13 Maret 2017

opini musri nauli : BENCANA ALAM DAN PERADABAN




Sewaktu ke kota Mataram tahun 2015, saya kemudian tercengang mendengarkan cerita tentang Gunung Tambora. Gunung Tambora memuntahkan setengah bagian tubuhnya. Dari ketinggian Tambora sebelum meletus 4300 mdpl tinggal dan menjadi ketinggian 2815 mpdl.

Meletusnya Tambora cuma dikisahkan dari catatan laporan kesaksian saat letusan Gunung Tambora terjadi, yang disarikan dari ”Transactions of the Batavian Society” Vol VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816. Atau catatan dari Heinrich Zollinger[1], Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora 1847.

Meletusnya Tambora belum bisa dihubungkan musim tanpa panas (The Year without summer) di Eropa. Masyarakat Eropa bingung dalam masa periode setahun tanpa disinari matahari. Bahkan 50 tahun terakhir barulah kemudian dunia bisa menghubungkan kekalahan Napoleon Bonaparte karena hujan berkepanjangan di Eropa. Hujan berkepanjangan kemudian menyebabkan pasukan tidak bisa digerakkan oleh Napoleon.

Tidak cukup hanya itu. Meletusnya Tambora menghancurkan kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat.

Bencana juga mempercepat kehancuran Majapahit. Menurut Negarakertagama[2], istilah “sirna ilang kertaning bumi” kemudian disusul “guntur pawatugung” diartikan sebagai bencana alam menjadi penyebab kehancuran Majapahit. Imperium Majapahit yang begitu digdaya menguasai wilayah melebihi Indonesia[3] kemudian hancur selain peperangan antara saudara, semakin massifnya perlawanan Negara bagian Majapahit juga dihancurkan oleh bencana alam. Sumber lain juga menyebutkan bencana selain gunung meletus (Guntur pawatugung) juga “sirna ilang kertaning bumi (gempa bumi).

Begitu juga meletusnya Gunung Toba yang memusnahkan peradaban manusia sumatera 73 ribu tahun masehi. Kedatangan manusia ke Pulau Sumatera kemudian hanya meninggalkan jejak arkeologi dan menghapuskan pengetahuan manusia tentang kedatangan ke pulau sumatera[4].

Bagaimana dengan musnahnya peradaban Sriwijajaya ataupun Kerajaan Melayu Jambi di Muara Jambi. Terlepas dari penyerbuan tentara Singapura ke negeri Melayu atau ke Pulau Sumatera yang dikenal sebagai “Pamalayu” didalam Kidung Harsa Wijaya yang menjadi penyebab hancurnya Sriwijaya[5], misteri hilangnya Sriwijaya menarik untuk ditelusuri.

Yang menyedihkan, cerita Melayu Jambi di Muara Jambi tidak dapat diikuti jejaknya berdasarkan dari cerita rakyat. Berbagai penelitian arkeologi tentang besarnya Kerajaan Melayu Jambi tidak dapat dihubungkan dengan cerita rakyat.

Namun yang pasti, berbagai kerajaan besar tidak dapat dilepaskan dari bencana alam yang kemudian menenggelamkan. Tidak hanya kerajaan seperti kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya ataupun Kerajaan Melayu Jambi namun juga peradaban agung yang berada di dalam tanah untuk digali.




[1] Heinrich Zollinger merupakan peneliti yang berjejak pertama kalinya di Tambora usai gunung itu menunjukkan amarahnya. Zollinger menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.
[2] Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, Penerbit LKis, Yogyakarta,  2012.
[3] Menurut Nagarakertagama pupuh 13 dan pupuh 14, Imperium Majapahit mempunyai wilayah di Kepulauan Nusantara maupun semenanjung Melayu. Pupuh 14/pupuh 15 menyebutkan Pulau Ambon, Seram dan Timor. Begitu juga di Semenanjung Melayu seperti Langkasuka, Kalantan, Tringgano, Paka, Dungun, Tumasik, Klang, Keda dan Jurai. Tumasik atau Temasek kemudian dikenal wilayah yang sekarang masuk kedalam Negara Singapura. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, Penerbit LKis, Yogyakarta,  2012, Hal. 60
[4] Mongabay.co.id, 2 Februari 2017
[5] Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, Penerbit LKis, Yogyakarta,  2012, Hal. 174