Beberapa waktu yang lalu, MK memutuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (baca UU
Minerba). Putusan MK diajukan
oleh WALHI dkk “mempersoalkan” Pasal
6 ayat (1) huruf e jo. Pasal 9 ayat (2), pasal 10 huruf (b) UUMinerba. MK juga
memutuskan Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba (dalam perkara 25/PUU-VIII/2010) dan
Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat
(1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, dan Pasal 173 ayat (2) (dalam perkara 30/PUU-VIII/2010).
Begitu pentingnya dikabulkan permohonan pihak berkaitan dengan UU Minerba,
tentu saja menarik untuk didiskusikan dalam melihat berbagai regulasi UU
Minerba dan pandangan MK dalam melihat regulasi UU Minerba.
Dengan memperhatikan Putusan MK, maka dapat diklasifikasikan pasal-pasal UU
Minerba yang menjadi perhatian. Yaitu Pasal 6 ayat (1) huruf e jo, Pasal 9 ayat (2), pasal 10 huruf b, Pasal 22 huruf f, Pasal 52 ayat (1), Pasal
55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal
172, Pasal 173 ayat (2) UU Minerba
Sebagaimana permohonan Walhi dkk merumuskan permohonannya Pasal 6 ayat (1)
huruf e juncto Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 huruf b, dan Pasal 162 juncto
Pasal 136 ayat (2) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dengan Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H
ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945
Didalam pertimbangannya, sebelum MK memutuskan permohonan Walhi dkk, MK
mendasarkan kepada prinsip dikuasai oleh negara. Didalam berbagai putusan MK, prinsip “dikuasai oleh negara dirumuskan, Kebijakan
(beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), pengawasan (toezichthoudensdaad). Selain itu rumusan
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga menentukan dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut
terdapat hak-hak ekonomi dan sosial warga negara sebagai kepentingan yang
dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan atau peran negara tersebut.
Dengan kata lain, Pasal 33 UUD 1945 adalah ketentuan mengatur tentang
keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan tindakan dalam rangka
penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment)
hak-hak ekonomi dan sosial warga negara ”.
KEMENANGAN KECIL
Sebelum memutuskan permohonan Walhi dkk, MK mendasarkan kepada Putusan MK
Nomor 21-22/PUU-V/2007 25 Maret 2008, Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010
bertanggal 4 Juni 2012 dan putusan MK nomor 30/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni
2012.
Dengan mendasarkan kepada prinsip dikuasai oleh negara dan
Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur tentang keterlibatan atau peran aktif negara
untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan
(protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga
negara ”, MK kemudian menyatakan pasal 10 huruf (b) UU Minerba berpotensi
melanggar hak-hak konstitusional. Ini didasarkan kepada ketentuan
formal-prosedural dalam pasal 10 huruf (b) UU Minerba mengaburkan tujuan utama
yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial
warga negara yang seharusnya, dalam konteks sumber daya alam, dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. MK kemudian menegaskan fungsi kontrol
yang dilakukan langsung oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang wilayah
maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam WP dan masyarakat yang akan
terkena dampak.
Dengan demikian, maka MK berpendapat bahwa permohonan para Pemohon
beralasan untuk sebagian yakni sepanjang mengenai frasa“…memperhatikan pendapat…masyarakat…” dalam Pasal 10 huruf b UU
4/2009. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengna istilah konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional)
Dikabulkannya permohonan Pasal 10 huruf b UU 4/2009 ditandai sebagai
konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) Permohonan dari Walhi dkk diterima, namun pasal Pasal 10
huruf b UU 4/2009 secara konstitusional bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai, “wajib melindungi,
menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah
miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan
terkena dampak”.
Menurut Hakim Konstitusi Anwar putusan MK lebih menekankan kepada
terlaksananya kewajiban menyertakan pendapat masyarakat, bukan persetujuan
tertulis dari setiap orang sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon. Hal ini
karena menurut Mahkamah, bentuk keikutsertaan secara aktif dari masyarakat
berupa keterlibatan langsung dalam pemberian pendapat dalam proses penetapan WP
yang difasilitasi oleh Pemerintah, merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan
Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Dengan melihat putusan yang disampaikan oleh MK, maka putusan MK haruslah
dimaknai sebagai kemenangan kecil.
Dimuat di Harian Timur Ekspress, 13 Juni 2012