Lagi-lagi
kita dikejutkan pemberitaan tentang pemanggilan pejabat untuk menjadi
saksi harus seizin Presiden. Peristiwa ini diperlihatkan didalam
persidangan dimana agenda 4 orang menghadirkan saksi dalam perkara
kasus dugaan korupsi dana pendidikan dan pembinaan di PDAM Tirta
Mayang, Kota Jambi.
Namun
dari empat saksi itu tidak ada nama mantan pejabat tinggi Kota Jambi
yang disebut-sebut menerima dana pembinaan sejak tahun 2005-2008 dari
PDAM Tirta Mayang Kota Jambi. (Posmetronline, 12 Desember 2012)
Ketidakhadiran
dua mantan pejabat Kota Jambi ini sempat menimbulkan pertanyaan
hakim. Nelson Sitanggang, hakim ketua dalam perkara ini, menanyakan
hal itu kepada jaksa. “Pak jaksa, pejabat-pejabat yang disebut
menerima dana pembinaan apakah dijadikan saksi?’’ tanya Nelson.
"Untuk
pembina ada satu, yaitu Arifien Manap. Untuk HBA, karena menjabat
gubernur saat ini, maka kita harus minta izin presiden. Karena
keterbatasan waktu perkara kita limpahkan," kata Suparjo, salah
satu JPU perkara ini saat menjawab pertanyaan hakim.
Penulis
bingung, apakah memang tidak mengetahui perkembangan terkini, dimana
rujukan “persetujuan tertulis dari Presiden” sebagaimana
telah diatur didalam pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah
dipertimbangkan oleh MK.
Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan tindakan penyelidikan dan penyidikan
terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu
persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
"Pasal
36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat,"
MK
berpendapat dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat
percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi
sistem penegakan keadilan.
"Persyaratan persetujuan
tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum, yang
seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya
ringan," demikian pertimbangan MK.
Dalam
pengujian UU Pemda ini, MK juga memutuskan Pasal 36 ayat (3) dan ayat
(4) UU Pemda konstitusional bersyarat.
MK menyatakan Pasal 36 ayat
(3) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai "tindakan penyidikan yang
dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan
apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden
dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat
permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
dapat langsung dilakukan".
Sedangkan
Pasal 36 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "hal-hal
yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka
telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara".
MK
berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah mengabulkan
permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat (1) dan
Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga
menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
MANTRA
SAKSI
Pasal
36 UU Pemda merupakan salah pasal “mantra sakti saksi ”
dimana Kepala Daerah belum dapat diperiksa “sebelum” ada
izin tertulis dari Presiden. Pasal ini kemudian menjadi pintu
“penutup” untuk dilakukan proses hukum
Dalam
praktek, banyak kepala Daerah yang “belum” dapat diperiksa
sebelum adanya izin dari presiden. Pasal ini kemudian menjadi
“pelindung” dan “mantra sakti” ajaib sehingga
pasal ini merupakan salah satu pasal yang “berhasil”
melindungi pelaku tindak pidana degnan jabatan politik.
Padahal
Kemendagri mencatat, 173 pimpinan daerah
terlibat kejahatan kerah putih sejak tahun 2004-2012. Nah, dari
jumlah tersebut 70 persen telah diputus bersalah dan dIberhentikan
dari jabatannya
Dalam
sejarah Indonesia, kita juga mengenal “perlindungan”
terhadap berbagai jabatan politik. UU Kejaksaan juga mengamanatkan
agar “jaksa Penuntut umum” tidak dapat diperiksa sebelum
ada izin tertulis dari Jaksa Agung. Begitu juga hakim belum dapat
diperiksa sebelum adanya izin dari ketua Mahkamah Agung.
Suasana
politik dan keinginan politik (goodwill) yang memberikan
“perlindungan” kepada jabatan-jabatan politik disadari
berangkat dari kesewenang-wenangan dari penegak hukum yang seringkali
“mempermainkan” hukum. Proses hukum sering dipaksa
(apalagi berkaitan dengan pilkada). Sehingga suasana
kebathinan memang disadari sehingga goodwill memang menghendaki.
Namun
suasana kebathinan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman.
Semangat nasional anti korupsi ternyata harus juga diimbangi berbagai
peraturan untuk mendukung upaya pemberantasan.
Sebenarnya
Pasal 36 UU Pemda telah memberikan garis tegas agar jabatan politik
Kepala Daerah diberi perlindungan dari kesewang-wenangan sehingga
tidak mengalami proses hukum yang jauh dari persoalan Sebenarnya.
Pasal
36 kemudian diberi kemudian sebagaimana didalam pasal 36 ayat (2)
yang menegaskan, apabila waktu 90 hari pengajuan tertulis tidak
diberi jawaban, maka “sebenarnya” Presiden dianggap
menyetujui. Dalam ilmu hukum, biasa dikenal, pengakuan diam-diam yang
sebenarnya “menyetujui.
Namun
dengan alasan dan berkedok “belum ada izin tertulis” dari
Presiden, maka pemeriksaan terhadap Kepala Daerah memang tidak
dilakukan. Dalam ranah ini, kemudian sebenarnya, Pasal 36 UU Pemda
lebih berangkat dari “penerapan norma”. Apabila
menggunakan “penerapan norma” seharusnya MK tidak
membatalkan pasal 36 UU Pemda tapi harusnya menolak permohonan dari
pemohon.
Namun
Putusan MK haruslah dibaca sebagai “upaya serius” dari MK
agar tidak ada alasan dan argumentasi hukum yang digunakan oleh
penegak hukum yang tidak bisa memeriksa kepala daerah. Putusan MK
merupakan jawaban dari berbagai keberatan dari berbagai pihak yang
melihat penegak hukum seringkali “mempermainkan” dan
“memperlambat” proses hukum.
Lantas
mengapa di tingkat penegak hukum, perdebatan ini masih sering terjadi
?
Dimuat di Posmetronline, 13 September 2012.
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12933-mantra-saksi-untuk-memanggil-pejabat.html
Dimuat di Posmetronline, 13 September 2012.
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12933-mantra-saksi-untuk-memanggil-pejabat.html