Farhat
Abbas (FA) “mendeklarasikan” sebagai Calon Presiden 2014.
Sebagai ikrar “keseriusannya”, dia akan menawarkan model
“sumpah pocong” untuk membersihkan birokrasi dari korupsi.
Penulis
“tertarik” dengan istilah “sumpah pocong”.
Sebuah istilah dalam khazanah sosiologi dan praktek “pembuktian”
di tengah masyarakat apabila kedua belah pihak “masih ngotot”
yang paling benar. Terlepas dari perdebatan di kalangan agamawan,
praktek ini cukup ditakuti oleh sebagian masyarakat agraris.
Sebelumnya
Anas Urbaningrum (AU) pernah “bersumpah di gantung monas”
apabila terlibat korupsi. Sumpah di gantung monas disampaikan, ketika
media massa “memberikan” konsentrasi pemberitaan Hambalang
dan mengkait-kaitkan dengan AU. Akibatnya AU jenuh. Beberapa kali
pernyataannya yang membantah “kurang menyakinkan” publik
sehingga keluar pernyataan sumpah “gantung di Monas”.
FA
adalah advokat sedangkan AU adalah politisi. Keduanya berangkat dari
pendidikan tinggi yang “seharusnya” menggunakan pendekatan
ilmu dan berfikir rasional untuk menjawab berbagai persoalan.
Keduanya mewakili kaum intelektual yang menggunakan setiap kata-kata
berangkat dari pemikiran yang logis. Mereka “sebenarnya”
bisa memberikan pendidikan di tengah masyarakat.
Pernyataan
FA tentang “sumpah pocong” dan AU tentang sumpah “gantung
di monas” menimbulkan polemik dalam hukum.
Permyataan
FA “sumpah pocong” mengingatkan peristiwa di Jambi akhir
tahun 2007. Saat itu Jambi “dihebohkan” dengan “ditemukan
daging bakso yang diduga mengandung unsur “babi”.
Peristiwa ini kemudian menimbulkan polemik. Pemilik warung bakso
“tidak pernah memasukkan “daging mengandung unsur babi”.
Sementara, tuduhan itu cukup serius karena “hasil penelitian
ditemukan daging mengandung unsur “babi”.
Polemik
tidak berkesudahan. Berbagai pernyataan dari pemilik warung bakso
tidak “meyakinkan”. Sehingga pemilik warung bakso diminta
untuk “bersumpah pocong”. Maka dipersiapkan berbagai tata
cara untuk mengucapkan “sumpah pocong”. Pemilik warung
baksa kemudian “mengucapkan sumpah pocong yang menyatakan tidak
pernah memasukkan daging babi. Dan bersedia menerima laknat Tuhan”.
Entah
bagaimana akhir cerita. Namun yang pasti, pemilik warung tidak berani
buka warung bakso lagi dan proses hukum tidak begitu jelas.
Memasuki
wilayah diskusi “sumpah pocong” memang memantik polemik.
Baik dari sudut pandang agama, sosial maupun aspek-aspek lainnya.
Namun penulis akan mendiskusikan dari sudut pandangn hukum.
Menggunakan
ukuran “sumpah pocong” bertentangan dengan pembuktian
hukum acara pidana. Didalam hukum acara pidana, seseorang dapat
dipersalahkan apabila didukung dengan alat bukti yang sah. Seseorang
tidak dapat dihukum apabila tidak didukung alat bukti yang sah.
Menghukum
seseorang yang tidak didukung dengan alat bukti yang sah akan
menimbulkan “kesesatan hukum (mistake)”. Kita pernah
dengar kasus “terdakwa palsu”. Dimana “seseorang”
mengaku melakukan tindak pidana (padahal tidak pernah melakukan)
hanya mengharapkan uang dan bersedia menjalani penjara. Nah, dengan
didukung alat bukti yang sah, Hakim dapat memastikan apakah terdakwa
“benar-benar melakukan” atau tidak. Dengan menggunakan
alat bukti yang sah, maka proses hukum menjadi fair.
Nah,
berbanding terbalik dengan “sumpah pocong”. Seseorang
dapat “bebas” dari tuduhan dengan hanya “mengucapkan
Sumpah pocong”. Seseorang tidak perlu “menjalani”
pidana penjara setelah mengucapkan sumpah pocong. Walaupun sebagian
masyarakat masih takut akan “kutukan” sumpah pocong, namun
ukuran “ketakutan sumpah pocong” tidak dapat berlaku
universal. Sebuah asas penting dalam penegakkan hukum.
Dengan
demikian, maka hukum acara pidana tidak mengenal “sumpah
pocong”.
Nah,
lantas mengapa seorang FA yang notabene berlatar belakang praktisi
mengeluarkan pernyataan “sumpah pocong”. Dari logika
berfikir ini, penulis sungguh-sungguh tidak bisa menerimanya.
Seharusnya pernyataan dari FA berangkat dari konsepsi latar belakang
ilmunya. Bukan memberikan pernyataan yang menyesatkan (mistake).
Begitu
juga pernyataan dari AU yang bersedia “digantung di monas”.
Menggunakan pendekatan hukuman pidana, kita hanya mengenal pidana
pokok seperti hukuman mati, hukum seumur hidup, hukuman penjara dan
sebagainya.
Sedangkan
hukuman mati dijalani dengan cara “ditembak”. Bukan
digantung. Apalagi “digantung” di Monas. “Seharusnya”
selevel AU harus mengerti tentang tatacara pelaksanaan hukuman mati.
Dengan
melihat dua pernyataan yang telah disampaikan oleh FA dan AU (kedua
berlatar belakang pendidikan tinggi), sekali lagi berangkat dari
rasa “emosi”. Sama sekali tidak menggunakan latar belakang
ilmu untuk menjelaskan pernyataannya.
Dan
keduanya bukan “menyelesaikan” masalah. Justru masyarakat
kemudian dipertontonkan “kegaduhan” yang semakin heboh.
Suara gemuruh. Koor. Persis anak sekolahan mendengarkan “lonceng”.
Tanpa babibu, langsung teriak. “Pulaaaaaaannnnnnnng”.