Sebuah
berita mengabarkan “MA Vonis Kasus
Penggelapan Pajak Asian Agri Bayar Rp 2,5 T ke Negara”.
Lebih lanjut diberitakan, Mahkamah
Agung (MA) menghukum perusahaan papan atas kelapa sawit Asian Agri
untuk membayar denda ke negara Rp 2,5 triliun. Dalam perkara ini MA
juga menghukum percobaan pidana terhadap Tax Manager Asian Agri,
Suwir Laut.
Menurut
MA, putusan ini termasuk sebagai perkara penggelapan pajak yang
diputuskan sebagai
corporate liability
(pertanggung jawaban kolektive) yaitu fucarious
liability
(perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana karyawannya).
Dalam
perkembangan ilmu hukum Indonesia, “corporate
liability
(pertanggung jawaban kolektive) yaitu fucarious
liability
(perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana karyawannya)
merupakan berita ini menarik untuk didiskusikan.
Sebagai
kata “corporate
liability
dan fucarious
liability,
istilah ini tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa kontinental.
Istilah ini hanya dikenal di kalangan sistem hukum Anglo Saxon.
Berangkat
dari pemikiran itu, maka tulisan ini dipaparkan untuk melihat
relevansi dengan sistem hukum Indonesia dan perkembangan ilmu hukum
pidana di Indonesia.
Negara
Hukum (Rechtstaat)
Indonesia
menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam konstitusi kita
mengenal istilah “Rechtstaat (negara hukum)” sebagai identitas
khas daripada sistem hukum Eropa Kontinental. Di
zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan
lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’’.
“Rechtsstaat”,
dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm
die het recht air hoogste gezag handhaafl”
Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding
fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang
menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi. Meminjam
istilah Notohamijoyo “Negara
hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum
bukan pada seorang penguasa absolut
Dalam
sistem hukum Eropa kontinental, sistem
hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang
berangkat dari pemikiran positivisme.
Dalam
praktek Peradilan, Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah mulut atau
corong undang-undang (spreekbuis
van de wet, bouche de la
hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang
menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga
menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah
pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar
teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti
didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan
alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak
merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir
Manan, Mengadili Menurut Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, No.
238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)
Apabila
kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8
Desember 1959 yang menyatakan “hakim
bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan
tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan
perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak
pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa
harus dibebaskan dan segala tuduhan”,
menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid)
didalam memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga
mengandung asas positivisme.
Pernyataan
ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh Logemann
menyatakan “men mag de norm
waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de
juiste uitleg mag gelden”
orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang
mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat
undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .
Maka
untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa
kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum
nisi mens sir rea”.
Dalam
lapangan ilmu hukum pidana, kemudian kita mengenal “kesalahan
(schuld) dan pertanggungjawaban pidana. Secara sederhana dirumuskan
“seseorang tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana
apabila tidak melakukan perbuatan pidana. Dan seseorang dipersalahkan
karena perbuatannya.
Pemidanaan
haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan
seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu
tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban
pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang
melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan
kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi
jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.
Negara
hukum (rule of law)
Sementara
Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon
(Common Law System). Kita kemudian lebih mengenal dengan sistem hukum
“rule of law”
Indonesia
juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system)
sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo
Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997
Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo
Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat
organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses
penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.
Dalam
sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus,
nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat
kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan
Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat
dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”.
Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat
dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana,
sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut.
Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan
sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan
dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan
pertanggungjawban pembuat tindak pidana.
Anglo
Saxon kemudian mengenal strict liability (tanggung jawab mutlak),
corporate
liability
(pertanggung jawaban kolektive), fucarious
liability
(perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana karyawannya),
atau pertanggungjawaban korporasi. Berbagai asas-asas ini banyak
diatur diluar KUHP.
Setelah
kita melihat prinsip-prinsip dan asas dalam sistem hukum Eropa dan
sistem hukum Anglo saxon maka kita akan lihat bagaimana putusan MA
dan relevansi dengan sistem hukum Indonesia dan
perkembangan ilmu hukum pidana di Indonesia.
Putusan
MA terhadap kasus pajak Asian Agri memang sudah lama disoroti publik.
Sebagian kalangan menganggap MA tidak berani “menerobos”
penggelapan pajak yang merupakan ranah administrasi penal (sanksi
administrasi). Namun sebagian kalangan menghendaki MA dapat bersikap
tegas terhadap kejahatan pajak yang mengguncang Indonesia. Ukuran
“penggelapan pajak” yang sering diselesaikan “administration
penal” dan tidak menggunakan sebagai penghukuman pidana sering
mengecewakan publik. Belum lagi masih ada anggapan “Penggelapan
pajak” yang berangkat dari dogma sebagai “self assesment”.
Maka
dengan putusan MA, MA sudah berangkat jauh untuk “menghukum” para
pengemplang pajak dengan sanksi pidana. MA sudah “berani” dan
menghukum para pengemplang pajak. Selain telah terpenuhi “Kehendak
jahat” dari diri sang pengemplang pajak dan memberikan informasi
“sesat” dan tidak “jujur” dalam “melaporkan secara jujur”
(self assesment) dan mengisi
data palsu kewajiban perusahaan). MA telah memutuskan
“pemberian informasi dan melaporkan kewajiban pajak” akan
senantiasa diuji dalam mekanisme hukum.
Dengan
pertimbangan inilah, Putusan MA merupakan angin segar agar proses
“para pengemplang pajak' untuk tidak main-main dalam urusan pajak.
Putusan MA dapat digunakan sebagai yurisprudensi dan bahan untuk
membongkar dan diikuti dengan proses penyidikan “berlarut-larutnya”
kasus pajak.