Peristiwa
Bupati Garut Aceng HM Fikri yang menikahi
perempuan muda namun 4 hari kemudian “menceraikannya” menjadi
pembahasan yang cukup serius di kalangan politik. Bahkan menjadi
headline di berbagai media online.
Pembicaraan
apakah menikahi perempuan muda namun kemudian “menceraikannya” 4
hari kemudian biarlah menjadi urusan privat dari Bupati. Walaupun
secara politik dapat diperdebatkan.
Tidak
ada hal yang baru dari pemberitaan itu. Seorang Pria dewasa menikah
perempuan yang sudah berumur 18 tahun. Tentu saja setelah melewati
proses hukum agama dan sah menurut agama Islam, semua wajar-wajar
saja. Namun judul “provokatif”, ada kata-kata “perempuan muda”
membuat penulis ingin rembug
Didalam
pemberitaan diterangkan, seorang perempuan
bernama
Fani Oktora (18 tahun) “tidaklah” dapat dikatakan dibawah umur.
Membicarakan
perkawinan setelah istri pertama yang biasa dikenal dengna istilah
Poligami tentu saja tidak akan selesai. Dua kutub aliran yang
mempersoalkan poligami baik yang setuju maupun yang tidak, telah
mewarnai perdebatan di berbagai media massa. Kedua aliran menggunakan
pendekatan yang sama yaitu Islam dan sejarah dengan tentu saja
pendekatan tafsiran yang membuat issu ini menjadi salah topik yang
paling hangat dibicarakan. Dari ranah, ini, penulis tidak mau
terjebak dalam perdebatan semantik belaka. Namun penulis lebih
menggunakan pendekatan, bahwa persoalan poligami merupakan persoalan
pilihan, apakah setuju poligami atau tidak.
Namun
yang menjadi “issu” hangat adalah relevan dengan posisi Bupati
untuk berpoligami ? dan bagaimana hukum mendiskusikan usia perkawinan
bagi seorang perempuan ?
Membicarakan
posisi Bupati dalam persoalan poligami merupakan issu aktual dalam
persoalan publik. Dalam ranah ini, sebenarnya persoalan poligami
merupakan kemunduran dari cara berfikir masyarakat modern yang
mengagungkan perkawinan monogami. UU Perkawinan secara tegas telah
memberikan perlindungan yang tegas terhadap sistem perkawinan
monogami. Pasal 4 ayat (2) hanya memberikan izin kepada suami untuk
beristri 1 orang apabila (a). isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri; (b). isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan; ©. isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Dengan
demikian Prinsip yang dianut dari UU Perkawinan adalah monogami.
Bahkan UU Perkawinan secara tegas limitatif memberikan kriteria yang
cukup ketat untuk dilangsungkannya poligami. Kriteria ketat ini
merupakan salah satu landasan penting memberikan perlindungna kepada
perempuan.
Dari
ranah ini, tidak elok rasanya, contoh yang diberikan kepada
masyarakat (edukasi) yang nyata-nyata tidak sesuai dengan prinsip
dalam UU Perkawinan. Sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan
ketatanegaraan, contoh dari pejabat daerah merupakan cerminan nyata
dari pandangan konstitusional dari pandangan pejabat daerah.
USIA
DEWASA
Sementara
itu, judul provokatif “perempuan muda” merupakan persoalan rumit
dalam ranah hukum. Dalam praktek ilmu sosial, usia ini lebih tepat
digunakan untuk anak pada masa sekolah dasar hingga selesai SMA.
Menggunakan istilah ini pada umur istri “siri” tidak tepat. Usia
18 diperkirakan usia sudah menginjak perguruan tinggi dan menurut UU
Perkawinan, tidak menjadi persoalan.
Menurut
Islam, usia dewasa apabila seorang telah mengalami akil baliq (sudah
mengalami menstruasi). Usia ini diperkirakan sejak anak kelas 6 SD
hingga Kelas 3 SMP. Dengan menggunakan kriteria akil baliq, maka
seorang yang telah akil baliq dianggap telah bertanggungjawab untuk
melakukan perbuatan yang benar dan salah.
Dalam
lapangan ilmu politik, usia 18 tahun merupakan usia yang dibenarkan
untuk memilih (18 tahun). Usia 18 tahun dibenarkan untuk mengikuti
Pemilihan Umum baik Pemilihan Presiden, DPR-DPRD, DPD, Kepala Daerah.
Usia 18 tahun merupakan usia yang matang, sehingga ilmu politik
memberikan haknya dan dianggap telah berfikir jernih untuk
menyalurkan aspirasi politiknya.
Didalam
ilmu hukum, UU Perkawinan mengamanatkan usia yang dibenarkan untuk
perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk
perempuan. Sehingga seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun
dianggap telah dewasa dan cakap bertindak dimuka hukum (tidak dibawah
pengampu/perwalian). Usia 18 tahun sudah bisa bertindak melakukan
perbuatan hukum dan bisa bertindak atas nama pribadinya (lihat UU
Perlindungan Anak dan UU Pengadilan Anak)
Begitu
juga dengan pewarisan, usia 18 tahun sudah mendapatkan hak yang sama
dengan saudara-saudara untuk membicarakan pewarisan.
Namun
yang unik, didalam pasal 332 KUHP, justru perempuan dibawah 21 masih
dianggap dalam perlindungan orang tuanya sehingga membawa perempuan
dibawah umur 21 tahun masih dianggap sebagai perbuatan pidana. Dalam
berbagai kasus-kasu di persidangan, pasal ini merupakan salah satu
pasal yang menimbulkan kontroversial karena disatu sisi, sebagai
praktek sosial, usia 18 tahun sudah dianggap dewasa namun pasal 322
KUHP justru pada usia 21 tahun.
Namun
uraian diatas, apabila dilihat dari ranah sosiologi lebih tepat
menggunakan ukuran fisik. Dalam ukuran menjadi seorang Presiden,
justru menggunakan patokan umur 35 tahun. Bahkan menjadi seorang
Pimpinan KPK justru berumur 40 tahun. Bahkan untuk menjadi Hakim
Agung berumur 45 tahun. Sehingga ukuran yang digunakan (umur 35
tahun, umur 40 tahun dan umur 45 tahun) digunakan sebagai usia
“kematangan” berfikir untuk menduduki jabatan publik yang
berdampak dalam sistem ketatanegaraan.
Dimuat di Posmetro online, 3 Desember 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12579-berapa-usia-pantas-seorang-perempuan-untuk-dinikahi.html