29 Desember 2012

opini musri nauli : Dimensi Perkembangan Kejahatan Pajak





Sebuah berita mengabarkan “MA Vonis Kasus Penggelapan Pajak Asian Agri Bayar Rp 2,5 T ke Negara”. Lebih lanjut diberitakan, Mahkamah Agung (MA) menghukum perusahaan papan atas kelapa sawit Asian Agri untuk membayar denda ke negara Rp 2,5 triliun. Dalam perkara ini MA juga menghukum percobaan pidana terhadap Tax Manager Asian Agri, Suwir Laut.

Menurut MA, putusan ini termasuk sebagai perkara penggelapan pajak yang diputuskan sebagai corporate liability (pertanggung jawaban kolektive) yaitu fucarious liability (perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana karyawannya).

Dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia, “corporate liability (pertanggung jawaban kolektive) yaitu fucarious liability (perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana karyawannya) merupakan berita ini menarik untuk didiskusikan.

Sebagai kata “corporate liability dan fucarious liability, istilah ini tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa kontinental. Istilah ini hanya dikenal di kalangan sistem hukum Anglo Saxon.

Berangkat dari pemikiran itu, maka tulisan ini dipaparkan untuk melihat relevansi dengan sistem hukum Indonesia dan perkembangan ilmu hukum pidana di Indonesia.

Negara Hukum (Rechtstaat)

Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam konstitusi kita mengenal istilah “Rechtstaat (negara hukum)” sebagai identitas khas daripada sistem hukum Eropa Kontinental. Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’’.

Rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi. Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut

Dalam sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme.

Dalam praktek Peradilan, Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)

Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”, menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas positivisme.

Pernyataan ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .

Maka untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”.
Dalam lapangan ilmu hukum pidana, kemudian kita mengenal “kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban pidana. Secara sederhana dirumuskan “seseorang tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila tidak melakukan perbuatan pidana. Dan seseorang dipersalahkan karena perbuatannya.

Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.
Negara hukum (rule of law)

Sementara Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System). Kita kemudian lebih mengenal dengan sistem hukum “rule of law”

Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.

Dalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana.

Anglo Saxon kemudian mengenal strict liability (tanggung jawab mutlak), corporate liability (pertanggung jawaban kolektive), fucarious liability (perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana karyawannya), atau pertanggungjawaban korporasi. Berbagai asas-asas ini banyak diatur diluar KUHP.

Setelah kita melihat prinsip-prinsip dan asas dalam sistem hukum Eropa dan sistem hukum Anglo saxon maka kita akan lihat bagaimana putusan MA dan relevansi dengan sistem hukum Indonesia dan perkembangan ilmu hukum pidana di Indonesia.

Putusan MA terhadap kasus pajak Asian Agri memang sudah lama disoroti publik. Sebagian kalangan menganggap MA tidak berani “menerobos” penggelapan pajak yang merupakan ranah administrasi penal (sanksi administrasi). Namun sebagian kalangan menghendaki MA dapat bersikap tegas terhadap kejahatan pajak yang mengguncang Indonesia. Ukuran “penggelapan pajak” yang sering diselesaikan “administration penal” dan tidak menggunakan sebagai penghukuman pidana sering mengecewakan publik. Belum lagi masih ada anggapan “Penggelapan pajak” yang berangkat dari dogma sebagai “self assesment”.

Maka dengan putusan MA, MA sudah berangkat jauh untuk “menghukum” para pengemplang pajak dengan sanksi pidana. MA sudah “berani” dan menghukum para pengemplang pajak. Selain telah terpenuhi “Kehendak jahat” dari diri sang pengemplang pajak dan memberikan informasi “sesat” dan tidak “jujur” dalam “melaporkan secara jujur” (self assesment) dan mengisi data palsu kewajiban perusahaan). MA telah memutuskan “pemberian informasi dan melaporkan kewajiban pajak” akan senantiasa diuji dalam mekanisme hukum.

Dengan pertimbangan inilah, Putusan MA merupakan angin segar agar proses “para pengemplang pajak' untuk tidak main-main dalam urusan pajak. Putusan MA dapat digunakan sebagai yurisprudensi dan bahan untuk membongkar dan diikuti dengan proses penyidikan “berlarut-larutnya” kasus pajak.