18 Maret 2017

opini musri nauli : BAHASA ORANG



Dalam pergumulan dan berinteraksi dengan berbagai kalangan, saya kemudian menemukan relasi dan interaksi antara berbagai pihak didalam merumuskan suatu tema. Saya kemudian memberikan istilah “Bahasa orang” sebagai perwujudan menjelaskan gagasan kepada orang lain.

Untuk memahami gagasan selain menyampaikan gagasan dengan bahasa yang mudah dimengerti, berbagai pemikiran dari sang pendengar juga diperhatikan. Atau dengan kata lain untuk memudahkan gagasan yang disampaikan, alangkah baiknya kita menjelaskan dengan pemikiran dari sang pendengar. Itulah hakekat dari makna “bahasa orang”.

Misalnya tentang Peta. Peta adalah gambaran atau representasi unsur-unsur ketampakkan abstrak yang dipilih dari permukaan bumi yang ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa yang digambarkan suatu bidang datar dan dapat diperkecil/diskalakan (International Cartographic Association).

Sedangkan definisi peta menurut Badan Koordinasi Survei dan pemetaan nasional (Bakorsurtanal 205) disebutkan “Peta merupakan wahana bagi penyimpanan dan penyajian data kondisi lingkungan, merupakan sumber informasi bagi para perencana dan pengambilan keputusan pada tahapan dan tingkatan pembangunan.

Definisi ini terasa asing bagi masyarakat kebanyakan. Apalagi masyarakat yang berada jauh dari perkotaan. Namun apakah masyarakat tidak mengenal wilayahnya ?

Nah. Disini problema muncul. Masyarakat mempunyai pengetahuan tentang kewilayahan. Masyarakat mampu bertutur dengan baik, runut, jelas tentang kewilayahan.

Dalam interaksi mengenai kewilayahan kemudian ditandai dengan symbol-simbol alam. Di Jambi, tentang kewilayahan biasa dikenal dengan tembo. Tembo adalah cerita yang diwariskan, turun menurun tentang keberadaan masyarakat termasuk wilayah masyarakat itu sendiri.

Untuk memetakan wilayah masyarakata (Tembo), kewilayahan kemudian ditandai dengan symbol-simbol ataupun tanda-tanda alam. Maka gunung, lembah, rantau, teluk, lubuk, renah, napal, muara, sungai, bukit, pematang, pohon, tanah sebagai batas/tanda sebagai kewilayahan.

Dari penyebutan tanda-tanda, masyarakat memastikan kewilayahan dan saling menghormati antara satu batas dengan batas lain.

Maka kata seperti “melayang”, “melarung”, “ke”, dari” adalah kata memulai penyebutan kewilayahan. “Melayang” yang kemudian diikuti dengna kata sungai sehingga makna “melayang sungai” diartikan sebagai menyeberang sungai. Sedangkan kata “dari” diartikan sebagai memulai penyebutan wilayah. Begitu juga ke diartikan sebagai menuju.

Lihatlah Tembo Desa Tanjung Alam yang berikrar sebagai Keturunan Depati Duo Menggalo. Depati Duo Menggalo adalah pemimpin masa Pamuncak dan zaman Marga di Dusun Tanjung Alam.

Dalam sejarah Marga, Dusun Tanjung Alam termasuk kedalam dusun tuo didalam Marga Sungai Tenang. Sungai Tenang kemudian menjadi salah satu nama kecamatan dan kemudian berubah menjadi Kecamatan Jangkat Timur.

Tutur di Marga Sungai Tenang, Dusun Tanjung Alam dikenal sebagai “Tanah irung. Tanah gunting”. Tanah irung, Tanah gunting” kemudian diartikan sebagai “mengirung dan menggunting tanah koto 10. Sehingga masyarakat dari Dusun Tanjung Alam yang kemudian diberikan tanahnya oleh Koto 10 kemudian dikenal “Belalang Pungguk Sembilan padang koto 10”.

Istilah ini juga dikenal di Dusun Tanjung Mudo. Belalang pungguk 6, padang koto 10”.

Tembo tanah irung kemudian dilukiskan “muara sungai titian teras di sungai Sirih, peraduan limau keling, terus ke tanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muara sungai matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih”.

Membaca tembo yang disampaikan bertutur kemudian dipahami sebagai “ke” diartikan “Menuju”, terus diartikan sebagai “perjalanan menyusuri”, laju” dilanjutkan, “mudik” diartikan sebagai “kembali” atau “melihat” alur sungai sirih di hulu.

Dengan tembo, kewilayahan Dusun Tanjung Alam menjadi jelas dan seluruh dusun tuo didalam Marga Sungai Tenang mengetahui dan menghormati.

Lalu apakah garis “imajiner” yang disampaikan secara bertutur akan mudah dimengeri ?

Dengan sedikit pengenalan seperti GPS, maka garis imajiner kemudian dituangkan berupa sketsa. Dengan sketsa kemudian dipindahkan yang biasa dikenal dengan peta. Dan dengan peta yang disusun bersama-sama dengan masyarakat, maka peta kemudian dijadikan memahami wilayah. Baik oleh masyarakat itu sendiri maupun orang lain. Maka saya kemudian menyebut peta dengan kalimat “bahasa orang”.

Begitu juga definisi “konservasi” sumber daya alam sebagaimana didalam pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1990. “Pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”.

Masyarakat di Batang Asai mengenal daerah-daerah yang dihormati seperti “Teluk sakti, rantau betuah, gunung bedewo” sebagai tempat yang dihormati dan dilarang untuk dibuka.

Apabila wilayah disebutkan dan dikonversi kedalam peta, maka daerah yang disebutkan termasuk kedalam hutan konservasi yang tutupan hutannya masih baik, mempunyai kemiringan hingga 45 derajat – 90 derajat.  

Sedangkan di Merangin dikenal “Rimbo sunyi” yang ditandai dengan “siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.

Kalimat “siamang berung putih, tempat ungko berebut tangis” kemudian diartikan hutan yang suaranya ditandai dengan “teriakan siamang, ungko”, maka hutan dihormati dan tidak boleh dibuka.

Siamang (symphalangus syndactylus)  dan ungko (hylobates agilis) kemudian dimasukkan kedalam daftar IUCN Red list dan dikategorikan hewan yang terancam punah (critically endangered).

Selain itu juga dikenal dengan istilah “rimbo puyang”, rimbo keramat”, hutan keramat dan penamaan lain yang masih menghormati sebagai hutan yang tidak boleh dibuka.

Apabila wilayah disebutkan dan dikonversi kedalam peta, maka daerah yang disebutkan termasuk kedalam hutan konservasi yang tutupan hutannya masih baik, mempunyai kemiringan hingga 45 derajat – 90 derajat. 

Ajaran dilarang membuka kepala sauk (hulu sungai) juga terdapat didalam “pantang larang”. Larangan ini kemudian diatur didalam Pasal 50 ayat (3) huruf c UU No. 41 Tahun 1999 “setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 100 meter dari kiri-kana tepi sungai.

Pantang larang juga berlaku untuk membunuh harimau, menebang pohon seperti “durian, petai, jengkol, duku”.

Bahkan didalam masyarakat, penghormatan terhadap “sialang” ditandai dengan “Sialang pendulangan”. Sialang pendulangan adalah pohon yang terdapat lebah, maka tidak hanya pohon yang dilarang untuk ditebang. Tapi areal yang terdapat sialang tidak dibenarkan untuk dibuka. Arealnya lebih kurang 300 meter persegi.

Di Dusun Pemayungan dikenal larangan sangat ketat terhadap pohon sialang. Sanksi kepada pelanggaran sialang ditandai dengan (1) Membuka pebalaian, (2) menebang/merusak dan membuka pebalaian, (3) mencuri sialang.

Terhadap pelanggaran kemudian dijatuhi sanksi.  Membuka pebalaian maka kemudian dijatuhi sanksi “Kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada Desa. Sedangkan Menebang/merusak dan membuka pebalaian dijatuhi sanksi “Kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, dan selemak semanis selemas semanis seasam segaram. Dan Mencuri  Sialang dijatuhi “Kambing sekok, beras 20 gantang, kelapa 20 butir, dan selemak semanis selemas semanis seasam segaram.

Masyarakat juga mengenal tanda/sign terhadap batas-batas tanah yang ditandai dengan “mentaro’, lambas, tunggul pemarasan, “sak sangkut”, “takuk”, “tanah sesap”, “jerami tinggi/jerami rendah”. Baik dengan menanami pohon jenis tertentu hingga membuat takuk (tanda) pohon sebagai batas tanah satu dengan batas tanah yang lain.

Ketentuan ini dapat dilihat didalam berbagai peraturan seperti penetapan dan pemasangan tanda-tanda batas bidang tanah yang diatur dalam pasal 17 – 19 PP 24/1997 dan mendapat pengaturan lebih lanjut dan rinci dalam pasal 19 – 23 Peraturan Mentri 3/1997.

Melihat pengaturan yang telah diatur masyarakat maka terhadap model, cara maupun pengetahuan yang dilakukan masyarakat akan mudah dipahami dengan bahasa orang. Sehingga dengan menggunakan bahasa orang, pengetahun yang telah dilakukan masyarakat kemudian mudah dimengerti, dipahami bahkan menjadi pengetahuan bagi pihak diluar masyarakat.

Alangkah baiknya apabila cara ini kita balik.

Setiap pengaturan yang telah ditetapkan oleh Negara harus merujuk berdasarkan cara, model maupun pengetahuan yang berangkat dari masyarakat.

Sehingga hukum kemudian mencapai kepastian dan roh keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat. Dan hukum kemudian menjadi jiwa rakyat Indonesia (volkgeist) sebagaimana disampaikan oleh van Savigny.