Ayah,
Mengapa kami tidak boleh main diluar rumah !!!
Kalimat
rengekan sekaligus protes disampaikan putraku yang masih duduk di SD.
Dengan sikap muka cemberut dan kesal, dia ogah menerima penjelasanku
tentang asap. Selain bahasa yang harus kugunakan sesederhana mungkin
juga disebabkan “rumitnya” dipahami anak-anak seumur dia untuk
menerima keadaan.
Sikap
protes bisa dipahami. Dia menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik.
Tidak nakal dan “berharap” hari minggu dapat bebas bermain sepeda
atau bermain sepakbola di dekat rumah. Tidak saja “himbauan” dari
ibu agar bermain diluar rumah mengenakan masker. Namun seruan itu
dianggap aneh.
Masa
bermain sepakbola pakai masker. Tapi Kalo pakai topeng atau penutup
kepala. Ya. Memang ada. Seperti Kiper Petr Cech. Aku menggumam dalam
diam. Tanpa meladeni dan mendengarkan seruannya sembari mengelus
dada.
Entah
di hari hujan yang terus membasahi bumi dengan deras. Atau di terik
matahari. Kesemuanya tidak dipedulikan. Dunia bermain adalah dunia
yang harus dilalui oleh anak-anak seusianya.
Ya.
Kebakaran disebabkan oleh pembukaan kebun kemudian menimbulkan asap
telah “merampas” hak anak-anak untuk bermain. Dunia dan kemewahan
yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Tidak bisa digantikan
dengan waktu ke depan. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Baik
bermain game playstation maupun main layang-layangan, main sepeda
atau bermain sepakbola.
Asap
kemudian merampasnya. Tidak peduli siapapun. Kabut asap telah
“mengambil” waktu dunia anak-anak. Entah sampai kapan waktu
kembali untuk si dia. Namun yang pasti. Tidak ada satupun pemangku
negeri yang bersuara.
Tinggal
aku yang harus selalu meneriakkan. Dan semoga teriakkan ini tidak
berlalu dengan waktu.