13 Juni 2012

opini musri nauli : Pertentangan norma dalam Penegakkan UU Korupsi



Beberapa waktu yang lalu, sembari menunggu persidangan, penulis bertemu dengan Prof. Dr. Soekanto Satoto, SH, MH, guru besar hukum administrasi Fakultas Hukum Universitas Jambi. Beliau diminta sebagai saksi ahli dalam sebuah perkara. Sebagai guru besar, waktu menunggu persidangan tentu saja digunakan untuk berdiskusi berbagai hal ikhwal perkembangan ilmu hukum. Tentu saja terlalu sayang diskusi yang berbobot ini tidak digunakan untuk menambah pemahaman dan pengayaan tentang hukum di Indonesia.

Persoalan yang penting didiskusikan adalah siapa yang berwenang untuk menentukan kerugian negara ? Bagaimana mekanisme penegakkan UU Korupsi ? Bagaimana jalan keluar terhadap kasus korupsi.

Sebagai bahan kajian normatif, tentu saja merupakan kesempatan penulis menawarkan berbagai gagasan perkembangan UU Korupsi dan penegakkan UU Korupsi. Sebagai diskusi hukum, tentu saja sandaran normatif baik UU, putusan MK, pandangan MA dalam kasus korupsi dan praktek peradilan.

Kewenangan Menentukan kerugian Negara

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan ilmu hukum, Hukum Pidana bertujuan untuk mencari keadilan yang materiil yaitu keadilan yang sebenar-benarnya. Dengan argumentasi tersebut, maka terhadap alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP, haruslah mempunyai kekuatan dasar yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam ilmu hukum, maka “NO VICTIM, NO CRIME (TIADA KORBAN, TIADA KEJAHATAN).

Tindak pidana korupsi tidak adanya korban kejahatan secara langsung, sebagaimana doktrin dalam hukum pidana. Sehingga unsur “kerugian negara” merupakan unsur yang essensial dari terbuktinya tindak pidana korupsi.

Dalam tindak pidana korupsi adalah kerugian negara, maka penghitungan “kerugian negara” mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan penghitungan “kerugian negara”.

Dengan demikian, unsur “kerugian negara” merupakan unsur utama dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

Sedangkan definisi Kerugian negara   dapat dilihat UU NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA  Pasal 1 ayat (22) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu selain bahwa kerugian negara itu harus pasti, tidak menerka-nerka, maka haruslah dilakukan penghitungan kerugian negara.

Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 halaman 66-67, bahwa penghitungan oleh BPKP yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid). Karena itu timbul pertanyaan “siapa yang boleh menghitung “kerugian negara ?” Apakah semua orang, penyidik, atau kah Ahli yang terkait ?. Bahkan apabila kita lebih jauh menguraikan, siapakah ahli yang terkait yang dimaksudkan ?

Namun dalam praktek, sudah jamak, ahli yang dihadirkan berasal dari BPKP. Keberadaan ahli dari BPKP menimbulkan persoalan dalam tataran ilmu hukum.

Keberadaan BPKP diatur didalam Keppres No. 103 Tahun 2001 pasal 52 – pasal 54. Sedangkan keberadaan BPKP tersebut sebagaimana diatur didalam pasal 52 – 54, BPKP tidak berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara.

Bandingkan didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK dinyatakan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Sedangkan dipasal 11 huruf c “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara.

Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka BPKP berdasarkan ayat 52 sampai dengan ayat 54 Keppres No. 103 Tahun 2001 tidak mempunyai kewenangan “untuk melakukan penilaian dan atau menetapkan jumlah kerugian negara”. Yang berwenang untuk melakukan penghitungan ini hanyalah BPK sebagaimana diatur didalam pasal 10 ayat (1) dan pasal 11 UU No. 15 Tahun 2006.

Dengan demikian, saksi ahli BPKP yang dihadirkan oleh jaksa Penuntut Umum tidak berwenang untuk melakukan penghitungan “kerugian negara”. Dengan demikian, maka saksi berasal dari BPKP menimbulkan persoalan dalam ilmu hukum.

Mekanisme penegakkan UU Korupsi

Semangat memberantas korupsi haruslah diberi ruang dalam tataran ilmu hukum. Pemberantasan korupsi tidak boleh bertentangan dengan prinsip, teori hukum, asas dan dogma ilmu hukum.

Semangat memberantas korupsi haruslah dilihat dari rumusan norma UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 tahun 2001. Keppres No. 80 tahun  2003 yang kemudian terakhir diperbaiki berdasarkan Perpres No. 54 tahun 2010 telah memberikan arah dan rambu-rambu dalam tender proyek pemerintah.

Berangkat dari pemahamana diatas, maka selain daripada unsur  essensial dari tindak pidana korupsi yaitu unsur ”Kerugian negara”, yang lebih diutamakan adalah pengembalian ”kerugian negara”. Dari ranah ini, UU No. 31 tahun 1999 memberikan pedoman dan arah yang menjadi optik untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Pasal 49 ayat (1) Keppres No. 83 Tahun 2003 menegaskan ”Kepada para pihak yang ternyata terbukti melanggar ketentuan dan prosedur pengadaan barang/jasa, maka :(a). dikenakan sanksi administrasi,  (b). dituntut ganti rugi/digugat secara perdata, (c). dilaporkan untuk diproses secara pidana.

Sedangkan didalam pasal Pasal 118 ayat (1) huruf e junto pasal 118 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 “tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab dikenakan sanksi berupa: (a). sanksi administratif, (b) sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam, (c) gugatan secara perdata; dan/atau (d) pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.

Dengan melihat rumusan pasal 49 ayat (1) Keppres No. 83 Tahun 2003 dan pasal Pasal 118 ayat (1) huruf e junto pasal 118 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010, maka terhadap pelanggaran ketentuan dan prosedur pengadaan barang/jasa haruslah dilakukan terlebih dahulu sanksi administrasi, kemudian dituntut ganti rugi/digugat secara perdata barulah dilaporkan untuk diproses secara pidana.

Mekanisme ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat (3) UU No. 15 tahun 2006 Tentang BPK. Dengan demikian, maka berdasarkan kewenangan BPK untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara (Pasal 10 UU BPK)

Setelah BPK menentukan jumlah “Kerugian negara”, siapa yang bertanggung jawab, maka berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU BPK, BPK memberikan kesempatan kepada penanggungjawab pengelolaan keuangna negara untuk mengembalikan jumlah kerugian negara. Dari ranah ini, Prof. Soekanto Satoto mendefisinikan “berperannya hukum administrasi negara”. Atau dengan kata lain, masih dimungkinkannya untuk mengganti jumlah “kerugian negara” yang termasuk kedalam ranah hukum administrasi negara.

Dalam tataran ilmu hukum pidana, belum dilaporkannya jumlah “kerugian negara” yang telah ditetapkan BPK untuk dilaporkan ke penegak hukum (berdasarkan pasal 8 ayat (3) UU BPK) membuktikan hukum pidana merupakan senjata pamungkas untuk “memberesin” penggunaan jumlah “kerugian negara”.  Atau biasa dikenal “ultimum remedium”.

Dalam praktek justru ini yang sering menjadi permasalahan dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Hukum pidana bukan digunakan sebagai ”ultimum remedium” tapi sering digunakan sebagai pelaksana utama (Premium remedium). Sehingga tidak sesuai dengan asas yang dianut dalam ilmu hukum pidana.

Dari pengalaman praktek peradilan pidana dan pengamatan yang telah disampaikan oleh penulis, sudah seharusnya kita menghentikan “cara-cara” mengadili kasus korupsi bertentangan dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Cara-cara ini selain akan menimbulkan “perdebatan” dalam ilmu hokum, juga akan menimbulkan “ketidakadilan (rechtsonzekerheid” yang sering diteriakkan terdakwa. Dari dimensi inilah, mengadili kasus korupsi juga tidak boleh bertentangan dengan HAM.

Dimuat di Harian jambi Ekspress, 16 Juni 2012