Jagat belantara
politik kontemporer Pilkada Jakarta sedikit “adem” setelah Ridwan Kamil
(Walikota Bandung) menyatakan tidak maju untuk pilkada Jakarta 2017. Ridwan
Kamil sebagai salah satu orang yang cukup diperhitungkan kemudian memilih berkonsentrasi
untuk di Bandung.
Dalam
pernyataannya, peluang Ridwan Kamil cukup banyak pilihan. Entah memasuki
Jakarta paska 2017, meneruskan jabatannya kedua di Walikota Bandung atau
menunggu peluang untuk Gubernur Jabar.
Namun politik
bukanlah matematika. Walaupun dengan matematika, suara pemilih bisa menentukan
pemenang pilkada.
Sebagian pihak
menyebutkan posisi Ahok sebagai incumbent sedang menanjak naik. Berbagai survey
menempatkan Ahok dengan skor 45 %.
Namun dengan
kalkulasi politik, sebagai incumbent, dengan modal suara 30%, Ahok hanya
berhasil “meraup” suara 15%. Sebuah prestasi yang biasa-biasa dalam hitungan
“persepsi pemilih pilkada”. Dari titik
inilah, maka kesempatan bagi “penantang” Ahok untuk mengukur elektibilitas
sebelum mendaftar pilkada 2016.
Dengan
keragaman, multi etnik, kerumetan persoalan, kematangan politik di Jakarta,
capaian Ahok mencapai 45% harus ditangkap sebagai sebuah prestasi Ahok yang
mampu mengamankan suara 30%. Publik Jakarta kemudian menangkap sebagai
pekerjaan Ahok yang terus menjadi trending topic dalam pembicaraan. Sedangkan
suara 15% adalah prestasi modal untuk memasuki pilkada 2017.
Sebagai
Politisi, Ahok telah ditempa sebagai Bupati Belitung Timur, calon Gubernur
babel, anggota DPR-RI dan Wakil Gubernur hingga Gubernur Jakarta. Namun dalam
pilkada Jakarta, Ahok harus diuji untuk melihat “ketangguhannya”.
Ketangguhan Ahok
dimulai dengan dukungan dari 700 ribu KTP dalam pekerjaan “gerilya” Teman Ahok.
Ahok “menguji” kekuatan politiknya sekaligus mengukur “kinerja” yang ditangkap
oleh public. Tanpa mengenyampingkan “tawaran” dari Partai, posisi Teman Ahok
cukup strategis sehingga “kekuatan” Ahok mempunyai andil dan langkah Ahok
memasuki Pilkada Jakarta 2017.
Berbeda dengan
Pilkada Jakarta 2012, dimana Jokowi mempunyai “andil” terhadap kemenangan, Ahok
harus “bertarung” sendirian. Issu rasial seperti Kristen dan China merupakan
“sasaran” empuk sebagaimana issu ketika Ahok diangkat sebagai Gubernur Jakarta
“menggantikan” Jokowi.
Hampir setahun
lebih, jagat politik terus dimainkan dengan target untuk “menjungkalkan” Ahok.
Namun dengan “proteksi” Jokowi, Ahok tetap “melenggang” sehingga berbagai issu
belum mampu “menyingkirkan” Ahok.
Ketangguhan
Ahok dimulai dengan dukungan dari 700 ribu KTP dalam pekerjaan “gerilya” Teman
Ahok. Ahok “menguji” kekuatan politiknya sekaligus mengukur “kinerja” yang
ditangkap oleh public. Tanpa mengenyampingkan “tawaran” dari Partai, posisi
Teman Ahok cukup strategis sehingga “kekuatan” Ahok mempunyai andil dan langkah
Ahok memasuki Pilkada Jakarta 2017.
Namun
“memasuki” pilkada Jakarta 2017, “keterlibatan” Jokowi cukup ditunggu berbagai
pihak. Apakah Jokowi “memainkan” peran
atau memberikan kesempatan kepada Ahok untuk bertarung sendirian.
Membaca
perkembangan politik, dengan mundurnya Ridwan Kamil dan “Belum adanya” suara
dari Tri Rismaharini (Risma), membuat Ahok “cukup” berkonsentrasi dengan
nama-nama beredar. Dalam hitungan politik, Ridwan Kamil dan Risma sebagai
“petarung” yang tangguh dan sudah teruji kemudian mundur, membuat Ahok tidak
begitu pusing memasuki pilkada 2017.
Nama-nama yang
sudah resmi menyatakan memasuki gelanggang Pilkada 2017 seperti Dessy Ratnasari, Eko Patrio, Sandiogo Uno dan
Ahmad Dhani (musisi- Dewa) ataupun Yusril Ihza Mahendra belum mampu mendongkrak
suara di Jakarta. Terlepas dari kapasitas masing-masing candidate, dengan
beredar nama-namanya, membuat Jokowi belum menganggap harus “turun” untuk
mengawal Pilkada Jakarta.
Selain Dessy Ratnasari dan Eko Patrio yang
sudah teruji dalam pemilihan langsung, nama Yusril Ihza Mahendra cukup
diperhitungkan. Dengan masuknya YIM didalam pilkada dan melihat “perjalanan
politik” Ahok, kita membutuhkan “petarung” yang mampu mengimbangi Ahok yang
sudah pasti didukung oleh Teman Ahok.
Namun mengingat waktu yang semakin mendekati
waktu pendaftaraan, nama-nama yang beredar sudah harus mampu mendongkrak
elektabilitas. Sehingga politik Jakarta mampu menyediakan candidate yang
menarik untuk diikuti.
Baca : Ahok - Sang Penghancur Mitos