Dalam
periode yang sama, duo Joko menjadi headline media massa. Joko Widodo
(Jokowi) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi sorotan, selain
karena program-programnya ditunggu publik memimpin DKI Jakarta, juga
baru “melauncing” Kartu Sehat dan Kartu Pintar. Kartu Sehat
sebagai “card” untuk masyarakat untuk mendapatkan layanan
kesehatan. Sedangkan Kartu Pintar merupakan “card” mendapatkan
fasilitas pendidikan untuk masyarakat yang kurang mampu.
Jokowi
kemudian menjadi sorotan media massa selain memang ditunggu-tunggu
program dan “agenda kreatif”nya untuk menyelesaikan banjir, macet
dan berbagai persoalan lainnya.
Berbanding
terbalik dengan Joko Soesilo. Walaupun pernah menjadi Gubernur
Akademi Kepolisian, namun belum usai menyelesaikan jabatannya, dia
dicopot karena “dituduh” melakukan korupsi. Tuduhannya cukup
serius, sehingga tuduhan yang sangat serius itu, membuat KPK dan
Polri “sempat” sedikit memanas.
Penggeledahan
di Kakorlantas “membuat” Polri kebakaran jenggot. KPK sebagai
lembaga yang didukung oleh Kepolisian dirasakan oleh Polri sebagai
“anak tidak tahu diri”. Polri kemudian menggunakan “kekuasaanya”
yang kemudian “menarik” penyidiknya di KPK. Bahkan Ketua Tim
Penyidik, Novel Baswedan kemudian “diungkit-ungkit” kesalahannya
dan sempat “mau dijemput” untuk membungkamnya.
Bandingkan
pada tahun sebelumnya. Joko Widodo yang masih “orang udik” dan
sempat “diledek oleh Fauzi Bowo “mau memimpin DKI, jalan di
Jakarta aja masih sering nyasar” (masih menjadi Walikota Solo)
hanya menjadi issu lokal dan issu terbatas. Belum menjadi orang
penting dan dibicarakan secara nasional. Bahkan partai-partai besar
“ogah” mendorong Jokowi untuk menjadi Calon Gubernur DKI.
Bandingkan
dengan Joko Soesilo yang sudah menjadi “orang penting” di Mabes
Polri dan kariernya sedang “cemerlang”. Sedang merintis karier
untuk menaiki tangga dan dipastikan akan melaju mulus.
Terlepas
dari dua peristiwa tersebut, Duo Joko sempat menarik perhatian
publik. Duo Joko menjadi perhatian media massa. Namun Joko Widodo
dapat ditangkap sebagai dari “zero to hero”. Dari yang tidak
diperhitungkan menjadi pembicaraan berbagai kalangan. Bahkan sekarang
sudah dianggap sebagai “satrio piningit”, “ratu adil” yang
ditunggu-tunggu untuk menyelesaikan berbagai krisis dan penderitaan
rakyat.
Bandingkan
dengan Joko Soesilo. Dari “sang putra mahkota” yang akan
dipersiapkan untuk menjadi orang penting kemudian harus “berhadapan”
dengan hukuman. Jangankan “memikirkan rakyat”, bahkan sekarang
sudah harus “badannya sendiri. “Hero to zero”.