“Polaroon” demikian disebut Nathaniel
Courthope, komandan dua Kapal, Swan dan Defence, 23 Desember 1616 m[1].
Courthope kemudian dikenal sebagai “pejuang” yang mempertahankan Pulau Rum dari
serangan Belanda. Kisah “heroic” ini kemudian membuat Inggeris dan Belanda
sepakat menukar “Polaroon” dengan Manhattan di Negara bagian Amerika.
Polaroon”
atau “Pulau Run” atau “Pulau Rum” adalah “ambisi Kerajaan Eropa awal Abad XVI.
Kedatangan Portugis tahun 1512 m yang membawa “cerita” pala dapat digunakan sebagai
obat yang menewaskan 38 ribu orang di London awal abad XVI.
Pertarungan
Portugis, Spanyol, Inggeris dan terakhir Belanda membuat “pala” lebih dicari
dari “emas” di Hindia Belanda. Dengan “sejumput” pala rela ditukar “segenggam
emas” di pasar gelap Eropa, membuat Kerajaan Portugis, Spanyol kemudian
Inggeris dan Belanda “mempersiapkan kongsi dagang untuk menjelajahi Timur
Indonesia.
Dengan
khasiat “pala” yang membuat harga membumbung di Eropa, persiapan “jalur” sutra
rempah-rempah menjadi impian dan mengembalikan kejayaan Eropa setelah perang
panjang memasuki awal abad XVI.
Namun
cerita “pala” di tengah daratan Eropa kemudian tenggelam dengan hiruk-pikuk
peradaban.
Dengan
mengusung “khasiat” Pala, Polaroom menjadi tarik menarik dan cerita pelayaran
paling mengerikan dalam sejarah maritime Eropa. Cerita Pala kemudian “memasuki”
masa suram dan menjadi sebuah titik dari peta-peta dunia.
Dengan
menggunakan “feri” Pelni menyeberang dari Ternata selama 20 menit, cerita Pala
kemudian “sepi” dari Pelabuhan penyeberangan Rum-Tidore. Secara sekilas tidak
pernah tersisa dari “pelabuhan” paling diimpikan bangsa Eropa.
Pelabuhan
kecil dan sepi dari “Rum-Tidore” hanya menyisakan “rasa” tidak berbekas.
Tidore
“ketinggalan” gemerlap dari Ternate yang sudah “mempersiapkan” sebagai kota
pelabuhan. Pelabuhan Ternate melayani rute kapal menuju ke pulau-pulau
sekitarnya seperti Halmahare, Bacan, Morotai, Ambon, Bitung dan Manado. Namun pelabuhan
Rum cuma “sekedar” tempat perlintasan yang luput dari sejarah peradaban. Berbeda
dengan Ternate yang “mempersiapkan” pelabuhan sebagai “central” untuk menuju
berbagai pulau-pulau yang dapat dilayari dengan rute yang rutin setiap hari.
Dengan
“keisolasian”, Pelabuhan Rum-Tidore, praktis aktivitas masyarakat menjadi
daerah sunyi di malam hari. Bahkan sarana pendukung seperti penginapan “tidak
mendukung” sebagai sector pariwisata.
Namun
di tengah “kesunyikan” peradaban pala dan cengkeh, sebuah perkampungan yang
beranjak naik bukit setelah menyusuri laut Maluku selama 30 menit, terdapat
perkampungan “Kalaodi”. Sebuah peradaban yang kemudian mengajarkan “makna”
hutan.
Menurut
tutur masyarakat, “Kalaodi” berarti “orang
yang punya amanat”. Seorang “titisan
dari langit” yang menjalankan tugas untuk “membenahi negeri”. Makna ini serupa dengan “Fora Madiahi”. Fora Madiahi adalah perkampungan tua di Ternate.
Dola
mempunyai arti “jalan potong, Kampung Dola kemudian disebut “jalan potong”
karena membelah jalur yang menuju ke Kampung Dola. Kola merupakan “selempang”
yang terdapat pakaian adat. Kola masuk ke Kalaodi kemudian menjadi bagian dari
Kalaodi. Sedangkan Galili disebut sebagai “pelindung”. Sebagai “pelindung”
Galili kemudian dikenal sebagai “sumber mata air” yang menjaga air untuk satu
kepulauan Tidore[2].
Sedangkan “Suom” merupakan nama pohon yang terdapat di Suom. Pohon ini adalah
satu-satunya yang hidup dan terdapat di Suom.
Kalaodi
merupakan “soa”. Soa setingkat Desa. Kalaodi terdiri dari Dola, Kola, Golili
dan Suom.
Kalaodi
berbatasan dengan Dola, Kola, Golili dan Suom. Dengan Kola berbatasan alam yang
ditandai dengan “Kali dilang”. Dola dengan Galili ditandai dengan Kali Dutu.
Dan Galili dengan Suom ditandai dengan Gunung. Kesemuanya berbatasan dengan
tanda-tanda masih dapat dilihat hingga sekarang.
Sedangkan
batas Kalaodi dengan desa-desa sekitarnya yaitu dengan Desa Gurabunga yang
ditandai dengan Kalo Fura. Dengan Desa Jaya yang ditandai dengan Kali Ake oti.
Dengan Desa Fobaharu yang ditandai dengan Sungai Ake Oti. Desa Talaga ditandai
dengan jurang yang disebut “muso bulo” dan jurang “luku celeng”. Dan Desa Duora
yang ditandai dengan “kali Ake dolah”
Kalaodi
“dikenal” sebagai masyarakat yang menanama Pala dan Cengkeh. Bahkan “peradaban” menanam Pala dan Cengkeh inilah
yang kemudian dituliskan oleh Kapten Swan, Nathaniel Courthope “Pulau itu sudah bisa tercium sebelum
terlihat. Dari jarak sepuluh mili lebih ke laut, suatu aroma menggelayut dan
jauh sebelum Gunung mirip topi pemain kriket terlihat di cakrawala, Anda tahu
sedang mendekati daratan”
Dahulu,
Soa Kalaodi dipimpin seorang pemangku yang kemudian disebut “Himo-himo”. Himo-himo terpisah dari Kerajaan Tidore. Kalaodi kemudian menjadi
Kelurahan Kalaodi dan termasuk kedalam Kota Tidore.
Didalam
mengatur pengelolaan hutan, masyarakat Kalaodi menata hutan dengan “melarang membuka
hutan bamboo”. Hutan Bambu tidak boleh dibuka berfungi sebagai penyangga
menjaga asupan air. Hutan bamboo sebagai “penyangga asupan” air Kepulauan
Tidore sehingga Kepulauan Tidore mempunyai “cadangan” air tanah. Bambu juga
ditanami daerah-daerah curam, jurang dan terjal.
Cerita
ini begitu hidup sehingga “kekuatan masyarakat” menjaga hutan bamboo selain
sebagai penyangga air maka memberikan “rasa aman” ketersediaan air untuk
Kepulauan Tidore.
Bambu
boleh digunakan untuk segala kebutuhan seperti membangun rumah, kebutuhan
teknologi di kampong. Namun hutan bamboo tidak boleh dibuka untuk ditanami pala
atau cengkeh. Begitu juga makam-makam keramat yang merupakan “puyang” dari
masyarakat Kalaodi.
Selain
itu tidak dibenarkan untuk menebang pohon durian, tanaman pala dan cengkeh.
Pala dan cengkeh yang mati akan digantikan dengan bibit yang baru. Setiap
pelanggaran, maka diharuskan menanam kembali. Pelanggaran ini disebut “”bobato”.
Dalam ujaran disebut “Hutu mongolo Some
sagarunga mangan. Iso To Mabanga. Soho sejaras Mangan’. Kelaut dimakan
Buaya. Ke darat dimakan Gunung.
Nilai
ini juga dikenal dalam Seloko Jambi “Plali”.
“Bebapak pada harimau. Berinduk pada
Gajah. Berkambing pada Kijang. Berayam pada Kuawo”. Atau “begantung idak betali”.
Dalam
pengaturan hutan adat, maka masyarakat kemudian mengenal Hutan Kampung, hutan
Pemuda dan hutan masjid. Setiap kampong didalam Kelurahan Kalaodi kemudian
mengenal sistem pembagian.
Selain
itu juga disiapkan areal pertanian yang mencukupi untuk kebutuhan di kampong.
Setiap
orang kemudian menanam pala atau Cengkeh. Sedangkan Hutan Pemuda adalah hasil
dari hutan pemuda digunakan untuk kebutuhan pemuda seperti kegiatan kepemudaan.
Sedangkan hasil hutan masjid digunakan untuk pembangunan dan pembiayaan untuk masjid.
Hubungan
antara masyarakat dengan tanaman tidak berkaitan dengan tanah. Masyarakat
mempunyai hak terhadap “tanaman tumbuh” dan
tidka mempunyai hak kepemilikan terhadap tanahnya. Selama “tanaman tumbuh”
masih menghasilkan “maka pemilik tanaman” berhak untuk menikmati hasil.
Apabila
“tanaman tumbuh” tidak dirawat dan
tidak menghasilkan, maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hilang.
Masyarakat
kemudian dibenarkan menanam pala atau cengkeh di “sela-sela” tanaman durian
ataupun tanah yang masih kosong.
Sehingga
tidak salah kemudian, di antara tanaman durian, tanaman pala ataupun tanaman
cengkeh dengan kepemilikan “tanaman tumbuh” yang berbeda-beda. Namun masyarakat
Kalaodi mengenal “siapa” pemilik tanaman tumbuh.
Dengan
demikian, apabila pemilik “tanaman tumbuh” kemudian meninggalkan kampong halaman,
maka “hak” terhadap tanah tidak melekat kepada pemilik tanaman tumbuh. Tidak
ada kepemilikan terhadap tanah. Di Jambi dikenal seloko “harta berat ditinggalkan. Harta ringan dibawah”.
Masyarakat
mengenal tradisi “Pacagoya’. Pacagoya bermakna Rasa hormat kepada Raja. Tradisi
ini diadakan setelah panen padi. Selama 3 hari berturut-turut tidak ada
aktivitas dan merayakan panen padi sebagai bentuk rasa syukur.
Mereka
juga mengenal tradisi “Bebahi”. Bebahi biasa dikenal sebagai gotong royong
dalam menyelesaikan pekerjaan di kampong.
Setiap
“malam jumat” diadakan rapat untuk membahas permasalahan di Soa. Dengan
diadakan setiap “malam jumat” berbagai masalah dapat diselesaikan. Dan masalah
menjadi tidak berlarut-larut dan dicari jalan penyelesaiannya. Tradisi ini
masih berlangsung dan rutin dilakukan.
Dengan
menjaga tradisi, menghormati dan mengatur hutan, menanam “pala dan cengkeh”,
masyarakat Kalaodi “menjaga peradaban” sejak 600 tahun yang lalu. Peradaban
yang dibincangkan oleh Kerajaan Eropa dan tetap dirawat di tengah kemajuan
zaman.
Baca : Moi Moi Moloku dan Jailolo yang Mulai Bersolek