Mendapatkan
kabar Komjen Anang Iskandar (Komjen Anang) sebagai Kabareskrim Mabes Polri
mengingatkan berbagai kenangan saya ketika menjadi Kapolda Jambi tahun 2011.
Secara sepintas, ada suasana “keakraban” yang hendak dijalin.
Pertemuan
saya dengan beliau ketika Komjen Anang ditugaskan menjadi Kapolda Jambi tahun
2011. Sebagai Kapolda Jambi beliau harus “membereskan” berbagai persoalan
konflik yang mulai semakin massif. Penembakan Senyerang membuat “energi”
masyarakat menjadi marah kepada penegak hukum. Belum lagi berbagai konflik di
sawit dan konflik antar desa. Kami kemudian berdiskusi panjang lebar hingga
beliau lebih banyak memaparkan gagasannya hingga mendengarkan kami dengan
tekun. Selesai diskusi sembari mengantarkan kami keluar ruangan, tidak lupa
menepuk bahu. “Bantu saya, mas”.
Namun
Komjen Anang “lebih menampakkan” keilmuan daripada paradigma penegak hukum,
langsung memetakan masalah. Diuraikan satu persatu konflik. Dibangun berbagai
inisiatif dialog. Istilah FGD kemudian dijadikan program di berbagai Polres
hingga Polsek. Hampir setiap minggu berbagai media mengabarkan bagaimana setiap
Polres dan Polsek mengadakan FGD. Dan setiap proses FGD kemudian dicarikan
jalan keluar. Hingga praktis selama 10 bulan menjabat, FGD kemudian menjadi
model terhadap berbagai inisiatif yang dilakukan oleh Polres dan Polsek hingga
sekarang. Sayapun langsung mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Komjen
Anang.
Setelah
Kapolda Jambi, jabatan mentereng telah menunggu. Tahun 2012 kemudian menjadi
Kadiv Humas Polri. Belum usai menunaikan tugas, malah kemudian ditarik menjadi
Gubernur Akademi Kepolisian dan BNN.
Ketika
menjadi Kepala BNN, dalam peluncuran bukunya “Polisi ditantang Keringatan” di
Kantor Harian Jambi Independent, kami lebih banyak tertawa mendengarkan cerita
dia daripada mengulas bukunya. Entah memang karena suasana “guyup” yang sudah
terbangun antara audiensi yang rata-rata awak media yang mengenal Komjen Anang,
suasana itu lebih bersifat “kangen-kangenan” daripada berbicara mengenai isi buku.
Tidak tampak sama sekali “seorang Jenderal” yang berbicara didepan. Entah
suasana kangen atau memang menganggap audiensi sebagai teman, suasana
kekeluargaan terasa.
Dengan
santai menceritakan ketika diminta menjadi Kadiv Humas Polri, Gubernur Akpol dan
kepala BNN. Komjen Anang menjalani periode jabatan itu cukup pendek. Kadiv
Humas Gubernur Akpol dan BNN dalam rentang satu tahun.
Dengan
masa jabatan sependek itu, maka bisa dibayangkan “suasana rumah tangga” yang
heboh. Komjen Anang bercerita. Ketika hendak ke Jakarta, Komjen Anang “harus
bersabar” karena rumah dinas masih ditempati pejabat lama. Namun baru menempati
rumah dinas, malah kemudian pindah rumah dinas yang baru berdasarkan
jabatannya. Kamipun tertawa terbahak-bahak mendengarkan cerita itu.
Saya
kemudian mencoba melihat mengapa Komjen Anang mendapatkan berbagai jabatan
begitu mentereng. Dengan jabatan yang begitu “prestise”, tentu saja ada
“kelebihan” dari seorang Komjen Anang.
Dengan
melihat gaya hidup termasuk cara pergaulan, maka kesan sebagai pejabat tinggi
yang berpangkat Bintang satu (satu-satunya Jenderal di Jambi), tidak tampak
beliau seorang Kapolda. Beliau lebih menampakkan gaya “berteman” dan mudah
ditemui oleh siapapun.
Tidak
salah kemudian, teman-teman media sering sekali menemukan beliau di teras
kantor Polda, ngobrol santai di ruang penyidik hingga mudah ditemukan di
berbagai event. Dengan santai dia tekun menyimak, sabar menghadapi pertanyaan
wartawan hingga kemudian sering hadir di berbagai acara.
Kesan
kesederhanaan juga dirasakan oleh para penyidik BNN yang mengikuti perkembangan
karier Komjen Anang ketika menjadi Ketua BNN.
Di
tangan BNN, Komjen Anang berhasil menangkap ratusan ribu bandar dan membongkar
money laundring oleh seorang oknum dokter. Namun ditangannya, tanggung jawab 4
juta pengguna didorong untuk rehabitilitasi daripada “dihukum” penjara. Sebuah
upaya yang cukup berhasil untuk “melawan” kriminalisasi “pengguna” narkoba
untuk dipenjara.
Tidak
salah kemudian nama Komjen Anang sering masuk nominasi calon Kapolri. Dimulai
dari Timur Pradopo, Sutarman hingga “polemik” Budi Gunawan dan akhirnya
Badrodin Haiti. Sering disebutkan namanya sebagai nominasi sebagai “pengakuan”
atas kesederhanan dan keteladanan dari Komjen Anang.