RAKYAT MENGAJARKAN MENGELOLA SUMBER DAYA
ALAM
Pengalaman
ini ditemukan disaat ketika Walhi Jambi “belajar” di tengah masyarakat menolak
izin PT. DAM yang mengajukan izin HTI seluas 83.000 ha di Kabupaten Merangin.
Masyarakat yang menolak izin HTI PT. DAM mengorganisir dan melakukan penolakan
dengna pertimbangan, hutan yang selama ini menjadi kawasan hutan adat
memberikan hasil dan pengaturan terhadap alam sekitarnya.
Pelajaran
penting ditemukan, kawasan hutan adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat
ternyata selain sumber kehidupan seperti air dan hasil-hasil hutan baik kayu
dan non kayu, juga sebagai sumber pengaturan debit air untuk menggerakkan
turbin PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Berangkat dari pelajaran
yang ditemukan, Walhi Jambi kemudian belajar dari masyarakat.
LUAK
XVI
Kabupaten Merangin terletak di wilayah provinsi
Jambi bagian Barat dengan luas wilayah ± 767. 890 Ha, dan secara
Geografis terletak pada kordinat 101˚ 32’ 11” - 102˚ 50’ 00” Bujur Timur dan
Lintang Selatan dengan 1˚ 28’ 23” - 1˚ 52’ 00” dengan jumlah populasi penduduk
289. 926 jiwa
Kabupaten
Merangin merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Jambi. Kabupaten
Merangin mempunyai luas Taman Nasional (TNKS) 121.046 Ha dari total jumlah TNKS
402,500 Ha, Hutan Lindung (HL) 36.734 Ha dari total jumlah hutan lindung 1,653,352 Ha, Hutan Produksi (HP) 136.275 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 44.118 Ha,
Areal Penggunaan Lain (APL) 429.729 Ha, dengan luas kawasan hutan di kabupaten
merangin 767.900 Ha.[1]
Persatuan Wilayah adat LUAK XVI terdiri
dari Marga Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Renah
Pembarap, Margo Margo Tiang Pumpung dan Margo Sanggreahan. Secara administrasi
terletak di Kabupaten Merangin Propinsi Jambi, Indonesia. Sebagai persatuan
wilayah adat, administrasi Hindia Belanda telah mencatat sebagaimana
dicantumkan didalam Schetskaart Adatgemeenschappen dengan skala 1 : 750.000.
Dokumen ini begitu penting, apabila dilihat jalur perdagangan kulit manis
(casiavera) yang dikirimi melalui padang dan di ekspor ke padang[2]. Lihat Peta di bawah ini.
Sejarah Luak[3] XVI bukan
timbul disaat pengusulan hutan desa. Luak XVI sudah menjadi hidup dan tidak
terpisahkan daripada kehidupan masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan
komunitas wilayah adat yang mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat
dan hukum yang mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. LUAK XVI merupakan
komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat dan
menghormati hukum adat[4].
Pernyataan ini sengaja disampaikan sebagai
kritik yang disampaikan Gerry van Klinken[5] yang
mendefinsikan bahwa keberadaan masyarakat adat “ditemukan” pada awal abad ke
-20.
Luak Melayu termasuk rumpun kesukuan
Melayu[6]. Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang
dominan[7] dari 650 suku
di Indonesia[8]. Zulyani
Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih
kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan
barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua.
Persatuan Wilayah adat Luak XVI kemudian
berkembang menjadi 6 kecamatan. Namun pencantuman Margo sebagai Kecamatan tidak
mengikuti penamaan Margo dan berdasarkan perkembangan zaman. Begitu juga, dusun
yang termasuk kedalam Margo tidak mengikuti penempatan Margo tapi mengikuti
akses pelayanan. Margo Serampas menjadi Kecamatan Jangkat, Margo Sungai Tenang
menjadi Kecamatan Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo menjadi Kecamatan Lembah
Masurai, Margo Senggrahan termasuk kedalam Kecamatan Muara Siau, Margo Tiang
Pumpung menjadi kecamatan Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap menjadi kecamatan
Renah Pembarap. Desa Rantau Jering, Desa Muara Langayo, Desa Muara Pangi, Desa
Tanjung Dalam yang termasuk kedalam Margo Sungai Tenang berasal dari Koto
Sepuluh tidak menginduk kepada Kecamatan Sungai Tenang tapi termasuk kedalam
Kecamatan Lembah Masurai. Penempatan Desa Rantau Jering, Desa Muara Langayo,
Desa Muara Pangi, Desa Tanjung Dalam kedalam kecamatan Lembah Masurai yang
tidak termasuk kedalam Kecamatan Sungai Tenang didasarkan kepada jauhnya akses
ke Kecamatan Sungai Tenang dan lebih dekat kepada Kecamatan Lembah Masurai.
Begitu juga Desa Lubuk Beringin, Lubuk Birah dan Desa Durian Rambun yang
termasuk kedalam Margo Senggrahan kemudian masuk kedalam Kecamatan Muara Siau.
Persatuan Wilayah Adat LUAK XVI yang
terdiri 6 Margo didalam membicarakan
kewilayahan, batas Margo, batas antara Margo, batas desa dalam margo dan
menghubungkan antara desa satu dengna dengan lain dalam satu margo, Cara
menentukan batas wilayah, baik klaim adat maupun berbagai pemetaan yang
menggambarkan “wilayah kelola” dan pengaturan yang telah diturunkan turun temurun
dilakukan dengan tutur dan seloko adat yang lebih dikenal dengan nama “TAMBO”[9].
NILAI-NILAI ADAT YANG MENGATUR SUMBER DAYA ALAM
Didalam mengelola sumber daya alam,
masyarakat LUAK XVI mendasarkan kepada pengetahuan dan pengaturan hukum adat.
Nilai-nilai yang diajarkan didalam Persekutuan Masyarakat Adat Luak XVI dikenal
sebagai ajaran nilai (waardenleer)[10].
Masyarakat merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Seperti “seinduk bak ayam, serumpun bak serai, Besikek bak
pisang, batutung bak tebu.
Nilai-nilai yang menjadi pondasi penting
dapat dilihat dari ujaran Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur.
Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak
lapuk karena hujan. Adat lamo pusako usang, yang terpahat di tiang panjang yang
terlukis di bendul jati. Setitik nan dak ilang, sebaris yang tidak tebo.
o
”ngambil arin dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian” yaitu
dimana petani bekerja di lahan petani yang lain secara bergantian berdasarkan
hitungan jumlah hari kerja.
o
Gerebuh yaitu jika ada keluarga yang
mendapat musibah (misalnya kematian, kecelakaan atau musibah besar lainnya)
maka anggota keluarga terdekat atau bisa penduduk dusun secara suka rela
membantu menyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti : panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan
gulma/rerumputan pada areal ladang tempat menanam padi ladang).
o
Nyerayo meminta bantu kepada
keluarga, tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk (isi alam isi negeri, anak jantan anak betino)
untuk membantu meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan
gulma/rerumputan padi ladang).
o
Gotong Royong pemerintah
desa atau nenek mamak memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk membantu
sesuatu pekerjaan seperti mendirikan masjid dan sebagainya
o
Ngingah Ternak yaitu
memelihara ternak orang lain dengan kemudian keturunannya menjadi milik
bersama.
o
“motong kebun orang” yaitu memanen / menderes karet orang lain dengan sistem bagi hasil (umumnya
sistem bagi tiga, 2/3 menjadi bagian pemotong)
o
“Nigoi sawah” yaitu
mengelola sawah orang lain dengan sistem bagi tiga.
o
“Nugal” yaitu bersama-sama dengan
petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok talang) menanam padi
ladang. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk
membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal”
o
“Larangan meracun ikan” yaitu larangan penduduk meracun ikan di
sungai. Jika kedapatan atau ketahuan dikenakan sanksi adat.
o
Hak Dacin pado yang ditimbang,
hak sukam pado yang digantang,
o
Betegak rumah mengundang dan
meminta bantuan penduduk desa dalam mendirikan rumah biasanya diiringi dengan
sedekah dan beberapa tahapan prosesi adat
o
Dimana bumi
dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah
TATA CARA MEMBUKA HUTAN
Masyarakat selalu memegang teguh dan ketat
menjaga hutan. Hutan larangan/yang konstruksinya di lereng dengan kemiringan
diatas 60 derajat. Rimbo sunyi harimau lepas. Tempat beruk siamang putih.
Tempat ungko berebut tangis. Sesungguhnya ada hutan yang
tidak boleh diambil, seperti hutan di hulu sungai/dekat sungai, hutan angker
atau hutan yang dianggap ado penunggu gaibnyo.
Pada prinsipnya, Persatuan Melayu membuka
diri dengan pihak luar. Namun kewajiban pendatang untuk menghormati nilai adat
setempat. Ujaran ”Nasi Putih, air jernih” adalah tradisi menghormati dan
menerima pendatang.
Hasil hutan boleh dinikmati. Pohon yang
tidak boleh ditebang. Pohon durian dan pohon pete.
1.
Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam
rapat Adat;
2.
Hutan
yang Dibuka dilakukan secara kelompok
1.
Rapat Besar. Lembaga adat
mengadakan “Rapat Besar” pada hari ke 10 Lebaran Besar (idul Fitri) untuk
menentukan pembagian kelompok membuka rimbo.
2.
LAMBAS. setiap Ketua
Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus
membuka selama 3 bulan.
3.
Setiap
Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun.
Apabila tidak ditanami, maka tidak boleh membuka rimbo lagi;
4.
Pada
bulan Haji (Idul Adha) dilakukan penumbangan, dan menebas untuk dijadikan
perkebunan.
5.
Pada Bulan Safar dilakukan pembakaran, menugal dan harus
selesai selama bulan safar.
6.
Tanah yang dibuka tidak boleh dijual kepada orang luar;
7.
Tanah yang telah dibuka dan ditanami menjadi hak milik.
8.
SESAP RENDAH,
BELUKAR TINGGI. Apabila tanah dibuka tidak ditanami, maka tidak ada hak
2. Belukar Lasah. Areal yang dulunya berupa hutan kemudian
dibuka tapi tidak jelas lagi siapa yang membukanya, kemudian ditetapkan melalui mufakat desa
untuk dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh
masyarakat dusun setempat.
JENJANG ADAT
Apabila adanya perselisihan antara
masyarakat maka diselesaikan dengan istilah “jenjang adat”. Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu
bongkol sama ditarah
Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung
putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat.
Betakap naik, berjenjang turun.
a.
Dari Suku membawa ke nenek mamak
b.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada
Debalang.
c.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang
memberitahu kepada Kepala Dusun.
d.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun
memberitahu kepada kepala Desa.
Dengan memperhatikan pelajaran penting
yang didapat dari masyarakat adat LUAK XVI, maka terbukti masyarakat adat LUAK
XVI terbukti mampu menjaga dan mengelola hutan.
[1] sumber: RTRW Kabupaten Merangin Tahun
2002.
[2] Jalur perdagangan kulit manis melalui padang masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Namun didalam bentuk visual masih ditemukan, Kantor
Desa Dusun Tuo di Kecamatan Lembah Masurai peninggalan Belanda sebagai gambaran
jalur perdagangan yang membuktikan sibuknya perniagaan pada saat itu.
[3] Mengenai istilah LUAK menimbulkan perbedaan
versi. Disatu sisi sebagian menggunakan istilah LUAK (lihat Bukunya Mochtar
Agus Cholif, Hal ). Sedangkan disisi lain menggunakan istilah LUHAK dengan
alasan
[4] ubi societas ibi jus yang
artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum.
[5] Secara lugas Gerry van Klinken menyatakan
bahwa “etnis” Dayak ditemukan pada awal
abad ke -20 untuk menyatukan berbagai suku yang tinggal di sekitar hutan
denngan kelompok di luar suku Banjar, dengan tujuan untuk membangun solidaritas
dan persaingan atas posisi pelayanan sipil. Sejak saat itu. Persaudaraan Dayak
telah diciptakan oleh kelompok menengah perkotaan. Dengan mengabaikan konsensus
di antara penduduk di sekitar hutan, hanya mempunyai satu agenda yaitu membuat
propinsi Dayak atas perjuangan mereka sendiri yang dilakukan oleh Dayak
terpelajar. Van Klinken menduga bahwa orang-orang Dayak perkotaan bekerja sama
dengan orang Soeharto dan disertai dengan perkumpulan etnis Dayak, yang menjadi
“partai politik secara de facto” setelah kejatuhannya kekuasaan orde baru. Van
Klinken mencurigai, orang-orang Dayak perkotaan ini sebagai tokoh penggerak
atas terjadinya krisis anti Madura sebagai reaksi pelaksanaan otonomi daerah
pada tahun Januari 2001.
Analisis satu pihak yang dilakukan Van
Klinken tentang situasi antara Dayak Dan Madura di Kalimantan dimuat dalam
Majalah The Economist (2 Maret 1999) yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang
bertikai meyakini bahwa orang Madura secara alamiah adalah orang yang
menjengkelkan dan kehadiran mereka di Kalimantan
telah merugikan masyarakat adat. Orang Madura dituduh melanggar batas tanah
tradisional suku Dayak dan melakukan aktivitas penebangan hutan dan
pertambangan bekerja sama dengan perusahaan yang dimiliki pejabat Militer. Komunalisme dan
Kekerasan Komunal, Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume V No. 1 Tahun 2008, Hal. 13
- 15
[7] Kriteria
dominan didasarkan jumlahnya yang proporsional, punya tradisi pemerintahan
Kerajaan yang mapan pada periode lampau, menyumbangkan banyak tokoh nasional
dalam setiap kehidupan, terutama kebudayaan, intelektual dan elite negeri.
[8] Zulyani
Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[9]Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan
suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah
klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini
menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit,
sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih
mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi
yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK
ATAS TANAH, Prisma, 9 September
1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacarn ini diperoleh
dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan
tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh
Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam,
dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika
Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A.
Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut
diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
[10] Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, diterjemahkan oleh B.Arif
Sidharta,”Apakah Teori Hukum itu?”, Penerbitan Tidak Berkala No.3, Laboratorium
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, Tahun 2000,
hal.57