Sebuah media online menggagas sebuah
wacana “Pengadilan Desa”. Di tengah
terpuruknya dunia hukum dan kurang wibawa putusan Pengadilan (terlepas dari Putusan yang kontroversial), wacana
”Pengadilan Desa” menemukan momentum
ketika Kementerian Dalam Negeri memasukkan usulan dalam RUU Otonomi Desa. RUU
Otonomi Desa merupakan penggalan yang terpisah dari UU No. 32 Tahun 2004
menjadi salah satu solusi berbagai ketimpangan antara membicarakan wewenang antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (dalam slogan otonomi), dengan mandat
yang memberikan tugas-tugas eksekutif kepada Desa. Dari ranah ini, Kementerian
Dalam Negeri yang mewacanakan ”Pengadilan
Desa” menemukan ruang untuk mendiskusikan lebih lanjut.
Terlepas dari ”Pengadilan Desa” dalam tafsiran selanjutnya dapat saja diuraikan ”Pengadilan Adat”, yang akan menimbulkan
problematika dalam sistem hukum nasional dan relevansi dengna perkembangan
hukum nasional yang berkembang dengan cepat, ”Pengadilan Desa” sejak diberlakukannya UU Darurat No 1 Tahun 1951,
pengadilan adat -termasuk di dalamnya hakim perdamaian desa- dihapuskan.
Indonesia yang mengklaim dengan satu sistem hukum Nasional kemudian menganut
kodifikasi yang berasaskan dengan sistem hukum Eropa kontinental dengan
menjunjung ”Kepastian hukum”. Dengan
semangat ”kepastian hukum”, bacaan ”Pengadilan adat/pengadilan desa” tidak
mendapatkan tempat dalam literatur ilmu hukum yang diajarkan didalam Fakultas
Hukum dan Ilmu Humaniora.
Namun dalam perkembangan sejarah hukum di
Indonesia, dimana unsur essensial dari hukum yang menjunjung ”keadilan” yang tidak ditemukan dalam
perkembangan Indonesia modern, wacana ”Pengadilan
Desa/Pengadilan Adat” merupakan salah satu pondasi solusi penyelesaian ”Ketidakadilan”.
Sebagai contoh, Mahkamah Agung yang
merupakan ”muara” dari berbagai
problematika hukum di Indonesia, seringkali tidak mampu menjawab dan terjebak
penyelesaian kasus yang terus menumpuk. Pada akhir Desember 2011 perkara
tunggak berjumlah 4.676 perkara. Jumlah tersebut terdiri dari perkara belum
putus diatas setahun berjumlah 1.813 perkara, dan perkara belum putus berjumlah
2.863 perkara. Jumlah tersebut turun sekitar 50% dari tahun sebelumnya yang
berjumlah 8.741 perkara (www.mahkamahagung,go.id).
MA terjebak mengadili terhadap
perkara-perkara ”remeh temeh” seperti
kasus pencurian sendal jepit, Prita
Mulyasari, Mbok Minah yang mencuri kakao, dan terakhir nenek Rasminah. Pakar Hukum Tata Negara Jimly Assiddiqie menilai
putusan itu membuktikan orientasi penegak hukum, khususnya hakim lebih
berorientasi pada penegakkan peraturan ketimbang penegakkan keadilan.
Sudah lama Mahkamah Agung menyadari dan mendorong agar perkara ringan cukup
diselesaikan di luar proses peradilan (out of court settlement). MA kemudian
mengeluarkan untuk perkara perdata, mediasi bersifat wajib, dan bisa diterapkan
untuk semua tingkatan peradilan (Perma No 1 Tahun 2008). Bahkan untuk perkara
pidana, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2011. MA kemudian menafsirkan ”Rp 250 dengan definisi RP 2.500.000,- dalam pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal
407, pasal 482 KUHP.
Berangkat dari konsepsi out of court
settlement, yang tentu saja melibatkan tetua adat menyelesaikan kasus
ringan dan menyelesaikan kasus yang tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum,
momentum ini harus disambut dengan baik. Pengadilan Desa/Pengadilan Adat yang
selama ini sering digunakan menyelesaikan kasus-kasus ringan dan menyelesaikan
kasus-kasus yang tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum ternyata masih hidup
dan menjadi bagian dari tata pergaulan di tengah masyarakat.
Dalam adat Jambi yang menjunjung nilai-nilai
”Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak
goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena
hujan. Adat lamo pusako usang, yang terpahat di tiang panjang yang terlukis di
bendul jati. Setitik nan dak ilang, sebaris yang tidak tebo. Bak li beganti li,
lapuk pua jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung tanjung ilang sekok timbul sekok,
kemudian mengenal ”Pucuk Undang Nan
Delapan, Anak Undang Nan Dua Belas”
Didalam menyelesaikan perselisihan, Mekanisme
penyelesaiannya dikenal dengan seloko JENJANG ADAT. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang
memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan
menginjek, menyelesaikan dengan cara
Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala
Desa.
Namun yang unik, Kepala Desa sebagai
Kepala Daerah di kampung, tidak mempunyai kekuasaan Eksekutif sebagaimana
ujaran “Luak Sekato Penghulu, Kampung
Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Kepala Desa tidak mengambil keputusan-keputusan adat namun melaksanakan putusan
adat (wewenang Eksekusi sebagaimana kewenangan Jaksa penuntut umum) dan menjalankan
tugas-tugas administrasi di dusun, kampung
Begitu dihormatinya Pengadilan Desa dan
Kepala Desa maka sebagaimana ujaran “Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan
jangan berentak, diduri jangan menginjek”.
Advokat,
Tinggal di Jambi
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 11 April 2012