02 September 2016

opini musri nauli : MOI MOI I MOLOKU


Kepulauan Maluku (didalamnya termasuk Maluku dan Maluku Utara selanjutnya disebut Kepulauan Maluku) merupakan jalur terjauh yang pernah ditempuh oleh “petualang dunia”. Sebagai “negeri impian”, cerita “pala” yang didengar para petualang Eropa dari petualang-petualang Timur membuat Eropa “bergantian” mendatangi Kepulauan Maluku.

Disebut Kepulauan Maluku terdiri dari Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Morotai, Pulau Halmahera, Pulau Moti, Pulau Bacan, Pulau Obi dan Pulau Sula.
Cerita tentang pala[1] membuat air liur “ngences” orang Eropa. Sekantung kecil penuh sudah bisa membuat orang berkecukupan seumur hidup, membeli rumah dengan beratap runcing di Holborn, lengkap dengan segala kebutuhannya.[2]. Bahkan di pasar gelap Eropa, “segenggam emas” rela ditukar dengan “sejumput pala”.

Kata Maluku berasal dari istilah ternate “Moloku”. Yang berarti “persatuan”. Moloku kemudian diartikan sebagai Moi moi I Moloku[3]. “Moi Moi I Moloku diartikan “Moloku Kie Raha” sebagai makna Persatuan 4 Gunung. Yaitu Gunung Ternate, Gunung Tidore, Gunung Moti dan Gunung Mahaean.

Namun menurut tutur di masyarakat, kata “Maluku” merupakan istilah yang diberikan oleh Belanda. Menurut masyarakat,  Ternate” mempunyai makna sebagai “Bicara diri”. Atau refleksi diri. Yang mengatur di Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Jailolo dipimpin oleh Jiko Makelano. Bacan dipimpin oleh Dehe Makolano. Tidore adalah Kei Makolano dan Ternate dipimpin oleh Alam Makolano.

Mereka meyakini “Fora Madiahi”. Orang yang diturunkan dari “langit” untuk “memperbaiki daerah”. Mereka kemudian mengenal “soa” sebagai pemukiman kampong yang terdiri dari Tabana, Tubo, Toboleu dan Tabanga. Setiap kampong dipimpin oleh Kei Malaha. “Kei Malaha” dipilih oleh rakyat dan kemudian disetujui oleh Sultan. Kepemimpinan “Kei Malaha” melekat dan memegang jabatannya seumur hidup. Kei Malaha harus dapat “menahan diri” dari berfoya-foya, menjaga kelakuan dan dapat menyelesaikan perselisihan di tengah masyarakat. Kei Malaha dibantu Fanyira Kapita.

Sedangkan Rusli Andi Patjo menyebutkan “Fora Madiahi” adalah desa yang berlokasi di gunung Gamala. Selain itu juga disebutkan Desa Tobona, Desa Foramadiahi, Desa Tubo dan Desa Tabanga[4]. Rusli Andi Patjo tidak memasukkan “toboleu” sebagai pemukiman tua sebagai sejarah keberadaan masyarakat. Gunung Gamalama adalah gunung yang terletak di Pulau Ternate.

Menurut Mudaffar Syah sebagai Sultan Ternate, dikenal “jou se ngofa ngare”. “Engkau penguasa dan aku rakyat”. “Apa yang ada pada engkau, ada pada aku dan sebaliknya apa yang ada padaku, ada juga pada engkau”.

Sebagai kampong tua, mereka mempunyai 30 Raja. Kemudian 10 Raja di Tolukko dan 9 Raja di Salero. Fora Madiahi kemudian dikenal sebagai Kelurahan di Ternate. Tolukko kemudian dikenal sebagai Benteng Tolukko. Sedangkan Salero kemudian dikenal sebagai Kesultanan Ternate yang masih berdiri dan kokoh sebagai “pusat kerajaan Ternate”.

Cerita Pala dan “Ternate” kemudian disebut jalur sutra (silk Road). Menurut catatan “de bijdragen tot de kennis der residentie Ternate, Leiden, 1890, sejak abad X telah ada perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Ternate. Bahkan Jung China pada masa Dinasti Tang telah mengadakan perdagangan cengkeh abad VII.

Cerita Pala dan Cengkeh yang membuat Portugis kemudian tiba tahun 1512. Namun cerita “culas” Portugis yang semula berdagang namun kemudian “menguasai” jalur perdagangan Pala membuat rakyat Ternate marah. Bahkan perlawanan semakin meningkat setelah Sultan Ternate terbunuh didalam benteng, perlawanan Sultan Babullah Daud Syah tahun 1576 membuat Portugis pergi[5]. Nama Sultan Babullah kemudian ditetapkan menjadi nama bandara di Ternate.

Kedatangan Belanda tahun 1607[6]. Namun ambisi VOC kemudian ingin menjajah “Oost Indie”. VOC kemudian melakukan “hongi tochten”, yaitu penebangan besar-besar cengkeh dan pala tahun 1634. Perdagangan lumpuh dan rakyat jatuh miskin.

Spanyol kemudian tidak mau kalah. Sejak tahun 1526-1565 telah diberangkatkan empat ekspedisi yaitu ekspedisi Loaysa, Ekspedisi Saavedra, Ekspedisi Villalobos dan Ekspedisi Legaspi[7].

Antara tahun 1590-1596, tidak kurang 33 kapal dagang dikirimi dari Lisboa. Namun hanya 8 yang kembali dengan tepat waktu, lima kapal terlambat satu tahun, empat kapal tertinggal di Asia dan 16 kapal karam atau rusak. Namun muatan kapal yang tersisa memberikan keuntungan yang melimpah.

Begitu juga pelayaran Magelhaes Spanyol, dari 5 kapal yang dikirimi dan hanya satu kapal yang kembali tapi bisa menutupi seluruh ekspedisi termasuk ongkos dan biaya 5 kapal yang dikirimi. Bahkan masih tersisa jumlah yang menggiurkan sebagai keuntungan bersih.[8] Portugis kemudian menguasai selama 63 tahun dan Spanyol selama 142 tahun.

Persaingan pedagang Bugis, Jawa, China, Arab dan Melayu dalam perdagangan rempah-rempah menguntungkan rakyat Maluku dan menambah kemakmuran. Namun kedatangan Portugis, Spanyol dan Belanda justru menghancurkan perdagangan pala.

Rempah-rempah Pulau Timur Indonesia adalah “kekayaan” yang diberikan Tuhan kepada rakyatnya. Namun kemudian “dihancurkan” oleh segelintir kekuasaan demi memenuhi hasrat Kerajaan di tanah Eropa. Indonesia tidak mau belajar dan mengulangi kesalahan yang sama. Sehingga rakyat di Ternate tidak “bisa lagi” menikmati kejayaan masa rempah-rempah.

Baca : Polaroon



[1] Myrista fragrants sebuah biji tumbuhan yang merupakan kemewahan paling diidamkan di Eropa abad XVII. Memilik khasiat rempah pengobatan yang begitu hebat sehingga orang mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya. Sebagai satu-satunya obat penawar untuk wabah yang menuluar yang ditandai dengan bersin dan diakhiri dengan kematian. Juga sebagai obat anti perut kembung dan demam biasa. Gilles Milton, Pulau Run, PT. Pustaka Alfabet, Jakarta, 2015.
[2] Pulau Run, Op.Cit. Hal. 8
[3] M. Shaleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya di Maluku – Perspektif Historiis dan Religio-Politik dalam “Menjadi Indonesia  - 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Mizan, 2006, Hal. 335
[4] Rusli Andi Atjo, Orang Ternate dan Kebudayaannya, Penerbit Cikoro Trirasuandar, Jakarta, 2009, Hal. 13
[5] Sartono Kartodihardjo, Pengantar Sejarah Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1987, Hal. 43
[6] Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesiaan Islam, Rodopi, Amsterdam, 1993, Hal. 60-61
[7] Adnan Akmal, Portugis dan Spanyol di Maluku, Komunitas Bambu, 2010, Hal. 252
[8] Adnan Akmal, Portugis dan Spanyol di Maluku, Komunitas Bambu, 2010, Hal. 350