Ayah,
Mengapa kami tidak boleh main diluar rumah !!!
Bibir
ini seakan-akan kelu menatap asap yang terus datang setiap tahun.
Dalam catatan Walhi, sejak tahun 2006 terdapat 146.264 titik api.
Tahun 2007 : 37.909 titik api. Tahun 2008 : 30.616 titik api. Tahun
2009 : 29.463 titik api. Tahun 2010 : 9.898 titik api. Tahun 2011 :
22.456 ttk api. Bahkan selama periode 13-30 Juni 2013, tercatat 2.643
jumlah peringatan titik api, maka pada periode 20 Februari – 11
Maret 2014 saja telah terdeteksi 3.101 titik api.
Dengan
menggunakan berbagai penghitungan, maka titik api tersebar di
beberapa provinsi di Indonesia. Antara lain, Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Angka-angka ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari
tahun-ketahun.
Padahal
kebakaran Hutan Indonesia di Tahun 1982 - 1983 merupakan kebakaran
hutan/lahan terbesar pertama di Indonesia. Kebakaran tahun 1997 -
1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada
waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya.
Periode
tahun 1999 – 2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun
2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Di wilayah Sumatera,
kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai
US $ 5,8 milyar. Gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total
kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006)
Melihat
kejadian terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap
tahun, maka timbul pertanyaan. Dimana peran dan tanggung jawab negara
didalam melindungi hak rakyat untuk mendapatkan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat.
Ya.
Kebakaran disebabkan oleh pembukaan kebun kemudian menimbulkan asap
telah “merampas” hak anak-anak untuk bermain. Dunia dan kemewahan
yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Tidak bisa digantikan
dengan waktu ke depan. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Baik
bermain game playstation maupun main layang-layangan, main sepeda
atau bermain sepakbola.
Asap
kemudian merampasnya. Tidak peduli siapapun. Kabut asap telah
“mengambil” waktu dunia anak-anak.
KEJAHATAN
KEMANUSIAAN
Melihat
dampak dan pola yang disebabkan dari kebakaran yang menimbulkan asap
kemudian persoalan serius terhadap pemenuhan hak terhadap rakyat.
Konstitusi
telah mengamanatkan didalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat (the rights to healthful and
deccen environemen) merupakan hak asasi.
Hak
ini kemudian dikenal sebagai hak mendasar (the basic fundamental
human right) yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun.
Dengan
mendasarkan kepada hak-hak mendasar (the basic fundamental human
right), maka kewajiban negara untuk “memastikan”
terpenuhinya hak-hak kepada rakyatnya. Negara akan diminta
pertanggungjawaban baik sebagai pelaku (by commision) maupun
membiarkan (by ommision) telah terjadinya pelanggaran terhadap
hak-hak terhadap penduduknya.
Melihat
dampak dan pola terjadinya asap, merata dari Ujung Jabung hingga ke
berbagai pelosok di Jambi termasuk di Kabupaten Sarolangun, Merangin,
Bungo (kabupaten yang sebelumnya tidak mengalami kabut asap yang
pekat) maka dapat digolongkan kepada upaya sistematis terjadinya
kejahatan HAM (crimes against humanity)
Didalam
UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, Pasal 7 menyebutkan
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : a.
kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan
didalam Pasal 9 “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil.
Menggunakan
term “serangan yang
meluas atau sistematis”
merupakan inti delik (bestandeel
delict) dalam Pasal 9 UU
Pengadilan HAM. Unsur inilah yang membedakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dengan kejahatan lain. “Serangan
yang meluas atau sistematis”
merupakan kejahatan yang most
serious crime didalam
inti delik (bestandeel
delict).
MA
sendiripun merujuk “sistematik
atau meluas”
kepada yurisprudensi internasional ICTR (International
Criminal Tribunal for Rwanda)
dalam perkara “The
Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”.
Dalam
berbagai literatur disebutkan “Dalam
perkara The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu”, case no.
ICTR-96-4-T, pada pengadilan tingkat pertama, disebutkan bahwa The
concept of widespread may be defined as massive, frequent, large
scale action, carried out collectively with considerable seriousness
and directed against a multiplicity of victims. Secara
bebas diterjemahkan sebagai“konsep
meluas dapat didefinisikan sebagai serangan yang besar, sering, dalam
skala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan sungguh-sungguh
dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak.”
Sedangkan
definisi sistematik adalah The concept of systematic may be
defined as thoroughly organized and following a regular pattern on
the basis of a common policy involving substantian public or private
resources. There is no requirement that this policy must be adopted
formally as the policy of a state.There must however be some kind of
preconceived plan or policy, atau
secara bebas diartikan “bahwa yurisprudensi tersebut
dapat didefenisikan bahwa perbuatan tersebut benar-benar terorganisir
dan mengikuti pola yang teratur atas dasar kebijakan umum yang
melibatkan sumber daya publik atau swasta yang besar.” Tidak ada
syarat bahwa kebijakan harus diambil secara formal sebagai kebijakan
Negara, tetapi yang penting adalah sebelumnya harus ada perencanaan
atau kebijakan.
Dengan
menggunakan term “sistematik atau meluas” maka terhadap
persoalan asap telah memenuhi delik terjadinya kejahatan HAM. Baik
pola terjadinya titik api yang dilakukan oleh corporate crime yang
dilakukan dengan sistematis. Ini ditandai dengan pola terjadinya
titik api yang berulang setiap tahun, di tempat izin konsensi,
wilayah terjadinya kebakaran yang luas.
Sedangkan
“meluas”, ditandai selain daripada terjadinya titik api
hingga mencapai ribuan hektar juga asap telah menyebar hampir
menutupi udara di Propinsi Jambi.
Dengan
melihat pola terjadinya pembakaran yang dilakukan secara sistematis
dan akibat asap yang menimbulkan dampak yang meluas, maka negara
harus diminta pertanggungjawaban untuk dapat mengatasi asap.
Selain
itu juga kepada perusahaan dapat diminta pertanggungjawaban sebagai
pelaku kejahatan HAM (non actor state).