Beberapa waktu yang lalu, sembari menunggu
persidangan, penulis bertemu dengan Prof. Dr. Soekanto Satoto, SH, MH, guru
besar hukum administrasi Fakultas Hukum Universitas Jambi. Beliau diminta sebagai
saksi ahli dalam sebuah perkara. Sebagai guru besar, waktu menunggu persidangan
tentu saja digunakan untuk berdiskusi berbagai hal ikhwal perkembangan ilmu
hukum. Tentu saja terlalu sayang diskusi yang berbobot ini tidak digunakan
untuk menambah pemahaman dan pengayaan tentang hukum di Indonesia.
Persoalan yang penting didiskusikan adalah siapa
yang berwenang untuk menentukan kerugian negara ? Bagaimana mekanisme
penegakkan UU Korupsi ? Bagaimana jalan keluar terhadap kasus korupsi.
Sebagai bahan kajian normatif, tentu saja
merupakan kesempatan penulis menawarkan berbagai gagasan perkembangan UU
Korupsi dan penegakkan UU Korupsi. Sebagai diskusi hukum, tentu saja sandaran
normatif baik UU, putusan MK, pandangan MA dalam kasus korupsi dan praktek peradilan.
Kewenangan
Menentukan kerugian Negara
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan ilmu hukum,
Hukum Pidana bertujuan untuk mencari keadilan yang materiil yaitu keadilan yang
sebenar-benarnya. Dengan argumentasi tersebut, maka terhadap alat bukti
sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP, haruslah mempunyai kekuatan dasar
yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam ilmu hukum, maka “NO VICTIM, NO CRIME (TIADA KORBAN, TIADA KEJAHATAN).
Tindak pidana korupsi tidak adanya korban kejahatan
secara langsung, sebagaimana doktrin dalam hukum pidana. Sehingga unsur “kerugian negara” merupakan unsur yang
essensial dari terbuktinya tindak pidana korupsi.
Dalam tindak pidana korupsi adalah kerugian
negara, maka penghitungan “kerugian negara”
mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan penghitungan “kerugian negara”.
Dengan demikian, unsur “kerugian negara”
merupakan unsur utama dalam pembuktian tindak pidana korupsi.
Sedangkan definisi Kerugian negara dapat dilihat UU NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG
PERBENDAHARAAN NEGARA Pasal 1 ayat (22)
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan
uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu selain
bahwa kerugian negara itu harus pasti, tidak menerka-nerka, maka haruslah
dilakukan penghitungan kerugian negara.
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 halaman 66-67, bahwa
penghitungan oleh BPKP yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum menimbulkan ketidakpastian
hukum (onrechtszekerheid). Karena itu timbul pertanyaan “siapa yang boleh menghitung “kerugian negara
?” Apakah semua orang, penyidik, atau kah Ahli yang terkait ?. Bahkan
apabila kita lebih jauh menguraikan, siapakah ahli yang terkait yang
dimaksudkan ?
Namun dalam praktek, sudah jamak, ahli yang
dihadirkan berasal dari BPKP. Keberadaan ahli dari BPKP menimbulkan persoalan
dalam tataran ilmu hukum.
Keberadaan BPKP diatur didalam Keppres No. 103
Tahun 2001 pasal 52 – pasal 54. Sedangkan keberadaan BPKP tersebut sebagaimana
diatur didalam pasal 52 – 54, BPKP tidak berwenang untuk melakukan penghitungan
kerugian negara.
Bandingkan didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 15
Tahun 2006 Tentang BPK dinyatakan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga
atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Sedangkan dipasal 11 huruf c “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam
proses peradilan mengenai kerugian negara.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka BPKP
berdasarkan ayat 52 sampai dengan ayat 54 Keppres No. 103 Tahun 2001 tidak
mempunyai kewenangan “untuk melakukan
penilaian dan atau menetapkan jumlah kerugian negara”. Yang berwenang untuk
melakukan penghitungan ini hanyalah BPK sebagaimana diatur didalam pasal 10 ayat
(1) dan pasal 11 UU No. 15 Tahun 2006.
Dengan demikian, saksi ahli BPKP yang dihadirkan
oleh jaksa Penuntut Umum tidak berwenang untuk melakukan penghitungan “kerugian negara”. Dengan demikian, maka saksi
berasal dari BPKP menimbulkan persoalan dalam ilmu hukum.
Mekanisme penegakkan UU Korupsi
Semangat memberantas korupsi haruslah diberi
ruang dalam tataran ilmu hukum. Pemberantasan korupsi tidak boleh bertentangan dengan
prinsip, teori hukum, asas dan dogma ilmu hukum.
Semangat memberantas korupsi haruslah dilihat
dari rumusan norma UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 tahun 2001. Keppres No.
80 tahun 2003 yang kemudian terakhir
diperbaiki berdasarkan Perpres No. 54 tahun 2010 telah memberikan arah dan rambu-rambu
dalam tender proyek pemerintah.
Berangkat dari pemahamana diatas, maka selain
daripada unsur essensial dari tindak
pidana korupsi yaitu unsur ”Kerugian
negara”, yang lebih diutamakan adalah pengembalian ”kerugian negara”. Dari ranah ini, UU No. 31 tahun 1999 memberikan
pedoman dan arah yang menjadi optik untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Pasal 49 ayat (1) Keppres No. 83 Tahun 2003
menegaskan ”Kepada para pihak yang
ternyata terbukti melanggar ketentuan dan prosedur pengadaan barang/jasa, maka
:(a).
dikenakan sanksi
administrasi, (b). dituntut ganti rugi/digugat secara perdata, (c). dilaporkan untuk diproses secara pidana.
Sedangkan didalam pasal Pasal 118 ayat (1)
huruf e junto pasal 118 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 “tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab
dikenakan sanksi berupa: (a). sanksi administratif, (b) sanksi pencantuman
dalam Daftar Hitam, (c) gugatan secara perdata; dan/atau (d) pelaporan secara
pidana kepada pihak berwenang.
Dengan melihat rumusan pasal 49 ayat (1) Keppres
No. 83 Tahun 2003 dan pasal Pasal 118 ayat (1)
huruf e junto pasal 118 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010, maka
terhadap pelanggaran ketentuan dan prosedur pengadaan barang/jasa haruslah
dilakukan terlebih dahulu sanksi administrasi, kemudian dituntut ganti
rugi/digugat secara perdata barulah dilaporkan untuk diproses secara pidana.
Mekanisme ini sesuai dengan ketentuan pasal 8
ayat (3) UU No. 15 tahun 2006 Tentang BPK. Dengan demikian, maka berdasarkan
kewenangan BPK untuk menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha
Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara (Pasal 10 UU BPK)
Setelah
BPK menentukan jumlah “Kerugian negara”,
siapa yang bertanggung jawab, maka berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU BPK, BPK
memberikan kesempatan kepada penanggungjawab pengelolaan keuangna negara untuk
mengembalikan jumlah kerugian negara. Dari ranah ini, Prof. Soekanto Satoto
mendefisinikan “berperannya hukum
administrasi negara”. Atau dengan kata lain, masih dimungkinkannya untuk
mengganti jumlah “kerugian negara”
yang termasuk kedalam ranah hukum administrasi negara.
Dalam
tataran ilmu hukum pidana, belum dilaporkannya jumlah “kerugian negara” yang telah ditetapkan BPK untuk dilaporkan ke
penegak hukum (berdasarkan pasal 8 ayat
(3) UU BPK) membuktikan hukum pidana merupakan senjata pamungkas untuk “memberesin” penggunaan jumlah “kerugian negara”. Atau biasa dikenal “ultimum remedium”.
Dalam
praktek justru ini yang sering menjadi permasalahan dan menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Hukum pidana bukan digunakan sebagai ”ultimum remedium”
tapi sering digunakan sebagai pelaksana utama (Premium remedium). Sehingga tidak sesuai dengan asas yang dianut
dalam ilmu hukum pidana.
Dari pengalaman praktek peradilan pidana dan
pengamatan yang telah disampaikan oleh penulis, sudah seharusnya kita
menghentikan “cara-cara” mengadili
kasus korupsi bertentangan dengan berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Cara-cara ini selain akan menimbulkan “perdebatan” dalam ilmu hokum, juga akan menimbulkan “ketidakadilan (rechtsonzekerheid” yang sering diteriakkan terdakwa. Dari dimensi inilah,
mengadili kasus korupsi juga tidak boleh bertentangan dengan HAM.
Dimuat di Harian jambi Ekspress, 16 Juni 2012
Dimuat di Harian jambi Ekspress, 16 Juni 2012