25 April 2017

opini musri nauli : Desa Ekologis




Tema Desa Ekologis mulai mewarnai wacana public. Walhi menyampaikannya secara resmi pada Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup, Palembang 25 April 2016.

Secara resmi Walhi menyatakan Desa Ekologi adalah sebuah sistem kelola wilayah pedesaan yang terpadu dan melibatkan seluruh pihak baik dalam proses tata kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi. Pernyataan ini didasarkan kepada 31.951 Desa berada di sekitar dan didalam kawasan hutan terdapat 19.421 Desa yang dikategorikan Desa Miskin.

Untuk mewujudkannya maka Desa Ekologi melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan pengetahuan local serta pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan[1].

Pernyataan tidak berbeda disampaikan oleh Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang menyebutkan Desa mampu membuka kesempatan dan momentum untuk memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.

Diskursus Desa Ekologi dapat dilihat didalam tesis Senoaji yang membahas kearifan local Masyarakat Baduy[2]. Dan Makalah And M. A yang mengungkapkan kearifan lingkungan di Sulawesi Selatan[3]. Sedangkan makalah Ramli Utina[4] yang menyebutkan Problema ekologi juga dilihat seluk-beluk spiritual manusia, pandangan hidupnya, kesadarannya terhadap alam dan perilaku ekologi menjaga keseimbangan alam.

Dalam kajian akademik, Ekologi berasal dari kata eko-lo-gi  yaitu ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya)[5]. Makna ini dapat dilihat didalam definisi yang diberikan oleh UU No. 32 Tahun 2009 yang memuat kata “ekoregion[6]”.

RA Hutagalung[7] menyebutkan Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani “oikos (habibat) dan “logos” (ilmu). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Ekologi pertama kali dikemukan oleh Ernst Haekel (1834-1914). Sedangkan Soerjani dkk menyebutkan Ekologi adalah ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup[8].

Dengan menempatkan lingkungan dan manusia didalam ekosistem yang saling terhubung maka etika lingkungan hidup kemudian menempatkan lingkungan hidup sebagai poros kendali. Sedangkan manusia merupakan bagian dari ekosistem yang tergantung dari alam. Filsuf Fritjof Capra telah mengingatkan[9].

Dengan demikian Desa Ekologis adalah konsep keselarasan dengan alam. Yang ditandai dengan memanfaatkan sumber daya alam dengna baik seperti hutan, tanah, air dan udara.

Sebagai turunan dari Desa Ekologis maka masyarakat berdaulat dengan air. UUD 1945 telah menegaskan untuk “menjaga” air sebagai sumber penghidupan[10]. Mahkamah Konstitusi juga telah mencabut UU No. 7 Tahun 2014 dan mengembalikan makna air didalam UU No. 11 Tahun 1974.

Di Jambi, penghormatan terhadap air ditandai dengan seloko “kepala sauk”. Kepala Sauk adalah hulu sungai yang terdapat kayu-kayu sama sekali  tidak boleh ditebang.

Begitu juga 25 meter dari arah sungai tidak boleh ditanami oleh masyarakat. “Tanah Ajum Tanah arah[11]” menempatkan 25 meter dari arah sungai merupakan tempat kehidupan dan aktivitas masyarakat di Sungai.

Desa Ekologis juga mampu menyediakan pangan untuk kebutuhannya sendiri. Konversi lahan pertanian ke sawit, HTI dan tambang (tatakuasa) merupakan sebuah “penghancuran peradaban” pertanian sebagai sebagai Negara agraris. Dalam tata kuasa yang disampaikan oleh Walhi, maka penataan (Tataguna) dan mengembalikan lahan pertanian merupakan salah satu factor yang disebut sebagai Desa Ekologis.
Setiap dusun di daerah Marga Kumpeh Hilir dikenal “peumoan”. Tanah yang merupakan tempat ditanami padi (peumoan) tidak boleh dikonversi untuk “tanaman tuo” seperti kelapa, kopi, coklat dan karet.

“Empang Krenggo”, “sesap rendah jerami tinggi”, “tunggul pembarasan” adalah tanah yang tidak dikelola maka dapat dikembalikan ke dusun. Tanah yang tidak dikelola (tanah terlantar) yang diabaikan oleh pemiliknya maka kepemilikan terhadap tanah akan hilang.

Setelah air, tanah sebagai identitas Desa Ekologis maka Desa Ekologis harus mandiri terhadap energy. Dengan kekayaan Indonesia yang melimpah ruah, maka alam menyediakan energy terbarukan untuk energy.

23 Desa di Bangko telah menyediakan listrik dari Sungai yang dikenal Pembangkit Listri Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Dengan menyediakan listrik dari sungai maka masyarakat kemudian berkomitmen menjaga alur sungai sebagai penggerak turbon untuk pembangkit listrik.

Dengan listrik yang disediakan oleh alam maka ketergantungan listrik dari instalasi Negara maupun harga listrik yang terus membumbung tinggi tidak dirasakan oleh masyarakat.

Sehingga tidak salah kemudian “sumber alam dapat dijadikan sumber untuk pengubahan energy[12]

Namun yang tidak boleh dilupakan adalah pengetahuan masyarakat terhadap bencana alam.

Pengetahuan local tentang pengetahuan terhadap alam, membaca tanda-tanda alam adalah kekayaan Indonesia yang menempatkan Indonesia sebagai daerah bencana alam[13] seperti gempa tektonik dan vulkanik[14] (Ring of Fire).

Di Jambi ketika gempa bumi vulkanik berkekuatan 7.0 SR tanggal 1 Oktober 2009, pusat gempa kemudian disebutkan 46 km arah tenggara wilayah Kabupaten Kerinci.

Pusat Gempa yang disebutkan 46 km arah tenggara ternyata terletak di Desa Renah Kemumu Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Sebuah desa yang hampir praktis tidak menjadi perhatian selain terletak didalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), peta-peta resmi Propinsi tidak menyebutkannya. Laporan juga menyebutkan jalan putus menuju Desa Renah Kemumu, sekitar 75 % rumah rusak, penduduk trauma dan berlindung di tenda-tenda di daerah terbuka.

Namun berkat pengetahuan masyarakat terhadap rumah, Rumah penduduk berupa rumah panggung hanya bergeser dan hanya diperlukan “dongkrak” untuk memperbaikinya. Konsep rumah panggung terbukti mampu menghindarkan kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Dengan demikian maka kategori Desa Ekologis berangkat dari kedaulatan terhadap air, tanah, energy dan pengetahuan tentang bencana alam, maka Desa Renah Kemumu adalah Desa Ekologis. Sebuah Desa sudah diperhatikan Pemerintah Belanda dalam berbagai catatannya[15].

Dimuat di Jambipos-online, tanggal 26 April 2017

http://www.jambipos-online.com/2017/04/desa-ekologis.html



[1] Desa Ekologi, Pembangunan minim Eksploitasi, Mongabay, 26 April 2016
[2] G Senoaji, . Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkunyannya, Tesis S 2 Ilmu Kehutanan, UGM, Yogyakarta.2003
[3] Andi M. A. dan Syarifuddin,. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar, 2007
[4] Ramli Utina. Makalah Kearifan local Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo disampaikan didalam Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Indonesia, 13 September di Mataram
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[6] Pasal 1 angka 29 UU No. 32 Tahun 2009 “Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungna hidup.
[7] RA Hutagalung,  Ekologi Dasar, Jakarta, 2010, Hal 20-27
[8] Soerjani, M; Rofiq Ahmad dan Rozy Munir,. Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan, UI Press, Jakarta, 1987.
[9] Fritjof Capra (Capra), seorang Filsuf dengan teropongnya kemudian memotret pemikiran dan perilaku manusia yang memandang alam. Capra kemudian “menggugat” paradigma yang sering dipergunakan oleh ilmu pengetahuan barat yang berangkat dari Cartesian Mekanistis-reduksionistis. Manusia kemudian tidak memberikan tempat yang seharusnya bagi perasaan atau intuisi manusia didalam memahami alam semesta. Capra kemudian menggunakan kerangka berfikir Thomas Kuhn mengenai filsafat tentang alam dan filsafat ilmu pengetahuan telah mengalami tiga fase sepanjang sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan.
[10] Pasal 33 konstitusi.
[11] Kearifan Lokal Serampas Tanah Ajum Tanah Arah Arah, Alam Sumatra, Edisi Januari 2015,
[12] GF Thompson, FR Stainer. Ecological Design and Planning. J Wiley. New York. 1997, hal 21
[13] M. Toha, Sigi “Gendon’ Widyanto, Tatang Elmy Wibowo, Didik S. Mulyana, Sofyan, Berkawan Dengan Ancaman, Walhi  Jakarta, 2007
[14] Biasa disebut Ring of Fire (cincin api). Selain itu Indonesia juga dikenal sabuk gempa pasifik.
[15] Bambang Hariyadi,  Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan , IPB Press, Bogor, 2013, Hal. 2