidak dapat ditentukan dengan jelas. Kawasan-kawasan yang seharusnya menjadi pemukiman sudah menjadi ruko. Daerah-daerah resapan air (cathmen water area) sudah berfungsi sebagai pembangunan ruko ataupun kawasan perumahan. Lalu lintas semakin padat akibat “limbah mobil bekas” dari kota-kota besar. Belum lagi kawasan yang padat jalan raya berhadapan dengna pembangunan Mall-mall seperti WTC, Jambi Prima Court (Trona), Jamtos dan wacana bekas terminal simpang kawat menjadi Mall. Semakin sesaknya jalur-jalur yang hendak dilalui ditambahi dengan pembangunan ruko yang tidak menyediakan parkir sehingga mengganggu jalan, sekolah, rumah sakit.

Sehingga tidak salah apabila adanya komentar dari peserta Forum diskusi, masterplan Jambi tidak jelas. RTRW sudah amburadul. Bahkan bantahan dari anggota parlemen yang hendak menggagas RTRW tidak mempunyai landasan yang kuat untuk dapat diperjuangkan.

Pertumbuhan ekonomi yang tidak ditata membuat sebagian peserta forum diskusi menganggap bahwa yang berkuasa yang akan bisa bertahan mengikuti pertarungan ekonomi di Jambi. Dengan menjelaskan berbagai fakta-fakta ruko-ruko yang dibangun tidak berada dikawasan untuk dibangun, namun Pemerintah tidak mampu tegas menyelesaikannya sekedar konfirmasi bagaimana kota Jambi ditata tanpa arah yang jelas. Meminjam istilah Assad Isma, ekonomi bergerak sendiri, Pemerintah bergerak sendiri. Bahkan secara ironi disampaikan oleh Sigit Eko Yuwono, pembangunan Hotel Ratu dan kemudian membangun gedung di sebelah sama sekali tidak sesuai dengan BOT yang digagas dengan Pemerintah Jambi.

Tentu saja analisis politik juga disampaikan. Prof. Muktar Latif dengan jernih menjelaskan, walikota yang akan mendapatkan dukungan dari kroni-kroni yang sedang berkuasa akan lebih mudah diterima daripada kelompok-kelompok diluar kroni-kroni tersebut.

JAMBI DALAM SEJARAH

Wilayah bumi “Tanah Pilih Pesako Betuah”, ditetapkan sebagai Kota dalam Propinsi Sumatera Tengah berdasarkan Ketetapan Gubernur Sumatera No.103/1946 dan diperkuat dengan Undang-undang No.9/1956 dan dinyatakan sebagai Daerah Otonom Kota Besar dalam lingkungan Provinsi Sumatera Tengah. (www.kotajambi.go.id).

Namun demikian, Hari Jadinya ditetapkan pada tanggal 17 Mei 1946 berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No.16 tahun 1985. Sebagai Ibukota Propinsi Jambi harus diakui merupakan daerah yang menjadi residentie Djambi dalam dokumen-dokumen Belanda sebagai bagian dari kekuasaan Belanda. Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, , Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi sebagai jalur perdagangan karet yang utama bagi Pemerintah Kolonial.

Keterlibatan masyarakat Jambi begitu besar terhadap penanaman karet rakyat. Didalam bukunya, Lindayanti “Perkebunan Karet Rakyat Jambi 1920-1928, Aspek Sosial Ekonoini, dalam Sejarah Peinikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Media Komunikasi Profesi Masyarakat Sejarawan Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, Hal 34 sebagaimana dikutip oleh Budiharddjo, Tanaman karet Jambi berkembang lagi setelah setelah NederlandsIndie membuka pintu bagi investor asing terutama Inggerris, Belanda, Belgia dan Amerika.

Pada awalnya keterlibatan masyarakat Jambi dipengaruhi oleh keberhasilan petani di Malaka yang mampu meningkatkan taraf hidupnya. Dalam perkembangan berikutnya petani karet rakyat Jambi lebih berhasil dibanding dengan petani karet di Malaka. Hal ini disebabkan oleh tersedianya jaringan transportasi sungai dibandingkan dengan Malaka, disamping faktor penunjang lainnya antara lain bekas prasarana untuk perkebunan tembakau.

Aktivitas pelayaran telah mendorong masyarakat atau penduduk daerah di Jambi sebagai pemasok komoditas ekspor dan impor. Komoditas ekspor tahun 1904 berupa kopra, getah perca, dammar, tanduk kerbau, kulit binatang, gading, kapur barus, kapok, cula badak, kayu kenari, buah pinang, lada, rotan, kulit kura-kura, burung kecil, bahari perak dan lain-lain.(lihat E. Edward Mc Kinno, Melayu Jambi Interlocal and International Trade, Seininar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8 Desember 1992 hal. 6-10 sebagaimana dikutip oleh Budihardjo, Ibid. Hal. 3)

Sehingga periode 1907-19 12 daerah Jambi, Sarolangun, Muaro Tembesi, dan Muaro Bungo merupakan penghasil karet masa depan pada waktu itu, serta menjadi pemasok karet daerah Jambi sekitar tahun 1920-1928 dan menjadi produsen karet rakyat terbesar di Hmdia Belanda dengan jumlah pohon 21 juta dan 13 juta pohon diantaranya sudah siap disadap.

Dengan demikian, bahwa mulai tahun 1917 yang ditandai naiknya permintaan karet sampai tahun 1925 perdagangan karet rakyat dengan didukung pelayaran sangat pesat. Hal inilah yang mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun pelabuhari permanent untuk berlabuh kapal-kapal berukuran besar yang mampu mengangkut karet olah dari rakyat ke Singapura. Maka Tahun 1926 Pemerintah Hmdia Belanda mulai membangun pelabuhan permanen yang dinamakan boom batu.

Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia memiliki lahan perkebunan karet paling luas di dunia, namun dan segi produksi hanya mampu menempati urutan kedua setelah Thailand. Produksi kanet Indonesia selama 2006 tercatat 2,6 juta ton, kalah dibandingkan dengan Thailand yang menempati posisi teratas dengan tigajuta ton.


DARI RAJA KARET MENJADI HUTAN BETON

Menarik akar sisa-sisa kebesaran Jambi sebagai pusat perdagangan dan eksportir karet di Jambi dapat kita lihat di bom batu. Areal ini kemudian menjadi hancur dan tidak dapat diidentifikasi setelah dibangun pusat perdagangan mewah WTC lengkap dengan hotel Wiltop. Pusat perdagangan ini ternyata selain menghancurkan sisa-sisa kebesaran Jambi juga menimbulkan persoalan lingkungan yang serius. Kawasan yang merupakan daerah aliran Sungai Batanghari, menurut Planologi, harus minimal 20 meter dari tepi sungai Batanghari, justru pembangunan kemudian berdiri menjorok sungai Batanghari. Pembangunan WTC lengkap dengan Hotel Wiltop selain menimbulkan persoalan lingkungan, juga merusak berbagai komoditas usaha perdagangan tradisional Pasar Angso Duo yang hanya berjarak hanya selemparan batu. Pusat Perdagangan Modern yang nyata-nyata berdekatan dengan pusat perdagangan trasional nyata-nyata bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengharuskan pusat perdagangan modern harus berjarak minimal 2 kilometer.

Dalam peta Belanda, Landmark Bom Batu dibangun selain sebagai pusat perdagangan juga sebagai daerah tangkapan air (water catchmant area) dan alur sungai Batanghari yang merupakan hulu dari 9 anak sungai besar di Jambi. Belanda yang dikenal sebagai negara yang paling modern dalam menata Kota termasuk mengatur arsitektur air tentu saja sudah berhitung ketika menempatkan bom batu sebagai pusat pelabuhan perdagangan. Dan sebagai pusat perkantoran maskapai perdagangan kemudian menempatkan Hok Tong dan daerah The hock. Sisa-sisa ini masih dilacak dari bangunan yang masih menggunakan kata “Hok Tong” di seberang bom batu yang sekarang kondisinya masih berdiri namun praktis tidak pernah digunakan lagi.

Namun sangat disayangkan, mindset Pemerintah Kota yang cenderung membangun Ruko sepanjang jalur protokol dan jalan-jalan besar membuat Jambi kemudian menjadi Hutan Beton. Praktis, tidak meninggalkan identitas akan kebesaran Jambi sebagai daerah perdagangan bom batu dan meninggalkan genangan air dimana-mana.

Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir, sekarang menjadi menu rutin. Genangan air yang meleber selain disebabkan drainase yang tidak baik, juga pembangunan Komplek Abadi membuat alur Sungai Maram menjadi tidak jelas. Dibangunnya water boom yang nyata-nyata membuat Sungai Maram menjadi banjir juga merusak komunitas masyarakat yang hidup di sekitar Sungai Maram. Daerah yang disebutkan dalam dokumen Belanda sebagai daerah penyangga akan pusat perdagangan bom batu paling merasakan dampak pembangunan Abadi. Hampir praktis, didalam dokumen Belanda bom batu dan daerah penyangganya di aliran Sungai Maram tidak pernah banjir, sekarang merasakan banjir bahkan 3-4 kali setahun.

Namun terlepas dari berbagai analisis yang disampaikan, penulis hanya menyoroti dari 3 aspek. Masalah pendidikan dan kesehatan merupakan cerminan dari pandangan Pemerintah didalam melihat dan memperlakukan warga Jambi sebagai pelayanan masyarakat. Masalah mendasar ini didasarkan kepada pandangan kita yang menempatkan masyarakat sebagai identitas sebagai ”orang Kota Jambi” yang beradat (meminjam slogan dari Pemerintah Kota).

Selain itu diberi dan diaturnya Ruang terbuka Hijau didalam ”memanusiawikan” orang kota Jambi dalam pembangunan. Ruang Terbuka Hijau merupakan identitas dari kota maju namun tetap memperlakukan manusia dengan menghormati kodratnnya untuk mendapatkan berbagai fasilitas termasuk Ruang terbuka Hijau.

Mutiara-mutiara yang tercecer yang disampaikan dalam Forum diskusi terlalu sayang menjadi catatan kaki semata. Agar menjadi semangat ”berbenah” bersama, catatan-catatan itu dilakukan oleh AJI dan memberikan rekomendasi kepada berbagai stakeholder yang terlibat dalam pembangunan kota Jambi.

Dimuat di Harian Posmetro Jambi, 9 April 2012

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/1059-mencari-pemimpin-kota.html?device=xhtml

Advokat, Tinggal di Jambi