Kepulauan
Maluku (didalamnya termasuk Maluku dan
Maluku Utara selanjutnya disebut Kepulauan Maluku) merupakan jalur terjauh
yang pernah ditempuh oleh “petualang
dunia”. Sebagai “negeri impian”,
cerita “pala” yang didengar para
petualang Eropa dari petualang-petualang Timur membuat Eropa “bergantian” mendatangi Kepulauan Maluku.
Disebut
Kepulauan Maluku terdiri dari Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Morotai, Pulau
Halmahera, Pulau Moti, Pulau Bacan, Pulau Obi dan Pulau Sula.
Cerita
tentang pala[1] membuat
air liur “ngences” orang Eropa.
Sekantung kecil penuh sudah bisa membuat orang berkecukupan seumur hidup,
membeli rumah dengan beratap runcing di Holborn, lengkap dengan segala
kebutuhannya.[2].
Bahkan di pasar gelap Eropa, “segenggam
emas” rela ditukar dengan “sejumput
pala”.
Kata
Maluku berasal dari istilah ternate “Moloku”.
Yang berarti “persatuan”. Moloku
kemudian diartikan sebagai Moi moi I
Moloku”[3]. “Moi Moi I Moloku diartikan “Moloku Kie Raha” sebagai makna Persatuan
4 Gunung. Yaitu Gunung Ternate, Gunung Tidore, Gunung Moti dan Gunung Mahaean.
Namun
menurut tutur di masyarakat, kata “Maluku”
merupakan istilah yang diberikan oleh Belanda. Menurut masyarakat, “Ternate”
mempunyai makna sebagai “Bicara diri”.
Atau refleksi diri. Yang mengatur di
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Jailolo dipimpin oleh Jiko Makelano. Bacan
dipimpin oleh Dehe Makolano. Tidore adalah Kei Makolano dan Ternate dipimpin
oleh Alam Makolano.
Mereka
meyakini “Fora Madiahi”. Orang yang
diturunkan dari “langit” untuk “memperbaiki daerah”. Mereka kemudian
mengenal “soa” sebagai pemukiman
kampong yang terdiri dari Tabana, Tubo, Toboleu dan Tabanga. Setiap kampong
dipimpin oleh Kei Malaha. “Kei Malaha”
dipilih oleh rakyat dan kemudian disetujui oleh Sultan. Kepemimpinan “Kei Malaha” melekat dan memegang
jabatannya seumur hidup. Kei Malaha harus dapat “menahan diri” dari berfoya-foya, menjaga kelakuan dan dapat
menyelesaikan perselisihan di tengah masyarakat. Kei Malaha dibantu Fanyira
Kapita.
Sedangkan
Rusli Andi Patjo menyebutkan “Fora
Madiahi” adalah desa yang berlokasi di gunung Gamala. Selain itu juga
disebutkan Desa Tobona, Desa Foramadiahi, Desa Tubo dan Desa Tabanga[4].
Rusli Andi Patjo tidak memasukkan “toboleu”
sebagai pemukiman tua sebagai sejarah keberadaan masyarakat. Gunung Gamalama
adalah gunung yang terletak di Pulau Ternate.
Menurut
Mudaffar Syah sebagai Sultan Ternate, dikenal “jou se ngofa ngare”. “Engkau
penguasa dan aku rakyat”. “Apa yang
ada pada engkau, ada pada aku dan sebaliknya apa yang ada padaku, ada juga pada
engkau”.
Sebagai
kampong tua, mereka mempunyai 30 Raja. Kemudian 10 Raja di Tolukko dan 9 Raja
di Salero. Fora Madiahi kemudian
dikenal sebagai Kelurahan di Ternate. Tolukko kemudian dikenal sebagai Benteng
Tolukko. Sedangkan Salero kemudian dikenal sebagai Kesultanan Ternate yang
masih berdiri dan kokoh sebagai “pusat
kerajaan Ternate”.
Cerita
Pala dan “Ternate” kemudian disebut jalur sutra (silk Road). Menurut catatan
“de bijdragen tot de kennis der
residentie Ternate, Leiden, 1890, sejak abad X telah ada perdagangan
rempah-rempah dari kepulauan Ternate. Bahkan Jung China pada masa Dinasti Tang
telah mengadakan perdagangan cengkeh abad VII.
Cerita
Pala dan Cengkeh yang membuat Portugis kemudian tiba tahun 1512. Namun cerita
“culas” Portugis yang semula berdagang namun kemudian “menguasai” jalur
perdagangan Pala membuat rakyat Ternate marah. Bahkan perlawanan semakin
meningkat setelah Sultan Ternate terbunuh didalam benteng, perlawanan Sultan
Babullah Daud Syah tahun 1576 membuat Portugis pergi[5].
Nama Sultan Babullah kemudian ditetapkan menjadi nama bandara di Ternate.
Kedatangan
Belanda tahun 1607[6].
Namun ambisi VOC kemudian ingin menjajah “Oost Indie”. VOC kemudian melakukan
“hongi tochten”, yaitu penebangan besar-besar cengkeh dan pala tahun 1634. Perdagangan
lumpuh dan rakyat jatuh miskin.
Spanyol
kemudian tidak mau kalah. Sejak tahun 1526-1565 telah diberangkatkan empat
ekspedisi yaitu ekspedisi Loaysa, Ekspedisi Saavedra, Ekspedisi Villalobos dan
Ekspedisi Legaspi[7].
Antara
tahun 1590-1596, tidak kurang 33 kapal dagang dikirimi dari Lisboa. Namun hanya
8 yang kembali dengan tepat waktu, lima kapal terlambat satu tahun, empat kapal
tertinggal di Asia dan 16 kapal karam atau rusak. Namun muatan kapal yang
tersisa memberikan keuntungan yang melimpah.
Begitu
juga pelayaran Magelhaes Spanyol, dari 5 kapal yang dikirimi dan hanya satu
kapal yang kembali tapi bisa menutupi seluruh ekspedisi termasuk ongkos dan
biaya 5 kapal yang dikirimi. Bahkan masih tersisa jumlah yang menggiurkan
sebagai keuntungan bersih.[8]
Portugis kemudian menguasai selama 63 tahun dan Spanyol selama 142 tahun.
Persaingan
pedagang Bugis, Jawa, China, Arab dan Melayu dalam perdagangan rempah-rempah
menguntungkan rakyat Maluku dan menambah kemakmuran. Namun kedatangan Portugis,
Spanyol dan Belanda justru menghancurkan perdagangan pala.
Rempah-rempah
Pulau Timur Indonesia adalah “kekayaan” yang diberikan Tuhan kepada rakyatnya.
Namun kemudian “dihancurkan” oleh segelintir kekuasaan demi memenuhi hasrat
Kerajaan di tanah Eropa. Indonesia tidak mau belajar dan mengulangi kesalahan
yang sama. Sehingga rakyat di Ternate tidak “bisa lagi” menikmati kejayaan masa
rempah-rempah.
Baca : Polaroon
[1] Myrista
fragrants sebuah biji tumbuhan yang merupakan kemewahan paling diidamkan di
Eropa abad XVII. Memilik khasiat rempah pengobatan yang begitu hebat sehingga
orang mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya. Sebagai satu-satunya obat
penawar untuk wabah yang menuluar yang ditandai dengan bersin dan diakhiri
dengan kematian. Juga sebagai obat anti perut kembung dan demam biasa. Gilles
Milton, Pulau Run, PT. Pustaka Alfabet, Jakarta, 2015.
[2] Pulau Run, Op.Cit. Hal. 8
[3] M. Shaleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya di
Maluku – Perspektif Historiis dan Religio-Politik dalam “Menjadi Indonesia - 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara,
Mizan, 2006, Hal. 335
[4] Rusli Andi Atjo, Orang Ternate dan Kebudayaannya,
Penerbit Cikoro Trirasuandar, Jakarta, 2009, Hal. 13
[5] Sartono Kartodihardjo, Pengantar Sejarah Indonesia,
Gramedia, Jakarta, 1987, Hal. 43
[6] Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesiaan
Islam, Rodopi, Amsterdam, 1993, Hal. 60-61
[7] Adnan Akmal, Portugis dan Spanyol di Maluku,
Komunitas Bambu, 2010, Hal. 252
[8] Adnan Akmal, Portugis dan Spanyol di Maluku,
Komunitas Bambu, 2010, Hal. 350