Beberapa
waktu yang lalu, penulis diminta menjadi pembicara di LK II dan LKK
HMI Cabang Jambi untuk mendiskusikan RUU KAMNAS. Sebagai issu yang
aktual, penulis tersentak, ketika RUU KAMNAS masih diketahui sedikit
sekali oleh kalangan mahasiswa. Pertanyaan, pendapat dan pernyataan
yang disampaikan membuka mata penulis, ternyata pembahasan RUU KAMNAS
hanya diketahui publik secara sekilas tanpa memasuki wilayah
substansif. Kekhawatiran ini selain RUU KAMNAS akan menggelinding
pembahasan di parlemen, penguasaan materi RUU KAMNAS harus tuntas
agar pembahasan tidak terjebak dengan perdebatan “warung kopi”.
Berangkat
dari kekhawatiran inilah, kemudian penulis mencoba menyumbangkan
gagasan agar RUU KAMNAS dapat dilihat secara utuh.
Bertentangan
dengan Prinsip Hukum Acara
Didalam
RUU KAMNAS disebutkan “RUU Keamanan Nasional memberikan wewenang
kepada instansi untuk menyadap, memeriksa, dan menangkap.
Tentu
saja kalimat “menyadap, memeriksa dan menangkap” yang
dilakukan oleh lembaga Keamanan Nasional akan bertentangan dengan
prinsip hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui, pada prinsipnya
yang berwenang untuk melakukan “penyadapan, memeriksa, dan
menangkap” merupakan kewenangan dari penyidik. Kewenangan ini
tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak mempunyai wewenang
sebagai penyidik. Selain bertabrakan dengan prinsip-prinsip dari
hukum acara, cara-cara yang dilakukan seperti “penyadapan,
memeriksa dan menangkap” yang dilakukan selain penyidik akan
bertentangan dengan demokrasi, HAM dan nilai-nilai berbangsa dan
bernegara.
Sehingga
tidak salah apabila tuduhan serius terhadap RUU KAMNAS akan
membangkitkan “batang tarandam” dengan menghidupkan cara-cara
“Bakorstanas” atau “Pangkopkamtib” sebuah
periode traumatik dari rezim otoriter Orde baru.
Selain
itu juga kebebasan pers yang merupakan buah dari reformasi akan
tenggelam dan kemudian menjadi sebuah idiom yang hampa.
Bertentangan
dengan prinsip demokrasi
Di
kalangan pers untuk membongkar sebuah kasus (baik korupsi, narkoba
maupun terorisme), biasa dikenal dengan menyebutkan sumber dengan
istilah anonim. Istilah ini untuk melindung dan menyembunyikan
identitas nara sumber demi kepentingan nara sumber itu sendiri.
Dalam
berbagai kasus-kasus dan pemberitaan, informasi yang diberikan
merupakan informasi yang valid, dapat dipertanggungjawabkan dan dapat
dijadikan petunjuk kepada pers untuk membongkar sebuah informasi yang
dimaksudkan. Istilah yang diberikan biasa dikenal “of the record”.
Dengan
informasi yang diberikan, kemudian pers dapat membongkar sebuah
informasi demi kepentingan publik mendapatkan sebuah peristiwa.
Dalam
praktek kemudian, sampai di persidangan, wartawan yang diberi
informasi harus melindungi narasumber yang telah memberikan informasi
dan telah menyatakan “of the record”.
Bahkan
dalam persidanganpun, wartawan yang bersangkutan “harus pasang
badan” dan harus menanggung resiko untuk menyembunyikan nara
sumber pemberi informasi.
Praktek
ini telah dikenal universal dalam dunia pers.
Namun
dengan RUU KAMNAS, maka prinsip-prinsip ini “ditabrak”. RUU
KAMNAS bahkan bisa “memaksa” wartawan untuk menyebutkan
narasumber informasi. Karena
itu, jurnalis akan menjadi sasaran yang mudah dituduh karena
menguasai banyak informasi.
Kewenangan
menafsirkan
Didalam
RUU KAMNAS, adanya istilah “istilah ancaman tidak bersenjata”,
“ancaman membahayakan negara”, penindakan dini”.
Pertanyaan
selanjutnya siapakah yang berwenang untuk menafsirkan kalimat
““istilah ancaman tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan
negara”, penindakan dini ?
Apabila
dibaca secara lengkap, maka didalam RUU KAMNAS, maka badan yang
dibentuk yang kemudian menafsirkan dan melihat apakah telah terjadi
ancaman tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan negara”,
penindakan dini ?
Tentu
saja sangat berbahaya apabila indikator yang digunakan tidak
berangkat dari pendekatan hukum. Selain cara-cara ini akan
menimbulkan cara-cara fasis dalam negara demokrasi, maka cara-cara
ini akan cenderung “melindungi kekuasaan”.
Didalam
Hukum, “ancaman” terhadap negara sudah diatur didalam KUHP.
Cara-cara bersenjata telah diatur didalam pasal-pasal yang berkaitan
dengan “MAKAR”. Sedangkan perbuatan yang dilakukan tanpa
bersenjata namun berkaitan dengan mengganti “ideologi negara”,
mengganti sistem pemerintahan”, memisahkan dari negara (separatis),
“mengganti kepala negara” adalah sebagian dari
perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana
yang dikenal dengan MAKAR. Semuanya telah diatur dengan jelas didalam
KUHP.
Perbuatan
yang diatur didalam KUHP kemudian menjalani proses hukum yang telah
diatur didalam KUHAP. Sehingga tafsiran “perbuatan pidana” yang
berkaitan dengan MAKAR menggunakan pendekatan hukum melalui putusan
pengadilan.
Namun
dengan RUU KAMNAS, pendekatan hukum kemudian “dikesampingkan”
dengan menggunakan pendekatan politik oleh lembaga berdasarkan RUU
KAMNAS. Cara-cara ini sangat berbahaya karena dengan alasan “ancaman
tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan negara”, penindakan
dini, maka Kepala Negara maupun
kepala Daerah dapat menggunakan cara-cara ini walaupun di hadapannya,
cara ini tidak tepat karena akan bertabrakan dengan “kebebasan
politik”, “menyampaikan pendapat”, “sikap kritis”, “koreksi
terhadap berbagai penyimpangan” dan sebagainya.
Paradigma
sesat
Dengan
melihat berbagai rumusan didalam RUU KAMNAS, maka perbedaan ini
didasarkan kepada paradigma yang sesat. Padahal Menggunakan
kekuatan keamanan telah diatur didalam UU Pemda. Bahkan RUU Kamnas
terkesan ingin mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari ancaman
bersenjata hingga penanganan bencana. Sehingga tidak salah apabila
RUU Kamnas berpotensi menciptakan rezim otoriter baru.
Dimuat di Posmetronline, 21 Desember 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/13250-ruu-kamnas-dari-perpektif-hukum.html
Dimuat di Posmetronline, 21 Desember 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/13250-ruu-kamnas-dari-perpektif-hukum.html