13 April 2012

opini musri nauli : RAKYAT MENGAJARKAN MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM




RAKYAT MENGAJARKAN MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM


Pengalaman ini ditemukan disaat ketika Walhi Jambi “belajar” di tengah masyarakat menolak izin PT. DAM yang mengajukan izin HTI seluas 83.000 ha di Kabupaten Merangin. Masyarakat yang menolak izin HTI PT. DAM mengorganisir dan melakukan penolakan dengna pertimbangan, hutan yang selama ini menjadi kawasan hutan adat memberikan hasil dan pengaturan terhadap alam sekitarnya.
Pelajaran penting ditemukan, kawasan hutan adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat ternyata selain sumber kehidupan seperti air dan hasil-hasil hutan baik kayu dan non kayu, juga sebagai sumber pengaturan debit air untuk menggerakkan turbin PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Berangkat dari pelajaran yang ditemukan, Walhi Jambi kemudian belajar dari masyarakat.

LUAK XVI

Kabupaten Merangin terletak di wilayah provinsi Jambi bagian Barat dengan luas wilayah ± 767. 890 Ha, dan secara Geografis terletak pada kordinat 101˚ 32’ 11” - 102˚ 50’ 00” Bujur Timur dan Lintang Selatan dengan 1˚ 28’ 23” - 1˚ 52’ 00” dengan jumlah populasi penduduk 289. 926 jiwa

Kabupaten Merangin merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Jambi. Kabupaten Merangin mempunyai luas Taman Nasional (TNKS) 121.046 Ha dari total jumlah TNKS 402,500 Ha, Hutan Lindung (HL) 36.734 Ha dari total jumlah hutan lindung 1,653,352 Ha, Hutan Produksi (HP) 136.275 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 44.118 Ha, Areal Penggunaan Lain (APL) 429.729 Ha, dengan luas kawasan hutan di kabupaten merangin 767.900 Ha.[1]  

Persatuan Wilayah adat LUAK XVI terdiri dari Marga Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Renah Pembarap, Margo Margo Tiang Pumpung dan Margo Sanggreahan. Secara administrasi terletak di Kabupaten Merangin Propinsi Jambi, Indonesia. Sebagai persatuan wilayah adat, administrasi Hindia Belanda telah mencatat sebagaimana dicantumkan didalam Schetskaart Adatgemeenschappen dengan skala 1 : 750.000. Dokumen ini begitu penting, apabila dilihat jalur perdagangan kulit manis (casiavera) yang dikirimi melalui padang dan di ekspor ke padang[2]. Lihat Peta di bawah ini. 


Sejarah Luak[3] XVI bukan timbul disaat pengusulan hutan desa. Luak XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. LUAK XVI merupakan komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat dan menghormati hukum adat[4].

Pernyataan ini sengaja disampaikan sebagai kritik yang disampaikan Gerry van Klinken[5] yang mendefinsikan bahwa keberadaan masyarakat adat “ditemukan” pada awal abad ke -20.

Luak Melayu termasuk rumpun kesukuan Melayu[6].  Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan[7] dari 650 suku di Indonesia[8]. Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua.

Persatuan Wilayah adat Luak XVI kemudian berkembang menjadi 6 kecamatan. Namun pencantuman Margo sebagai Kecamatan tidak mengikuti penamaan Margo dan berdasarkan perkembangan zaman. Begitu juga, dusun yang termasuk kedalam Margo tidak mengikuti penempatan Margo tapi mengikuti akses pelayanan. Margo Serampas menjadi Kecamatan Jangkat, Margo Sungai Tenang menjadi Kecamatan Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo menjadi Kecamatan Lembah Masurai, Margo Senggrahan termasuk kedalam Kecamatan Muara Siau, Margo Tiang Pumpung menjadi kecamatan Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap menjadi kecamatan Renah Pembarap. Desa Rantau Jering, Desa Muara Langayo, Desa Muara Pangi, Desa Tanjung Dalam yang termasuk kedalam Margo Sungai Tenang berasal dari Koto Sepuluh tidak menginduk kepada Kecamatan Sungai Tenang tapi termasuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai. Penempatan Desa Rantau Jering, Desa Muara Langayo, Desa Muara Pangi, Desa Tanjung Dalam kedalam kecamatan Lembah Masurai yang tidak termasuk kedalam Kecamatan Sungai Tenang didasarkan kepada jauhnya akses ke Kecamatan Sungai Tenang dan lebih dekat kepada Kecamatan Lembah Masurai. Begitu juga Desa Lubuk Beringin, Lubuk Birah dan Desa Durian Rambun yang termasuk kedalam Margo Senggrahan kemudian masuk kedalam Kecamatan Muara Siau.

Persatuan Wilayah Adat LUAK XVI yang terdiri 6 Margo  didalam membicarakan kewilayahan, batas Margo, batas antara Margo, batas desa dalam margo dan menghubungkan antara desa satu dengna dengan lain dalam satu margo, Cara menentukan batas wilayah, baik klaim adat maupun berbagai pemetaan yang menggambarkan “wilayah kelola” dan pengaturan yang telah diturunkan turun temurun dilakukan dengan tutur dan seloko adat yang lebih dikenal dengan nama “TAMBO”[9].

NILAI-NILAI ADAT YANG MENGATUR SUMBER DAYA ALAM

Didalam mengelola sumber daya alam, masyarakat LUAK XVI mendasarkan kepada pengetahuan dan pengaturan hukum adat. Nilai-nilai yang diajarkan didalam Persekutuan Masyarakat Adat Luak XVI dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer)[10].

Masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Seperti “seinduk bak ayam, serumpun bak serai, Besikek bak pisang, batutung bak tebu.

Nilai-nilai yang menjadi pondasi penting dapat dilihat dari ujaran Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan. Adat lamo pusako usang, yang terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jati. Setitik nan dak ilang, sebaris yang tidak tebo.
o       ngambil arin dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian” yaitu dimana petani bekerja di lahan petani yang lain secara bergantian berdasarkan hitungan jumlah hari kerja.
o       Gerebuh yaitu jika ada keluarga yang mendapat musibah (misalnya kematian, kecelakaan atau musibah besar lainnya) maka anggota keluarga terdekat atau bisa penduduk dusun secara suka rela membantu menyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti : panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan pada areal ladang tempat menanam padi ladang).
o       Nyerayo meminta bantu kepada keluarga, tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk (isi alam isi negeri, anak jantan anak betino) untuk membantu meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan padi ladang).
o       Gotong Royong pemerintah desa atau nenek mamak memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk membantu sesuatu pekerjaan seperti mendirikan masjid dan sebagainya
o       Ngingah Ternak yaitu memelihara ternak orang lain dengan kemudian keturunannya menjadi milik bersama.
o       “motong kebun orang” yaitu memanen / menderes karet orang lain dengan sistem bagi hasil (umumnya sistem bagi tiga, 2/3 menjadi bagian pemotong)
o       “Nigoi sawah” yaitu mengelola sawah orang lain dengan sistem bagi tiga.
o       “Nugal” yaitu bersama-sama dengan petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok talang) menanam padi ladang. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal
o       Larangan meracun ikan” yaitu larangan penduduk meracun ikan di sungai. Jika kedapatan atau ketahuan dikenakan sanksi adat.
o       Hak Dacin pado yang ditimbang, hak sukam pado yang digantang,
o       Betegak rumah mengundang dan meminta bantuan penduduk desa dalam mendirikan rumah biasanya diiringi dengan sedekah dan beberapa tahapan prosesi adat
o       Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah

TATA CARA MEMBUKA HUTAN

Masyarakat selalu memegang teguh dan ketat menjaga hutan. Hutan larangan/yang konstruksinya di lereng dengan kemiringan diatas 60 derajat. Rimbo sunyi harimau lepas. Tempat beruk siamang putih. Tempat ungko berebut tangis. Sesungguhnya ada hutan yang tidak boleh diambil, seperti hutan di hulu sungai/dekat sungai, hutan angker atau hutan yang dianggap ado penunggu gaibnyo.

Pada prinsipnya, Persatuan Melayu membuka diri dengan pihak luar. Namun kewajiban pendatang untuk menghormati nilai adat setempat. Ujaran ”Nasi Putih, air jernih” adalah tradisi menghormati dan menerima pendatang.

Hasil hutan boleh dinikmati. Pohon yang tidak boleh ditebang. Pohon durian dan pohon pete.

1.     Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat;
2.     Hutan yang Dibuka dilakukan secara kelompok
1.     Rapat Besar. Lembaga adat mengadakan “Rapat Besar” pada hari ke 10 Lebaran Besar (idul Fitri) untuk menentukan pembagian kelompok membuka rimbo.
2.     LAMBAS. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus membuka selama 3 bulan.
3.     Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun. Apabila tidak ditanami, maka tidak boleh membuka rimbo lagi;
4.     Pada bulan Haji (Idul Adha) dilakukan penumbangan, dan menebas untuk dijadikan perkebunan.
5.     Pada Bulan Safar dilakukan pembakaran, menugal dan harus selesai selama bulan safar.
6.     Tanah yang dibuka tidak boleh dijual  kepada orang luar;
7.     Tanah yang telah dibuka dan ditanami menjadi hak milik.
8.     SESAP RENDAH, BELUKAR TINGGI. Apabila tanah dibuka tidak ditanami, maka tidak ada hak
2.     Belukar Lasah.  Areal yang dulunya berupa hutan kemudian dibuka tapi tidak jelas lagi siapa yang membukanya,  kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh masyarakat dusun setempat.

JENJANG ADAT

Apabila adanya perselisihan antara masyarakat maka diselesaikan dengan istilah “jenjang adat”.          Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah

Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,  menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun.
a.     Dari Suku membawa ke nenek mamak
b.     Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang.
c.     Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun.
d.     Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa.

Dengan memperhatikan pelajaran penting yang didapat dari masyarakat adat LUAK XVI, maka terbukti masyarakat adat LUAK XVI terbukti mampu menjaga dan mengelola hutan.








[1] sumber: RTRW Kabupaten Merangin Tahun 2002. 
[2] Jalur perdagangan kulit manis melalui padang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun didalam bentuk visual masih ditemukan, Kantor Desa Dusun Tuo di Kecamatan Lembah Masurai peninggalan Belanda sebagai gambaran jalur perdagangan yang membuktikan sibuknya perniagaan pada saat itu.
[3] Mengenai istilah LUAK menimbulkan perbedaan versi. Disatu sisi sebagian menggunakan istilah LUAK (lihat Bukunya Mochtar Agus Cholif, Hal ). Sedangkan disisi lain menggunakan istilah LUHAK dengan alasan
[4] ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum.
[5] Secara lugas Gerry van Klinken menyatakan bahwa “etnis”  Dayak ditemukan pada awal abad ke -20 untuk menyatukan berbagai suku yang tinggal di sekitar hutan denngan kelompok di luar suku Banjar, dengan tujuan untuk membangun solidaritas dan persaingan atas posisi pelayanan sipil. Sejak saat itu. Persaudaraan Dayak telah diciptakan oleh kelompok menengah perkotaan. Dengan mengabaikan konsensus di antara penduduk di sekitar hutan, hanya mempunyai satu agenda yaitu membuat propinsi Dayak atas perjuangan mereka sendiri yang dilakukan oleh Dayak terpelajar. Van Klinken menduga bahwa orang-orang Dayak perkotaan bekerja sama dengan orang Soeharto dan disertai dengan perkumpulan etnis Dayak, yang menjadi “partai politik secara de facto” setelah kejatuhannya kekuasaan orde baru. Van Klinken mencurigai, orang-orang Dayak perkotaan ini sebagai tokoh penggerak atas terjadinya krisis anti Madura sebagai reaksi pelaksanaan otonomi daerah pada tahun Januari 2001.
Analisis satu pihak yang dilakukan Van Klinken tentang situasi antara Dayak Dan Madura di Kalimantan dimuat dalam Majalah The Economist (2 Maret 1999) yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang bertikai meyakini bahwa orang Madura secara alamiah adalah orang yang menjengkelkan dan kehadiran mereka di Kalimantan telah merugikan masyarakat adat. Orang Madura dituduh melanggar batas tanah tradisional suku Dayak dan melakukan aktivitas penebangan hutan dan pertambangan bekerja sama dengan perusahaan yang dimiliki pejabat Militer.  Komunalisme dan Kekerasan Komunal, Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume V No. 1 Tahun 2008, Hal. 13 - 15
[6]
[7] Kriteria dominan didasarkan jumlahnya yang proporsional, punya tradisi pemerintahan Kerajaan yang mapan pada periode lampau, menyumbangkan banyak tokoh nasional dalam setiap kehidupan, terutama kebudayaan, intelektual dan elite negeri.
[8] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[9]Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacarn ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
[10] Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta,”Apakah Teori Hukum itu?”, Penerbitan Tidak Berkala No.3, Laboratorium Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, Tahun 2000, hal.57