03 Desember 2012

opini musri nauli : BERAPA USIA PEREMPUAN UNTUK MENIKAH


Peristiwa Bupati Garut Aceng HM Fikri yang menikahi perempuan muda namun 4 hari kemudian “menceraikannya” menjadi pembahasan yang cukup serius di kalangan politik. Bahkan menjadi headline di berbagai media online.

Pembicaraan apakah menikahi perempuan muda namun kemudian “menceraikannya” 4 hari kemudian biarlah menjadi urusan privat dari Bupati. Walaupun secara politik dapat diperdebatkan.

Tidak ada hal yang baru dari pemberitaan itu. Seorang Pria dewasa menikah perempuan yang sudah berumur 18 tahun. Tentu saja setelah melewati proses hukum agama dan sah menurut agama Islam, semua wajar-wajar saja. Namun judul “provokatif”, ada kata-kata “perempuan muda” membuat penulis ingin rembug

Didalam pemberitaan diterangkan, seorang perempuan bernama Fani Oktora (18 tahun) “tidaklah” dapat dikatakan dibawah umur.

Membicarakan perkawinan setelah istri pertama yang biasa dikenal dengna istilah Poligami tentu saja tidak akan selesai. Dua kutub aliran yang mempersoalkan poligami baik yang setuju maupun yang tidak, telah mewarnai perdebatan di berbagai media massa. Kedua aliran menggunakan pendekatan yang sama yaitu Islam dan sejarah dengan tentu saja pendekatan tafsiran yang membuat issu ini menjadi salah topik yang paling hangat dibicarakan. Dari ranah, ini, penulis tidak mau terjebak dalam perdebatan semantik belaka. Namun penulis lebih menggunakan pendekatan, bahwa persoalan poligami merupakan persoalan pilihan, apakah setuju poligami atau tidak.

Namun yang menjadi “issu” hangat adalah relevan dengan posisi Bupati untuk berpoligami ? dan bagaimana hukum mendiskusikan usia perkawinan bagi seorang perempuan ?

Membicarakan posisi Bupati dalam persoalan poligami merupakan issu aktual dalam persoalan publik. Dalam ranah ini, sebenarnya persoalan poligami merupakan kemunduran dari cara berfikir masyarakat modern yang mengagungkan perkawinan monogami. UU Perkawinan secara tegas telah memberikan perlindungan yang tegas terhadap sistem perkawinan monogami. Pasal 4 ayat (2) hanya memberikan izin kepada suami untuk beristri 1 orang apabila (a). isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (b). isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; ©. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan demikian Prinsip yang dianut dari UU Perkawinan adalah monogami. Bahkan UU Perkawinan secara tegas limitatif memberikan kriteria yang cukup ketat untuk dilangsungkannya poligami. Kriteria ketat ini merupakan salah satu landasan penting memberikan perlindungna kepada perempuan.

Dari ranah ini, tidak elok rasanya, contoh yang diberikan kepada masyarakat (edukasi) yang nyata-nyata tidak sesuai dengan prinsip dalam UU Perkawinan. Sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan ketatanegaraan, contoh dari pejabat daerah merupakan cerminan nyata dari pandangan konstitusional dari pandangan pejabat daerah.

USIA DEWASA

Sementara itu, judul provokatif “perempuan muda” merupakan persoalan rumit dalam ranah hukum. Dalam praktek ilmu sosial, usia ini lebih tepat digunakan untuk anak pada masa sekolah dasar hingga selesai SMA. Menggunakan istilah ini pada umur istri “siri” tidak tepat. Usia 18 diperkirakan usia sudah menginjak perguruan tinggi dan menurut UU Perkawinan, tidak menjadi persoalan.

Menurut Islam, usia dewasa apabila seorang telah mengalami akil baliq (sudah mengalami menstruasi). Usia ini diperkirakan sejak anak kelas 6 SD hingga Kelas 3 SMP. Dengan menggunakan kriteria akil baliq, maka seorang yang telah akil baliq dianggap telah bertanggungjawab untuk melakukan perbuatan yang benar dan salah.

Dalam lapangan ilmu politik, usia 18 tahun merupakan usia yang dibenarkan untuk memilih (18 tahun). Usia 18 tahun dibenarkan untuk mengikuti Pemilihan Umum baik Pemilihan Presiden, DPR-DPRD, DPD, Kepala Daerah. Usia 18 tahun merupakan usia yang matang, sehingga ilmu politik memberikan haknya dan dianggap telah berfikir jernih untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Didalam ilmu hukum, UU Perkawinan mengamanatkan usia yang dibenarkan untuk perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Sehingga seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun dianggap telah dewasa dan cakap bertindak dimuka hukum (tidak dibawah pengampu/perwalian). Usia 18 tahun sudah bisa bertindak melakukan perbuatan hukum dan bisa bertindak atas nama pribadinya (lihat UU Perlindungan Anak dan UU Pengadilan Anak)

Begitu juga dengan pewarisan, usia 18 tahun sudah mendapatkan hak yang sama dengan saudara-saudara untuk membicarakan pewarisan.

Namun yang unik, didalam pasal 332 KUHP, justru perempuan dibawah 21 masih dianggap dalam perlindungan orang tuanya sehingga membawa perempuan dibawah umur 21 tahun masih dianggap sebagai perbuatan pidana. Dalam berbagai kasus-kasu di persidangan, pasal ini merupakan salah satu pasal yang menimbulkan kontroversial karena disatu sisi, sebagai praktek sosial, usia 18 tahun sudah dianggap dewasa namun pasal 322 KUHP justru pada usia 21 tahun.

Namun uraian diatas, apabila dilihat dari ranah sosiologi lebih tepat menggunakan ukuran fisik. Dalam ukuran menjadi seorang Presiden, justru menggunakan patokan umur 35 tahun. Bahkan menjadi seorang Pimpinan KPK justru berumur 40 tahun. Bahkan untuk menjadi Hakim Agung berumur 45 tahun. Sehingga ukuran yang digunakan (umur 35 tahun, umur 40 tahun dan umur 45 tahun) digunakan sebagai usia “kematangan” berfikir untuk menduduki jabatan publik yang berdampak dalam sistem ketatanegaraan.


Dimuat di Posmetro online, 3 Desember 2012

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12579-berapa-usia-pantas-seorang-perempuan-untuk-dinikahi.html