13 Desember 2012

opini musri nauli : MANTRA SAKSI UNTUK MEMANGGIL PEJABAT



 

Lagi-lagi kita dikejutkan pemberitaan tentang pemanggilan pejabat untuk menjadi saksi harus seizin Presiden. Peristiwa ini diperlihatkan didalam persidangan dimana agenda 4 orang menghadirkan saksi dalam perkara kasus dugaan korupsi dana pendidikan dan pembinaan di PDAM Tirta Mayang, Kota Jambi.
Namun dari empat saksi itu tidak ada nama mantan pejabat tinggi Kota Jambi yang disebut-sebut menerima dana pembinaan sejak tahun 2005-2008 dari PDAM Tirta Mayang Kota Jambi. (Posmetronline, 12 Desember 2012)

Ketidakhadiran dua mantan pejabat Kota Jambi ini sempat menimbulkan pertanyaan hakim. Nelson Sitanggang, hakim ketua dalam perkara ini, menanyakan hal itu kepada jaksa. “Pak jaksa, pejabat-pejabat yang disebut menerima dana pembinaan apakah dijadikan saksi?’’ tanya Nelson.


"Untuk pembina ada satu, yaitu Arifien Manap. Untuk HBA, karena menjabat gubernur saat ini, maka kita harus minta izin presiden. Karena keterbatasan waktu perkara kita limpahkan," kata Suparjo, salah satu JPU perkara ini saat menjawab pertanyaan hakim.

Penulis bingung, apakah memang tidak mengetahui perkembangan terkini, dimana rujukan “persetujuan tertulis dari Presiden” sebagaimana telah diatur didalam pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah dipertimbangkan oleh MK.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.

"Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,"

MK berpendapat dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.

"Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan," demikian pertimbangan MK.

Dalam pengujian UU Pemda ini, MK juga memutuskan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda konstitusional bersyarat.
MK menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan".



Sedangkan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara".

MK berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah mengabulkan permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

MANTRA SAKSI

Pasal 36 UU Pemda merupakan salah pasal “mantra sakti saksi ” dimana Kepala Daerah belum dapat diperiksa “sebelum” ada izin tertulis dari Presiden. Pasal ini kemudian menjadi pintu “penutup” untuk dilakukan proses hukum

Dalam praktek, banyak kepala Daerah yang “belum” dapat diperiksa sebelum adanya izin dari presiden. Pasal ini kemudian menjadi “pelindung” dan “mantra sakti” ajaib sehingga pasal ini merupakan salah satu pasal yang “berhasil” melindungi pelaku tindak pidana degnan jabatan politik.

Padahal Kemendagri mencatat, 173 pimpinan daerah terlibat kejahatan kerah putih sejak tahun 2004-2012. Nah, dari jumlah tersebut 70 persen telah diputus bersalah dan dIberhentikan dari jabatannya

Dalam sejarah Indonesia, kita juga mengenal “perlindungan” terhadap berbagai jabatan politik. UU Kejaksaan juga mengamanatkan agar “jaksa Penuntut umum” tidak dapat diperiksa sebelum ada izin tertulis dari Jaksa Agung. Begitu juga hakim belum dapat diperiksa sebelum adanya izin dari ketua Mahkamah Agung.

Suasana politik dan keinginan politik (goodwill) yang memberikan “perlindungan” kepada jabatan-jabatan politik disadari berangkat dari kesewenang-wenangan dari penegak hukum yang seringkali “mempermainkan” hukum. Proses hukum sering dipaksa (apalagi berkaitan dengan pilkada). Sehingga suasana kebathinan memang disadari sehingga goodwill memang menghendaki.

Namun suasana kebathinan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman. Semangat nasional anti korupsi ternyata harus juga diimbangi berbagai peraturan untuk mendukung upaya pemberantasan.

Sebenarnya Pasal 36 UU Pemda telah memberikan garis tegas agar jabatan politik Kepala Daerah diberi perlindungan dari kesewang-wenangan sehingga tidak mengalami proses hukum yang jauh dari persoalan Sebenarnya.

Pasal 36 kemudian diberi kemudian sebagaimana didalam pasal 36 ayat (2) yang menegaskan, apabila waktu 90 hari pengajuan tertulis tidak diberi jawaban, maka “sebenarnya” Presiden dianggap menyetujui. Dalam ilmu hukum, biasa dikenal, pengakuan diam-diam yang sebenarnya “menyetujui.

Namun dengan alasan dan berkedok “belum ada izin tertulis” dari Presiden, maka pemeriksaan terhadap Kepala Daerah memang tidak dilakukan. Dalam ranah ini, kemudian sebenarnya, Pasal 36 UU Pemda lebih berangkat dari “penerapan norma”. Apabila menggunakan “penerapan norma” seharusnya MK tidak membatalkan pasal 36 UU Pemda tapi harusnya menolak permohonan dari pemohon.

Namun Putusan MK haruslah dibaca sebagai “upaya serius” dari MK agar tidak ada alasan dan argumentasi hukum yang digunakan oleh penegak hukum yang tidak bisa memeriksa kepala daerah. Putusan MK merupakan jawaban dari berbagai keberatan dari berbagai pihak yang melihat penegak hukum seringkali “mempermainkan” dan “memperlambat” proses hukum.

Lantas mengapa di tingkat penegak hukum, perdebatan ini masih sering terjadi ?

Dimuat di Posmetronline, 13 September 2012.

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12933-mantra-saksi-untuk-memanggil-pejabat.html