Persidangan
pidana terhadap kematina Mirna yang kemudian “menyeret” JW, menarik perhatian
berbagai kalangan. Persidangan yang memakan waktu panjang, melihat sudut
pembuktian, kepiawaian para pihak membuat sidang ditunggu masyarakat menonton
secara “live”. Berita ini kemudian “menenggalamkan” peristiwa persiapan PON, kasus “tertipunya”
calon Jemaah Haji di Philipina. Siaran live kemudian ditunggu untuk melihat
“siapa sesungguhnya” pembunuh Mirna
Diibaratkan
pertandingan, serangan yang kemudian “mengarah” kepada Jessica “cukup piawai”
dimainkan kubu Jessica. Serangan bertubi-tubi dimulai dari kesaksian pegawai
kafe, ahli forensic, ahli racun, ahli digital namun dengan cerdik “dimainkan”
oleh kubu Jessica. Secara kasat mata, kemudian “panggung” yang dimainkan jaksa
justru sering “diklik” serangan balik dari kubu Jessica.
Tanpa
memasuki ranah pembuktian, yang sering dilupakan oleh masyarakat adalah
“penguasaan materi” yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Dengan “segebrek”
barang bukti, jaksa penuntut umum mempunyai kesempatan besar untuk
“mendakwakan” dan membuktikan kesalahan dari Jessica.
Jaksa
penuntut umum “mendapatkan kesempatan besar “mengawal” proses di tingkat
penyidikan dan mengetahui proses sehingga kemudian Jessica dihadirkan di
persidangan.
Namun
kesempatan ini kemudian “gagap” dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Peran Jaksa
penuntut umum yang melakukan “serangan” namun kurang menguasai substansi
sehingga “serangan” kemudian membenturkan tembok.
Dalam
pertandingan sepakbola modern, peran Jaksa penuntut Umum persis dilakonkan oleh
Lionel Messi. Mampu menyihir penonton dengan aksi-aksi individualnya. Dengan
“drible” bola “meliuk” kesana kemari, Lionel Messi sering kemudian dihadiahkan
sebagai pemain terbaik dunia.
Namun
Messi lupa. Tim yang dihadapinya adalah Tim Panser. Dengan kekuatan tim,
“dribble” bola dari Messi cuma enak ditonton. Tapi sepi dari gol.
Masih
ingat Piala Dunia tahun 2010 ketika Jerman “membantai” Argentina. Dengan
membawa bekal sebagai pemain terbaik dunia, Messi tidak berdaya melihat
gawangnya kemasukkan 4 gol tanpa balas.
Dunia
kemudian terhenyak. Bagaimana mungkin tim sekelas Argentina “bisa dibantai” tim
panser yang bermain bola “menjemukkan”. Gaya permainan Jerman benar-benar “textbook”.
Sangat sistematis. Mengawal bola dari bek-bek kemudian membawa bola perlahan
demi perlahan namun terus menuju ke gawang Argentina.
Messi
kemudian menangis dan lagu “Don’t Cry for me Argentina” tidak mampu meluluhkan
hati Messi. Jerman kemudian menjadi Juara dunia.
Begitu
pula kita melihat persidangan. Dengan “bekal” informasi yang kuat dari Jaksa,
Jaksa bisa memainkan panggung persidangan dan menjadi milik Jaksa. Namun saya
kemudian melihatnya berbeda.
Menghadapi
“Otto” sebagai “kapten pertandingan, serangan dari Jaksa sering “tersedak” dan
tidak mampu menuai gol. Otto dengan “Tenang” meladeni pertarungan persidangan
namun kemudian “mementahkan” berbagai kesaksian dengan rinci.
“Otto”
begitu menguasai istilah-istilah medis, istilah kimia bahkan menguasai teknik
otopsi dan berbagai metode pengungkapan kasus dari sudut pandang kedokteran.
“Otto” begitu “piawai sehingga “gelanggang” menjadi milik Jessica.
Banyak
yang lupa dengan peran advokat. Berbeda dengan jaksa penuntut Umum, Advokat
dimulai dari dilantik hingga meninggal dunia, selalu bersidang. Kemampuan
bersidang adalah keterampilan yang terus menerus diasah. Teknik “membungkam”
saksi, mencecar saksi, menjebak saksi, membongkar kesaksian bohong hingga
“membalikkan” keadaan adalah keterampilan yang terus menerus diasah. Tentu saja
teknik-teknik merupakan keterampilan yang tidak didapatkan dari jam terbang
yang rendah.
Berbeda
dengan Jaksa penuntut umum. Hampir sulit kita menemukan Kajari atau Kajati yang
bersidang di pengadilan. Begitu memegang jabatan posisi kunci, praktis sudah
tersita dengan urusan administrasi kantor. Sehingga dengan jenjang karier
seperti itu, dalam perkara-perkara yang sulit, Jaksa yang menanganinya kemudian
sering “gagap” dan “kurang menguasai” materi. Sehingga sering menjadi mentah
dan tidak berhasil memainkan beban pembuktian.
Selain
itu juga, advokat yang baik juga belajar ilmu-ilmu diluar ilmu hukum. Dalam
perkara korupsi, advokat harus menguasai “alur lelang”, spesifikasi barang
hingga mutu barang.
Begitu
juga dalam perkara pidana lain seperti kejahatan anak, selain menguasai
norma-norma hukum tentang kejahtan anak, penguasaan materi tentang psikologi,
suasana keterangan saksi hingga keterampilan membongkar saksi.
Itu
dipengaruhi jam terbang dan persidangan konsisten terus menerus.
“Suasana”
ini bisa dilihat dari film-film “Law and order” atau di novel fiksi John
Grisham.
Ketika
memberikan layanan jasa bantuan hukum, sang advokat “sering” menggali informasi
penting diluar perkara yang ditangani.
Lihatlah.
Bagaimana seorang advokat yang “semula” menerima kasus “pembunuhan” tunawisma
namun berhasil membongkar “niat jahat” Dewan Kota yang hendak menggusur gedung
yang hendak dirobohkan dan dibangun gedung modern. Kisah ini dapat kita lihat
didalam novel John Grisham.
Atau
masih ingat ketika seorang advokat “idealis” yang menerima “perkara” tuduhan
pembunuhan terhadap seorang tunasusila. Perkara yang diterimanya setelah
advokat “sekota” tidak mau menerimanya. Selain memalukan, korban adalah
“seorang” pejabat penting di kota.
Namun
dengan ketekunan dan kesabaran, sang advokat berhasil “membuktikan” bukan dia
sebagai pelaku. Kisah-kisah ini dapat kita saksikan didalam film “law and
order”.
Dari
cerita diatas, maka kesempatan bagi kita untuk melakukan “kritik” terhadap
kemampuan jaksa didalam persidangan.
Apapun
putusan terhadap “Jessica”, terhadap perkara-perkara pelik, perkara yang
menarik perhatian public, perkara yang memerlukan “ketelitian” tinggi,
dibutuhkan jaksa “senior” yang jam terbangnya harus mumpuni. Menghadapi “gaya”
bertahan dari seorang “Otto” memang dibutuhkan jaksa yang mampu memainkan “persidangan”
sehingga Hakim kemudian yakin dengan dakwaan Jaksa penuntut umum.
Selamat
menonton.