PENDAMPINGAN
RAKYAT DALAM KACAMATA POLITIK[1]
Musri Nauli[2]
PROLOG
Orde baru meninggalkan warisan yang buruk
di tengah rakyat[3]. Dalam bidang politik, hampir seluruh pranata
politik hancur lebur. Militer begitu berkuasa[4]. Setiap Partai Politik
ditentukan berdasarkan mekanisme diatur didalam UU Politik[5], setiap organisasi
dikelompokkan menjadi organisasi yang monoloyalitas seperti organisasi
keagamaan, organisasi Kepemudaan, organisasi Pekerja, organisasi
Perempuan. Setiap organisasi harus
mencantumkan asas ”Pancasila”. Pemilihan
anggota DPR praktis menjauh dari aspirasi rakyat. Pers yang ”dikendalikan”[6] oleh rezim orde baru. Suara
kaum kritis dipinggirkan bahkan dicap ”berbau” komunis atau organisasi tanpa
bentuk (OTB), kampus dalam sistem NKK/BKK, bahkan berbagai kelompok-kelompok yang
memperjuangkan kepentingan rakyat tidak mendapatkan tempat dalam pemberitaan
dan selalu dimusuhi. Dalam masa itu, dengan alasan pembangunan[7], rezim orde baru ”berwenang” untuk menggusur dan
meminggirkan kehidupan rakyat banyak. Sehingga tidak salah pada masa itu,
kekuatan orde baru dikenal dengan cara ”kooptasi”
dan ”represif”.
Di bidang ekonomi, sektor-sektor yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai kroni dan lingkaran inti dalam
Pemerintahan Soeharto. Pemberian proteksi dan lisensi sektor-sektor yang
menguasai hajat hidup orang banyak membuat selain pengusaha pribumi tidak mampu
bersaing dalam bisnis internasional juga cenderung tergantung dekat dengan
kekuasaan. Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan angka-angka seperti angka
pertumbuhan ekonomi, sektor pajak, angka pertumbuhan ataupun angka-angka yang
secara substansi tidak menyentuh sektor riil, kebutuhan rakyat bahkan sama
sekali tidak menyentuh problema masyarakat. Dari ranah ini kemudian, walaupun
sektor ekonomi pertumbuhan yang disusun dengan angka-angka yang jauh daripada
substansi persoalan riil, maka ternyata meninggalkan angka pengangguran hingga
60 juta orang[8],
meninggalkan orang miskin sebesar hampir 70 juta[9], tidak ada layanan
kesehatan dan pendidikan. Bahkan praktis persoalan ekonomi rakyat Indonesia
”terjebak[10]”
dalam pelunasan hutang terhadap kreditur kepada lembaga-lembaga internasional.
Kemampuan Indonesia untuk melunasi
hutang-hutangnya, membuat berbagai sektor-sektor sumber daya alam kemudian ”dikuasai” dan dikendalikan
lembaga-lembaga kreditur. Masih ingat, betapa angkuhnya Michael Camdessus ”melihat”
Soeharto menanda tangani untuk menerima paket ekonomi dalam rangka pemulihan
ekonomi krisis 1997.
Dengan dikuasainya dan dikendalikan
sektor-sektor sumber daya alam, membuat disatu sisi Indonesia tidak berdaulat. Kawasan sumber daya alam Indonesia dikuasai Freeport, Chevron, Shell, Newmont. Belum lagi
“penggusuran” tanah masyarakat yang
kemudian dibangun berbagai industri, pembangunan perkebunan besar Kelapa sawit,
Kopi, Cengkeh, Jeruk ataupun industri yang merusak.
Menurut
logika, semakin banyak sumber daya alam maka masyarakat seharusnya makmur dan
terjamin akan hak-hak dasarnya. Dalam catatan penulis, Indonesia mempunyai sumber daya
alam yang melimpah.
Hampir setiap sumber daya alam didunia, ada di Indonesia. Minyak yang mempunyai cadangan 87 M Barrel baru diproduksi 0,387 M barrel. Gas 384,7 TSCF, diproduksi 2,95 TSFC. Batubara 58 M Ton, diproduksi 0,132 M Ton. Belum lagi emas, nikel, tembaga, biji besi, hutan 190 Jt Ha yang bisa dikonversi 22 juta hektar, Laut 500 Jt Ha yang menyediakan Ikan laut 6,4 Jt Ton/th. Belum lagi ambisi Indonesia yang mencadangkan 9 juta hektar sawit yang bisa mengungguli Malaysia. (MEWUJUDKAN NEGARA KEPULAUAN YANG MAJU, KUAT DAN MANDIRI, Dr. Ir. Son Diamar, MSc). Belum lagi potensi sumber pariwisata yang paling lengkap. Mulai dari gunung, danau, sungai, laut dan berbagai eksotik keindahan alam yang menarik perhatian dunia.
Sekedar perumpamaan, Malaysia yang mempunyai
areal sekitar 6 juta hektar sawit namun mampu memakmurkan rakyatnya. Begitu
juga Australia, Jepang yang bersandarkan kepada ikan laut, Brunei Darussalam
yang semata-mata dari minyak bumi, atau Thailand, Kroasia, yang sebagian besar
justru dari pariwisata. Yang paling ironi apabila dihitung dari keuntungan
hasil Freeport maka dapat menyekolahkan anak-anak Indonesia dari Sekolah dasar
hingga Perguruan Tinggi.
Namun hasil riset Walhi 2006 justru memberikan jawaban yang berbanding terbalik dengan angka-angka yang berasal dari sumber daya alam.
Walaupun Indonesia mempunyai berbagai sumber daya alam yang melimpah ruah, namun tingkat kemiskinan justru terjadi di daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Di Propinsi Kalimantan Timur, sebagai daerah kaya di Asia Tenggara dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita 3.319 US$ pada tahun 1985, akan tetapi dilihat dan tingkat kesejahteraan yang benar-benar dinikmati oleh penduduk, yakni dan pengeluaran konsumsinya, hanya mencapai 293 US$. Dengan demikian besarnya konsumsi per kapita hanya 8,82% dan jumlah PDRB per kapita selebihya, kemakmuran tersebut tidak dinikmati sebagai bagian dan tingkat kesejahteraan.
Propinsi Riau yang berpenduduk 4,3 juta jiwa pada tahun 1997/1998 menyumbangkan pendapatan ke kas negara sebesar 59,2 trilyun. Uang sebesar ini berasal dan pertambangan, kehutanan, perindustrian dan pendapatan lainya. Namun uang yang kembali ke Riau dalam bentuk anggaran untuk Daerah Propinsi sebesar Rp 163,87 milyar dan daerah Rp 485,58 milyar . Sehingga jumlah dari jakarta untuk Riau mencapai 1.013 inilyar. Dibandingkan dengan dana yang disedot ke Jakarta sebesar Rp 59,2 trilyun maka dana yang diterima Riau hanya 1,17 % dan dana yang disumbangkan.
Bahkan secara ironi, apabila keuntungan 50 % saja diberikan ke masyarakat Riau, maka cukup menghidupi rakyat Riau sejajar dengan Malaysia. Dengan demikian, Artinya tidak ada korelasi positif antara tingginya PDRB per kapita dengan kemakmuran rakyat
Dalam hasil riset yang melihat potret daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah, daerah-daerah itu seperti Kalimantan Timur, Riau, Aceh dan Papua, justru tingkat kemiskinan termasuk besar di Indonesia. Bandingkan dengan daerah seperti Sumatera Barat, Jimbaran, Kebumen yang justru tingkat kesejahteraan lebih baik daripada daeah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.
Walaupun kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun penduduk miskin tidak berkurang. Th. 1987 30 juta jiwa (17.4%). Th. 2008 33 juta jiwa (16.6%). Angka-angka ini sekedar perumpamaan bagaimana tidak ada korelasi antara kekayaan sumber daya alam dengan kemiskinan
PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM
Sementara di Jambi sendiri, Kawasan yang
diperuntukkan bagi hutan produksi terbatas dimana eksploitasinya dilakukan
dengan system tebang pilih dan tanam. Kawasan ini mencapai 252.775 Ha, atau
4,73 % dari luas Provinsi Jambi, yang menyebar di beberapa wilayah kabupaten.
Kawasan yang diperuntukkan bagi hutan protan produksi tetap dimana
eksploitasinya dilakukan dengan system tebang pilih atau tebang habis dan
tanam. Kawasan ini mencapai 702.662 Ha, atau 13,15 % dari luas Provinsi Jambi
yang menyebar di dibeberapa wilayah kabupaten. (RTRW 2010)
Belum lagi Kawasan minyak dan gas bumi terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Batanghari,Kabupaten Sarolangun, Kota Jambi, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo. Batubara terletak di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat. Kawasan pertambangan mineral terletak di Kabupaten Kerinci, Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur. Kehutanan, perkebunan Muara Bulian, Tanjabbar, Tebo, Sarolangun, Bangko, Tanjabtim, Kerinci, Bungo, Muara Jambi dan Bungo.
Sumber daya alam yang kaya ini memperkaya potensi hasil karet yang menjadi primadona rakyat Jambi. Potensi Karet di Jambi telah dirasakan oleh masyarakat Jambi.
Tahun 2006 luas kebun karet mencapai 623.825 ha dengan produksi 225.702 ton per tahun. Sehingga tepatlah perumpamaan negeri Jambi “Airnya bening, ikannya jinak, rumput mudo, kerbaunya gepok, bumi senang, padi menjadi, gemah ripah loh jinawi tata tentaram kertarahardjo”
PROBLEMA
KONFLIK
Pembangunan kelapa sawit telah menimbulkan
berbagai konflik. Baik konflik yang mengakibatkan vertikal seperti konflik
antara pemilik tanah dengan perusahaan dan pemerintah daerah, juga menimbulkan
konflik horizontal. Pemilik tanah satu dengan dengan pemilik tanah yang lain.
Baik penduduk asli dengna penduduk pendatang. Ataupun sesama penduduk asli dan
sesami penduduk pendatang. Bahkan menurut penulis, hampir praktis tidak ada
daerah di jambi yang tidak lepas dari konflik. Dalam berbagai kesempatan,
penulis selalu mengingatkan akan bahaya potensi yang akan meledak apabila
konflik ini tidak dikelola dan diselesaikan.
Dari data-data yang berhasil penulis
kumpulkan, issu sejuta hektar pembangunan kelapa sawit yang merupakan program
ambisius dari Gubernur Jambi awal tahun 2000 telah memantik protes berbagai
kalangan. Walhi Jambi yang paling keras menentang program ini kemudian diprotes
dan dianggap menghambat pembangunan dan pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru
terpilih. Issu ini kemudian ditentang dan mendapat dukungan internasional.
Internasional kemudian menentang dan kemudian menjadi agenda internasional.
Program ini kemudian berhasil digagalkan dan merupakan prestasi tersendiri bagi
Walhi Jambi.
Namun, penghentian issu program sejuta
hektar pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan
perkebunan kelapa sawit menjadi terhenti. Pemberian izin terhadap pembangunan
kelapa sawit masih terus berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang
terus terjadi. Bahkan pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan
berbagai sengketa yang belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru.
Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba
menguraikan arsitektur konflik pembangunan kelapa sawit. Penulis menggunakan
istilah arsitektur sebagai ilusi atraktif untuk menggambarkan bangunan konflik
pembangunan kelapa sawit. Ilusi atraktif itu juga digunakan untuk memudahkan
kita melihat persoalan itu secara lebih luas walaupun dari sudut pandang
sederhana.
Dalam deskriptif yang juga hendak
dipaparkan, arsitektur yang dimaksudkan juga dilihat dari aktor yang berperan.
Aktor yang terlibat konflik pembangunan kelapa sawit yaitu masyarakat pemilik
tanah, perusahaan dan Pemerintah.
Penulis hanya memberikan data-data sejak
tahun 1998. Uraikan yang disampaikan tentu saja masih jauh dari pertanggungjawaban
ilmiah untuk menggugat kebenarannya. Dan data-data yang penulis himpun
merupakan data-data yang terserak di berbagai kliping dan terbitan internal
yang memberikan konsentrasi terhadap konflik pembangunan kelapa sawit.
Alasan penulisan data-data ini didasarkan
kepada asumsi-asumsi. Asumsi pertama adalah masa reformasi. Masa reformasi
dilihat komitmen pemerintah hasil reformasi untuk menyelesaikan persoalan
masyarakat didalam menyelesaikan konflik terhadap pembangunan kelapa sawit.
Asumsi kedua adalah media yang mulai tumbuh di Jambi. Setelah kelahiran pers
jambi Independent, maka disusul penerbitan Jambi Ekspres, Posmetro dan Jambi
Star. Dan tentu saja berbagai terbitan media mingguan seperti media jambi dan
sebagainya. Asumsi ketiga, mulai maraknya konflik pembangunan kelapa sawit dan
dan seringnya diberitakan aksi-aksi ataupun berita yang berkaitan dengna
pembangunan kelapa sawit. Dari asumsi-asumsi itu, maka didapatkan data-data
sebagai berikut.
Arsitektur pertama adalah pembakaran
perusahaan oleh masyarakat. Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal
Ulu, Kabupaten Tanjung jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama
Tanjung jabung barat). Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora januari 1999 di
Muara Bungo. September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000
pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. Bahkan pada April 2002 juga terjadi
pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP Desember 2006 di
Sarolangun.
Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama, bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut.
Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula. Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian effektif dan berhasil untuk menggeser itu.
Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama, bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut.
Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula. Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian effektif dan berhasil untuk menggeser itu.
Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi
terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara menggunakan hukum
kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi
masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada
persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Dalam
putusan terhadap terdakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP,
semua pelaku diterapkan pasal 170 KUHP. Namun dalam menjatuhkan putusannya,
sudut pandang hakim berbeda. Apabila dalam didalam pembakaran PT. Jamika dan
PT. KDA, pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. Apabila pelaku tidak
melakukan perbuatan, maka pelaku haruslah dibebaskan. Sedangkan apabila pelaku
melakukan perbuatan maka pelaku haruslah dijatuhi hukuman. Namun berbeda dengan
terdakwa dalam pembakaran PT. DIPP. Pengadilan Negeri Bangko ternyata melihat
dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan
sebagaimana diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk
melakukan dan tidak selesai karena bukan kehendak pelaku. Dengan demikian maka
pelaku dapat dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53
KUHP.
Selain itu juga, terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti tuduhan membawa senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat masyarakat dan mengkriminalisasi pelaku.
Selain itu juga, terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti tuduhan membawa senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat masyarakat dan mengkriminalisasi pelaku.
Arsitektur selanjutnya menggunakan
cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Cara-cara
kekerasan cenderung digunakan sebagai langkah pragmatis terhadap pergumulan
persoalan yang begitu akut. Penembakan, pemukulan, penangkapan, pembakaran
merupakan cara yang digunakan selain untuk mempercepat penguasaan areal perkebunan
milik perusahaan, cara ini juga digunkan bertujuan untuk menakut-nakuti
penduduk. Cara ini cenderung effektif dalam jangka pendek namun menimbulkan
problematika dan bom waktu dalam jangka panjang.
Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi digunakan cara ini antara lain. Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan. Masyarakatpun jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan menelantarkan perkebunan sawit. Baik karena memang ditelantarkan (pergantian manajement atau pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi dalam pembangunan kelapa sawit. Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan ataupaun hanya mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing. Cara-cara ini yang masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Dari deskripsi sederhana yang telah penulis paparkan, penulis berkeyakinan, bahwa sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih terus terjadi dan terus berulang. Siapapun yang diberi amanat untuk menjalankan negara ini, baik sebagai kandidate anggota parlemen maupun sebagai kepala daerah sudah harus memprioritaskan untuk menyelesaikan sengketa ini. Maka menurut penulis, sudah saatnya agenda penyelesaikan sengketa pembangunan perkebunan kelapas sawit merupakan agenda yang diprioritaskan dalam Pilkada-pilkada lainnya.
Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi digunakan cara ini antara lain. Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan. Masyarakatpun jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan menelantarkan perkebunan sawit. Baik karena memang ditelantarkan (pergantian manajement atau pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi dalam pembangunan kelapa sawit. Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan ataupaun hanya mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing. Cara-cara ini yang masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Dari deskripsi sederhana yang telah penulis paparkan, penulis berkeyakinan, bahwa sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih terus terjadi dan terus berulang. Siapapun yang diberi amanat untuk menjalankan negara ini, baik sebagai kandidate anggota parlemen maupun sebagai kepala daerah sudah harus memprioritaskan untuk menyelesaikan sengketa ini. Maka menurut penulis, sudah saatnya agenda penyelesaikan sengketa pembangunan perkebunan kelapas sawit merupakan agenda yang diprioritaskan dalam Pilkada-pilkada lainnya.
REKOMENDASI
Dengan memperhatikan potensi sumber daya
alam yang ada di Provinsi Jambi, konflik yang telah dan akan terjadi, merupakan
perjalanan panjang untuk menyelesaikan problema konflik yang ada di Jambi.
Terlepas dari berbagai upaya advokasi yang telah dilakukan berbagai kelompok
yang peduli dan mendampingi kasus-kasus yang selama ini terjadi, peran partai
sebagai penyambung suara rakyat harus menemukan momentum untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat. Di saat momentum yang diharapkan rakyat kepada partai yang
ingin bekerja dan berbuat untuk rakyat telah dipercayakan kepada rakyat, amanah
itu harus diutamakan diatas kepentingan kelompok, golongan ataupun kepentingan
politik jangka pendek.
Sudah seharusnya, kepentingan utama
didalam membantu dan memperjuangkan rakyat harus diutamakan. Dan peran kader
dan partai politik tidak terjebak dengan slogan tanpa makna. Momentum itu harus
diambil dan tidak menunggu korban semakin bertambah dan semakin kronis.
[1] Disampaikan pada acara Kursus Kader Pratama
(KKP) PDI-P Provinsi Jambi, 11 April 2012
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Penulis sengaja menggunakan kata
“rakyat” pengganti padanan kata ”masyarakat” sebagai simbol sebagai pemilik kedaulatan dan
pemegang suara sah dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu juga sebagai simbol
kaum marginal yang tersisihkan dari proses pembangunan.
[4] Dengan dogma
“Dwi Fungsi ABRI”.
[5] Dengan alasan pengalaman traumatik sejarah
sistem parlementer, Partai Hanya dibenarkan berdirinya dengan alasan Fusi
Keagamaan, Kekaryaan dan nasionalisme yang dilebur menjadi tiga partai yaitu
PPP, Golkar dan PDI.
[6] Dengan alasan
penerbitan Pers dengan izin Menteri Penerangan
[7] Dogma yang paling kental dislogankan “Developmentalisme”.
[8] Pendefinisian
pengangguran memang menimbulkan persoalan. ILO mendefinisikan orang yang
menganggur termasuk juga orang yang bekerja kurang 7 jam seminggu, BPS
mendefinsikan, ”orang yang tidak bekerja”. Dengan menggunakan pendekatan
definisi yang berbeda, ILO mencatat pengangguran di Indonesia sebesar 60 juta,
orang berbanding dengna angka resmi yang dikeluarkan dari BPS sebesar 12,5 %
dari jumlah penduduk Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan definisi yang
diberikan ILO.
[9] WHO
mendefinisikan “orang miskin” dimana pendapatan kurang dari US$ 2/hari.
Sementara BPS mendefinsikan tidak mempunyai sandang, pangan dan papan. Dengan
menggunakan pendekatan yang digunakan WHO, maka angka 70 juta orang miskin
menggambarkan realitas.
[10] Biasa dikenal
dengan istilah “Odios Dept”, dimana rezim yang berkuasa menggunakan
hutang-hutangnya untuk membiaya pembangunan, namun pembangunan yang dilakukan
sama sekali tidak berkaitan dengan sektor-sektor publik. Dalam catatan berbagai
organsisasi lembata pemantau hutang Indonesia, lebih 40 % APBN digunakan untuk
membayar hutang kepada kreditur. Dalam catatannya, setiap penduduk Indonesia
mempunyai hutang sebesar Rp 7,2 juta/orang. Hutang mana tidak dapat dinikmati
pembangunan oleh rakyat Indonesia