04 September 2015

opini musri nauli : KOMJEN ANANG ISKANDAR



Mendapatkan kabar Komjen Anang Iskandar (Komjen Anang) sebagai Kabareskrim Mabes Polri mengingatkan berbagai kenangan saya ketika menjadi Kapolda Jambi tahun 2011. Secara sepintas, ada suasana “keakraban” yang hendak dijalin.

Pertemuan saya dengan beliau ketika Komjen Anang ditugaskan menjadi Kapolda Jambi tahun 2011. Sebagai Kapolda Jambi beliau harus “membereskan” berbagai persoalan konflik yang mulai semakin massif. Penembakan Senyerang membuat “energi” masyarakat menjadi marah kepada penegak hukum. Belum lagi berbagai konflik di sawit dan konflik antar desa. Kami kemudian berdiskusi panjang lebar hingga beliau lebih banyak memaparkan gagasannya hingga mendengarkan kami dengan tekun. Selesai diskusi sembari mengantarkan kami keluar ruangan, tidak lupa menepuk bahu. “Bantu saya, mas”.

Namun Komjen Anang “lebih menampakkan” keilmuan daripada paradigma penegak hukum, langsung memetakan masalah. Diuraikan satu persatu konflik. Dibangun berbagai inisiatif dialog. Istilah FGD kemudian dijadikan program di berbagai Polres hingga Polsek. Hampir setiap minggu berbagai media mengabarkan bagaimana setiap Polres dan Polsek mengadakan FGD. Dan setiap proses FGD kemudian dicarikan jalan keluar. Hingga praktis selama 10 bulan menjabat, FGD kemudian menjadi model terhadap berbagai inisiatif yang dilakukan oleh Polres dan Polsek hingga sekarang. Sayapun langsung mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Komjen Anang.
Setelah Kapolda Jambi, jabatan mentereng telah menunggu. Tahun 2012 kemudian menjadi Kadiv Humas Polri. Belum usai menunaikan tugas, malah kemudian ditarik menjadi Gubernur Akademi Kepolisian dan BNN.

Ketika menjadi Kepala BNN, dalam peluncuran bukunya “Polisi ditantang Keringatan” di Kantor Harian Jambi Independent, kami lebih banyak tertawa mendengarkan cerita dia daripada mengulas bukunya. Entah memang karena suasana “guyup” yang sudah terbangun antara audiensi yang rata-rata awak media yang mengenal Komjen Anang, suasana itu lebih bersifat “kangen-kangenan” daripada berbicara mengenai isi buku. Tidak tampak sama sekali “seorang Jenderal” yang berbicara didepan. Entah suasana kangen atau memang menganggap audiensi sebagai teman, suasana kekeluargaan terasa.

Dengan santai menceritakan ketika diminta menjadi Kadiv Humas Polri, Gubernur Akpol dan kepala BNN. Komjen Anang menjalani periode jabatan itu cukup pendek. Kadiv Humas Gubernur Akpol dan BNN dalam rentang satu tahun.

Dengan masa jabatan sependek itu, maka bisa dibayangkan “suasana rumah tangga” yang heboh. Komjen Anang bercerita. Ketika hendak ke Jakarta, Komjen Anang “harus bersabar” karena rumah dinas masih ditempati pejabat lama. Namun baru menempati rumah dinas, malah kemudian pindah rumah dinas yang baru berdasarkan jabatannya. Kamipun tertawa terbahak-bahak mendengarkan cerita itu.

Saya kemudian mencoba melihat mengapa Komjen Anang mendapatkan berbagai jabatan begitu mentereng. Dengan jabatan yang begitu “prestise”, tentu saja ada “kelebihan” dari seorang Komjen Anang.

Dengan melihat gaya hidup termasuk cara pergaulan, maka kesan sebagai pejabat tinggi yang berpangkat Bintang satu (satu-satunya Jenderal di Jambi), tidak tampak beliau seorang Kapolda. Beliau lebih menampakkan gaya “berteman” dan mudah ditemui oleh siapapun.

Tidak salah kemudian, teman-teman media sering sekali menemukan beliau di teras kantor Polda, ngobrol santai di ruang penyidik hingga mudah ditemukan di berbagai event. Dengan santai dia tekun menyimak, sabar menghadapi pertanyaan wartawan hingga kemudian sering hadir di berbagai acara.
Kesan kesederhanaan juga dirasakan oleh para penyidik BNN yang mengikuti perkembangan karier Komjen Anang ketika menjadi Ketua BNN.

Di tangan BNN, Komjen Anang berhasil menangkap ratusan ribu bandar dan membongkar money laundring oleh seorang oknum dokter. Namun ditangannya, tanggung jawab 4 juta pengguna didorong untuk rehabitilitasi daripada “dihukum” penjara. Sebuah upaya yang cukup berhasil untuk “melawan” kriminalisasi “pengguna” narkoba untuk dipenjara.

Tidak salah kemudian nama Komjen Anang sering masuk nominasi calon Kapolri. Dimulai dari Timur Pradopo, Sutarman hingga “polemik” Budi Gunawan dan akhirnya Badrodin Haiti. Sering disebutkan namanya sebagai nominasi sebagai “pengakuan” atas kesederhanan dan keteladanan dari Komjen Anang.