29 Februari 2016

opini musri nauli : Asap dan Kejahatan kemanusiaan



Ayah, Mengapa kami tidak boleh main diluar rumah !!!

Bibir ini seakan-akan kelu menatap asap yang terus datang setiap tahun. Dalam catatan Walhi, sejak tahun 2006 terdapat 146.264 titik api. Tahun 2007 : 37.909 titik api. Tahun 2008 : 30.616 titik api. Tahun 2009 : 29.463 titik api. Tahun 2010 : 9.898 titik api. Tahun 2011 : 22.456 ttk api. Bahkan selama periode 13-30 Juni 2013, tercatat 2.643 jumlah peringatan titik api, maka pada periode 20 Februari – 11 Maret 2014 saja telah terdeteksi 3.101 titik api.

Dengan menggunakan berbagai penghitungan, maka titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Antara lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Angka-angka ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari tahun-ketahun.

Padahal kebakaran Hutan Indonesia di Tahun 1982 - 1983 merupakan kebakaran hutan/lahan terbesar pertama di Indonesia. Kebakaran tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya.

Periode tahun 1999 – 2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Di wilayah Sumatera, kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar. Gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006)

Melihat kejadian terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, maka timbul pertanyaan. Dimana peran dan tanggung jawab negara didalam melindungi hak rakyat untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ya. Kebakaran disebabkan oleh pembukaan kebun kemudian menimbulkan asap telah “merampas” hak anak-anak untuk bermain. Dunia dan kemewahan yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Tidak bisa digantikan dengan waktu ke depan. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Baik bermain game playstation maupun main layang-layangan, main sepeda atau bermain sepakbola.

Asap kemudian merampasnya. Tidak peduli siapapun. Kabut asap telah “mengambil” waktu dunia anak-anak.

KEJAHATAN KEMANUSIAAN

Melihat dampak dan pola yang disebabkan dari kebakaran yang menimbulkan asap kemudian persoalan serius terhadap pemenuhan hak terhadap rakyat.

Konstitusi telah mengamanatkan didalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (the rights to healthful and deccen environemen) merupakan hak asasi.

Hak ini kemudian dikenal sebagai hak mendasar (the basic fundamental human right) yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Dengan mendasarkan kepada hak-hak mendasar (the basic fundamental human right), maka kewajiban negara untuk “memastikan” terpenuhinya hak-hak kepada rakyatnya. Negara akan diminta pertanggungjawaban baik sebagai pelaku (by commision) maupun membiarkan (by ommision) telah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak terhadap penduduknya.

Melihat dampak dan pola terjadinya asap, merata dari Ujung Jabung hingga ke berbagai pelosok di Jambi termasuk di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo (kabupaten yang sebelumnya tidak mengalami kabut asap yang pekat) maka dapat digolongkan kepada upaya sistematis terjadinya kejahatan HAM (crimes against humanity)

Didalam UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, Pasal 7 menyebutkan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan didalam Pasal 9 “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Menggunakan term “serangan yang meluas atau sistematis” merupakan inti delik (bestandeel delict) dalam Pasal 9 UU Pengadilan HAM. Unsur inilah yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan lain. “Serangan yang meluas atau sistematis” merupakan kejahatan yang most serious crime didalam inti delik (bestandeel delict).

MA sendiripun merujuk “sistematik atau meluas” kepada yurisprudensi internasional ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) dalam perkara “The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”.

Dalam berbagai literatur disebutkan “Dalam perkara The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no. ICTR-96-4-T, pada pengadilan tingkat pertama, disebutkan bahwa The concept of widespread may be defined as massive, frequent, large scale action, carried out collectively with considerable seriousness and directed against a multiplicity of victims. Secara bebas diterjemahkan sebagai“konsep meluas dapat didefinisikan sebagai serangan yang besar, sering, dalam skala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak.

Sedangkan definisi sistematik adalah The concept of systematic may be defined as thoroughly organized and following a regular pattern on the basis of a common policy involving substantian public or private resources. There is no requirement that this policy must be adopted formally as the policy of a state.There must however be some kind of preconceived plan or policy, atau secara bebas diartikan “bahwa yurisprudensi tersebut dapat didefenisikan bahwa perbuatan tersebut benar-benar terorganisir dan mengikuti pola yang teratur atas dasar kebijakan umum yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang besar.” Tidak ada syarat bahwa kebijakan harus diambil secara formal sebagai kebijakan Negara, tetapi yang penting adalah sebelumnya harus ada perencanaan atau kebijakan.

Dengan menggunakan term “sistematik atau meluas” maka terhadap persoalan asap telah memenuhi delik terjadinya kejahatan HAM. Baik pola terjadinya titik api yang dilakukan oleh corporate crime yang dilakukan dengan sistematis. Ini ditandai dengan pola terjadinya titik api yang berulang setiap tahun, di tempat izin konsensi, wilayah terjadinya kebakaran yang luas.

Sedangkan “meluas”, ditandai selain daripada terjadinya titik api hingga mencapai ribuan hektar juga asap telah menyebar hampir menutupi udara di Propinsi Jambi.

Dengan melihat pola terjadinya pembakaran yang dilakukan secara sistematis dan akibat asap yang menimbulkan dampak yang meluas, maka negara harus diminta pertanggungjawaban untuk dapat mengatasi asap.

Selain itu juga kepada perusahaan dapat diminta pertanggungjawaban sebagai pelaku kejahatan HAM (non actor state).


Advokat, Tinggal di Jambi

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 September 2015