BISMAR SIREGAR - SANG “PENGADIL”
YANG PROGRESIF
Terus terang, berita yang saya terima,
disaat saya dalam perjalanan ke Jambi setelah menempuh perjalanan panjang dari
Balikpapan tentang meninggalnya Bismar Siregar membuat saya harus sejenak mengheningkan
cipta. Sungguh. Indonesia kehilangan tokoh yang membuat kita
mulai mempertanyakan arah dan hendak kemana hukum di Indonesia.
Tanpa
menyebutkan betapa besar peran dan kiprah Bismar Siregar, Mantan Ketua
Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa menilai Bismar Siregar sebagai sosok hakim
agung yang progresif. Adnan Buyung Nasution menyebutkan “Bismar Siregar dikenal sebagai
hakim yang jenius, mempunyai ide yang melewati jamannya”. Buyung
mengingatnya sebagai hakim sadar gender karena pernah memutuskan kasus pemerkosaan
sebagai kasus pencurian. Perkara ini disaat Bismar memutus sebuah kasus petinju
yang ingkar janji setelah menghamili kekasihnya.
Sedangkan
mantan wakil Ketua KPK M Jasin juga menilai Bismar sebagai hakim yang inovatif.
"Beliau ini sebagai hakim agung yang
berintegritas di bidang hukum, ada temuan beliau di ilmu hukum positif buat
bangsa dan negara ini,"
Selama menjadi hakim ada beberapa
keputusan Bismar yang menggemparkan. Misalnya pada 1976 saat dia menjatuhkan
hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas. Albert Togas merupakan karyawan PT
Bogasari yang di-PHK. Alber lantas membunuh Nurdin Kotto yang merupakan staf
ahli perusahaan itu dengan keji. Mayat Nurdin dipotong-potong padahal Nurdin
banyak memberi pertolongan saat Albert masih pengangguran.
Ketika menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Bismar melipatgandakan hukuman pengedar ganja. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, oleh Bismar dilipatgandakan menjadi 10 tahun. Sedangkan yang 15 bulan dihukum 15 tahun.
Beberapa
puluh tahun yang lalu, tepatnya diakhir tahun 80-an para hakim dikejutkan oleh
rekan seprofesinya sendiri, Bismar Siregar. Kala itu Bismar menganalogikan
pemerkosaan dengan pencurian, banyak hakim tak sependapat dengan langkah yang
dibuatnya tersebut.
Harus
diakui, Perkara disaat Bismar memutus sebuah kasus petinju yang ingkar janji
setelah menghamili kekasihnya, si pria bisa "dikenakan" pasal
pencurian (Pasal 362 KUHP), dengan asumsi bahwa keperawanan si wanita telah
"dicuri" oleh si pria menimbulkan persoalan dalam tataran hukum
positif. Unsur “mengambil (wegnemen)”, yang kemudian dihubungkan dengna unsur “barang (roerend
goed)” dengan analog “keperawanan si perawan” sebagai unsur “barang”
mengakibatkan perdebatan dalam tataran
asas kepastian hukum. Unsur “barang” dengan analog keperawanan gadis memang
menabrak rambu-rambu asas kepastian hukum. Dalam Memorie van Toelichting
(MvT), dalil yang disampaikan Bismar Siregar dengan menganalogikan
“keperawanan” dengan barang didalam
unsur pasal 362 KUHP tidak tepat. Sehingga dalil ini tidak dapat atau tidak
sesuai dengan unsur barang (roerend goed).
Kendati
demikian Bismar tetap pada pendiriannya, ia menilai kepastian hukum hanya
sebagai sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Bahkan ia berpendapat
bahwa, ia akan mengorbankan kepastian hukum demi terwujudnya keadilan, artinya
ia akan mengorbankan sarana untuk sebuah tujuan.
Bismar
adalah sebagian hakim-hakim yang rela melepaskan asas kepastian hukum (Kepastian Hukum/Rechtssicherheit atau Keadilan
prosedural/procedural justice) untuk mencapai keadilan hukum (keadilan hukum /Gerechtigkeit atau keadilan
substansi).
Padahal
menurut Bagir Manan “Hakim adalah mulut
atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi) .
Pernyataan ini didukung oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen,
doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara
sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan
maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat
MA
juga pernah mencatat mengenyampingkan asas “ultra petita”, sebuah asas ketat
dalam sebuah perkara. Secara sederhana dalam lapangan hukum perdata, asas
“ultra petita” diterjemahkan “hakim tidak
boleh mengabulkan putusan melebihi yang diminta oleh pemohon. Namun,
Majelis Hakim MA yang dipimpin Prof Asikin Kusumahatmadja memutuskan memberi
ganti rugi yang lebih dari apa yang diminta. Prof Asikin Kusumahatmadja kemudian didalam keputusan mengenai perkara
Kedungombo yang dibela LBH/YLBHI bersama LSM lain, mengabulkan nilai ganti rugi
yang layak berupa sejumlah uang melebihi yang disebutkan dalam tuntutan.
Bismar
Siregar dan Prof Asikin Kusumahatmadja adalah sang “pengadil” yang progresif dari Mahkamah Agung. Sang Progresif yang
selalu meneriakkan “keadilan hukum (keadilan
hukum /Gerechtigkeit atau keadilan substansi) bersamaan dengan Prof.
Satjipto Rahardjo yang kemudian meletakkan hukum harus mengabdi kepada manusia.
Bukan Manusia mengabdi kepada hukum.
Yang
terus menyuarakan “keadilan hukum (keadilan
hukum /Gerechtigkeit atau keadilan substansi) dengan meletakkan manusia
sebagai subyek hukum. Bukan dari obyek hukum yang sering terpinggirkan.
Meninggalnya
Bismar Siregar harus menjadi renungan bagi kita untuk meletakkan hukum sebagai
bagian untuk menghormati manusia. Meletakkan hukum yang mampu menjawab berbagai
tantangan ke depan. Mengisi demokrasi yang terus bergulir.
Bagaimanapun,
meninggalnya Bismar Siregar harus menjadi cambuk, agar lahir Bismar-bismar yang
lain yang terus mewarnai hukum dan mempengaruhi hukum sebagai tujuan mencapai
keadilan substansif. Sebagai keadilan yang hakiki.
Selamat
Jalan, Sang Progresif. Kami menghormatimu.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 April 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 April 2012