Sewaktu
ke kota Mataram tahun 2015, saya kemudian tercengang mendengarkan cerita
tentang Gunung Tambora. Gunung Tambora memuntahkan setengah bagian tubuhnya. Dari ketinggian Tambora
sebelum meletus 4300 mdpl tinggal dan menjadi ketinggian 2815 mpdl.
Meletusnya Tambora cuma
dikisahkan dari catatan laporan kesaksian saat letusan Gunung Tambora terjadi,
yang disarikan dari ”Transactions of the Batavian Society” Vol VIII, 1816, dan
dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816. Atau catatan dari Heinrich
Zollinger[1],
Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora 1847.
Meletusnya Tambora belum bisa
dihubungkan musim tanpa panas (The Year without summer) di Eropa.
Masyarakat Eropa bingung dalam masa periode setahun tanpa disinari matahari.
Bahkan 50 tahun terakhir barulah kemudian dunia bisa menghubungkan kekalahan
Napoleon Bonaparte karena hujan berkepanjangan di Eropa. Hujan berkepanjangan
kemudian menyebabkan pasukan tidak bisa digerakkan oleh Napoleon.
Tidak cukup hanya itu. Meletusnya
Tambora menghancurkan kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat.
Bencana
juga mempercepat kehancuran Majapahit. Menurut Negarakertagama[2],
istilah “sirna ilang kertaning bumi” kemudian disusul “guntur pawatugung”
diartikan sebagai bencana alam menjadi penyebab kehancuran Majapahit. Imperium
Majapahit yang begitu digdaya menguasai wilayah melebihi Indonesia[3]
kemudian hancur selain peperangan antara saudara, semakin massifnya perlawanan
Negara bagian Majapahit juga dihancurkan oleh bencana alam. Sumber lain juga
menyebutkan bencana selain gunung meletus (Guntur pawatugung) juga “sirna ilang
kertaning bumi (gempa bumi).
Begitu
juga meletusnya Gunung Toba yang memusnahkan peradaban manusia sumatera 73 ribu
tahun masehi. Kedatangan manusia ke Pulau Sumatera kemudian hanya meninggalkan
jejak arkeologi dan menghapuskan pengetahuan manusia tentang kedatangan ke
pulau sumatera[4].
Bagaimana
dengan musnahnya peradaban Sriwijajaya ataupun Kerajaan Melayu Jambi di Muara
Jambi. Terlepas dari penyerbuan tentara Singapura ke negeri Melayu atau ke
Pulau Sumatera yang dikenal sebagai “Pamalayu” didalam Kidung Harsa Wijaya yang
menjadi penyebab hancurnya Sriwijaya[5],
misteri hilangnya Sriwijaya menarik untuk ditelusuri.
Yang
menyedihkan, cerita Melayu Jambi di Muara Jambi tidak dapat diikuti jejaknya
berdasarkan dari cerita rakyat. Berbagai penelitian arkeologi tentang besarnya
Kerajaan Melayu Jambi tidak dapat dihubungkan dengan cerita rakyat.
Namun
yang pasti, berbagai kerajaan besar tidak dapat dilepaskan dari bencana alam
yang kemudian menenggelamkan. Tidak hanya kerajaan seperti kerajaan Sanggar, Kerajaan
Tambora dan Kerajaan Pekat, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya ataupun
Kerajaan Melayu Jambi namun juga peradaban agung yang berada di dalam
tanah untuk digali.
[1] Heinrich Zollinger merupakan peneliti
yang berjejak pertama kalinya di Tambora usai gunung itu menunjukkan amarahnya.
Zollinger menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat
yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dia mendaki dan memanjat reruntuhan
tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke
angkasa.
[2]
Slamet Muljana, Menuju Puncak
Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, Penerbit LKis, Yogyakarta, 2012.
[3]
Menurut Nagarakertagama pupuh 13 dan pupuh 14, Imperium Majapahit mempunyai
wilayah di Kepulauan Nusantara maupun semenanjung Melayu. Pupuh 14/pupuh 15
menyebutkan Pulau Ambon, Seram dan Timor. Begitu juga di Semenanjung Melayu
seperti Langkasuka, Kalantan, Tringgano, Paka, Dungun, Tumasik, Klang, Keda dan
Jurai. Tumasik atau Temasek kemudian dikenal wilayah yang sekarang masuk
kedalam Negara Singapura. Slamet Muljana, Menuju
Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, Penerbit LKis, Yogyakarta, 2012, Hal. 60
[4] Mongabay.co.id, 2 Februari 2017
[5] Slamet
Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah
Kerajaan Majapahit, Penerbit LKis, Yogyakarta,
2012, Hal. 174