Dalam
pergumulan dan berinteraksi dengan berbagai kalangan, saya kemudian menemukan
relasi dan interaksi antara berbagai pihak didalam merumuskan suatu tema. Saya
kemudian memberikan istilah “Bahasa orang” sebagai perwujudan menjelaskan gagasan
kepada orang lain.
Untuk memahami
gagasan selain menyampaikan gagasan dengan bahasa yang mudah dimengerti,
berbagai pemikiran dari sang pendengar juga diperhatikan. Atau dengan kata lain
untuk memudahkan gagasan yang disampaikan, alangkah baiknya kita menjelaskan
dengan pemikiran dari sang pendengar. Itulah hakekat dari makna “bahasa orang”.
Misalnya
tentang Peta. Peta adalah gambaran atau representasi unsur-unsur ketampakkan
abstrak yang dipilih dari permukaan bumi yang ada kaitannya dengan permukaan
bumi atau benda-benda angkasa yang digambarkan suatu bidang datar dan dapat
diperkecil/diskalakan (International
Cartographic Association).
Sedangkan
definisi peta menurut Badan Koordinasi Survei dan pemetaan nasional
(Bakorsurtanal 205) disebutkan “Peta merupakan wahana bagi penyimpanan dan
penyajian data kondisi lingkungan, merupakan sumber informasi bagi para
perencana dan pengambilan keputusan pada tahapan dan tingkatan pembangunan.
Definisi ini
terasa asing bagi masyarakat kebanyakan. Apalagi masyarakat yang berada jauh
dari perkotaan. Namun apakah masyarakat tidak mengenal wilayahnya ?
Nah. Disini
problema muncul. Masyarakat mempunyai pengetahuan tentang kewilayahan.
Masyarakat mampu bertutur dengan baik, runut, jelas tentang kewilayahan.
Dalam interaksi
mengenai kewilayahan kemudian ditandai dengan symbol-simbol alam. Di Jambi,
tentang kewilayahan biasa dikenal dengan tembo. Tembo adalah cerita yang
diwariskan, turun menurun tentang keberadaan masyarakat termasuk wilayah
masyarakat itu sendiri.
Untuk memetakan
wilayah masyarakata (Tembo), kewilayahan kemudian ditandai dengan symbol-simbol
ataupun tanda-tanda alam. Maka gunung, lembah,
rantau, teluk, lubuk, renah, napal, muara, sungai, bukit, pematang, pohon,
tanah sebagai batas/tanda sebagai kewilayahan.
Dari penyebutan
tanda-tanda, masyarakat memastikan kewilayahan dan saling menghormati antara
satu batas dengan batas lain.
Maka kata
seperti “melayang”, “melarung”, “ke”, dari” adalah kata
memulai penyebutan kewilayahan. “Melayang”
yang kemudian diikuti dengna kata sungai sehingga makna “melayang sungai” diartikan sebagai menyeberang sungai. Sedangkan
kata “dari” diartikan sebagai memulai
penyebutan wilayah. Begitu juga ke diartikan sebagai menuju.
Lihatlah Tembo
Desa Tanjung Alam yang berikrar sebagai Keturunan Depati Duo Menggalo. Depati
Duo Menggalo adalah pemimpin masa Pamuncak dan zaman Marga di Dusun Tanjung
Alam.
Dalam sejarah
Marga, Dusun Tanjung Alam termasuk kedalam dusun tuo didalam Marga Sungai
Tenang. Sungai Tenang kemudian menjadi salah satu nama kecamatan dan kemudian
berubah menjadi Kecamatan Jangkat Timur.
Tutur di Marga Sungai
Tenang, Dusun Tanjung Alam dikenal sebagai “Tanah
irung. Tanah gunting”. Tanah irung, Tanah gunting” kemudian diartikan
sebagai “mengirung dan menggunting tanah
koto 10. Sehingga masyarakat dari Dusun Tanjung Alam yang kemudian
diberikan tanahnya oleh Koto 10 kemudian dikenal “Belalang Pungguk Sembilan padang koto 10”.
Istilah ini
juga dikenal di Dusun Tanjung Mudo. Belalang
pungguk 6, padang koto 10”.
Tembo tanah
irung kemudian dilukiskan “muara sungai
titian teras di sungai Sirih, peraduan limau keling, terus ke tanah genting,
pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muara sungai matang di sungai sirih
mudik ke sungai sirih”.
Membaca tembo
yang disampaikan bertutur kemudian dipahami sebagai “ke” diartikan “Menuju”,
terus diartikan sebagai “perjalanan
menyusuri”, laju” dilanjutkan, “mudik” diartikan sebagai “kembali” atau “melihat” alur sungai sirih di hulu.
Dengan tembo,
kewilayahan Dusun Tanjung Alam menjadi jelas dan seluruh dusun tuo didalam
Marga Sungai Tenang mengetahui dan menghormati.
Lalu apakah
garis “imajiner” yang disampaikan
secara bertutur akan mudah dimengeri ?
Dengan sedikit
pengenalan seperti GPS, maka garis imajiner kemudian dituangkan berupa sketsa.
Dengan sketsa kemudian dipindahkan yang biasa dikenal dengan peta. Dan dengan
peta yang disusun bersama-sama dengan masyarakat, maka peta kemudian dijadikan
memahami wilayah. Baik oleh masyarakat itu sendiri maupun orang lain. Maka saya
kemudian menyebut peta dengan kalimat “bahasa
orang”.
Begitu juga
definisi “konservasi” sumber daya
alam sebagaimana didalam pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1990. “Pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya”.
Masyarakat di
Batang Asai mengenal daerah-daerah yang dihormati seperti “Teluk sakti, rantau betuah, gunung bedewo”
sebagai tempat yang dihormati dan dilarang untuk dibuka.
Apabila wilayah
disebutkan dan dikonversi kedalam peta, maka daerah yang disebutkan termasuk
kedalam hutan konservasi yang tutupan hutannya masih baik, mempunyai kemiringan
hingga 45 derajat – 90 derajat.
Sedangkan di
Merangin dikenal “Rimbo sunyi” yang
ditandai dengan “siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.
Kalimat “siamang berung putih, tempat ungko berebut
tangis” kemudian diartikan hutan yang suaranya ditandai dengan “teriakan
siamang, ungko”, maka hutan dihormati dan tidak boleh dibuka.
Siamang (symphalangus syndactylus) dan ungko (hylobates
agilis) kemudian dimasukkan kedalam daftar IUCN Red list dan dikategorikan
hewan yang terancam punah (critically endangered).
Selain itu juga
dikenal dengan istilah “rimbo puyang”,
rimbo keramat”, hutan keramat dan penamaan lain yang masih menghormati
sebagai hutan yang tidak boleh dibuka.
Apabila wilayah
disebutkan dan dikonversi kedalam peta, maka daerah yang disebutkan termasuk
kedalam hutan konservasi yang tutupan hutannya masih baik, mempunyai kemiringan
hingga 45 derajat – 90 derajat.
Ajaran dilarang
membuka kepala sauk (hulu sungai) juga terdapat didalam “pantang larang”.
Larangan ini kemudian diatur didalam Pasal 50 ayat (3) huruf c UU No. 41 Tahun
1999 “setiap orang dilarang melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 100
meter dari kiri-kana tepi sungai.
Pantang larang
juga berlaku untuk membunuh harimau, menebang pohon seperti “durian, petai,
jengkol, duku”.
Bahkan didalam
masyarakat, penghormatan terhadap “sialang” ditandai dengan “Sialang
pendulangan”. Sialang pendulangan adalah pohon yang terdapat lebah, maka tidak
hanya pohon yang dilarang untuk ditebang. Tapi areal yang terdapat sialang
tidak dibenarkan untuk dibuka. Arealnya lebih kurang 300 meter persegi.
Di Dusun
Pemayungan dikenal larangan sangat ketat terhadap pohon sialang. Sanksi kepada
pelanggaran sialang ditandai dengan (1) Membuka pebalaian, (2) menebang/merusak
dan membuka pebalaian, (3) mencuri sialang.
Terhadap
pelanggaran kemudian dijatuhi sanksi. Membuka pebalaian maka kemudian
dijatuhi sanksi “Kain putih 100 kayu,
kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam
segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada Desa.
Sedangkan Menebang/merusak dan membuka pebalaian dijatuhi sanksi “Kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100
gantang, kelapa 100 butir, dan selemak semanis selemas semanis seasam segaram.
Dan Mencuri Sialang dijatuhi “Kambing sekok, beras 20 gantang, kelapa 20
butir, dan selemak semanis selemas semanis seasam segaram.
Masyarakat juga
mengenal tanda/sign terhadap batas-batas tanah yang ditandai dengan “mentaro’, lambas, tunggul pemarasan, “sak
sangkut”, “takuk”, “tanah sesap”, “jerami tinggi/jerami rendah”. Baik
dengan menanami pohon jenis tertentu hingga membuat takuk (tanda) pohon sebagai
batas tanah satu dengan batas tanah yang lain.
Ketentuan ini
dapat dilihat didalam berbagai peraturan seperti penetapan dan pemasangan tanda-tanda batas bidang tanah yang
diatur dalam pasal 17 – 19 PP 24/1997
dan mendapat pengaturan lebih lanjut dan rinci dalam pasal 19 – 23 Peraturan Mentri 3/1997.
Melihat
pengaturan yang telah diatur masyarakat maka terhadap model, cara maupun pengetahuan
yang dilakukan masyarakat akan mudah dipahami dengan bahasa orang. Sehingga
dengan menggunakan bahasa orang, pengetahun yang telah dilakukan masyarakat
kemudian mudah dimengerti, dipahami bahkan menjadi pengetahuan bagi pihak
diluar masyarakat.
Alangkah
baiknya apabila cara ini kita balik.
Setiap
pengaturan yang telah ditetapkan oleh Negara harus merujuk berdasarkan cara,
model maupun pengetahuan yang berangkat dari masyarakat.
Sehingga hukum
kemudian mencapai kepastian dan roh keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat.
Dan hukum kemudian menjadi jiwa rakyat Indonesia (volkgeist) sebagaimana disampaikan oleh van Savigny.