Tema
Desa Ekologis mulai mewarnai wacana public. Walhi menyampaikannya secara resmi
pada Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup, Palembang 25 April 2016.
Secara
resmi Walhi menyatakan Desa Ekologi adalah sebuah sistem kelola wilayah
pedesaan yang terpadu dan melibatkan seluruh pihak baik dalam proses tata
kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi. Pernyataan ini didasarkan kepada 31.951
Desa berada di sekitar dan didalam kawasan hutan terdapat 19.421 Desa yang
dikategorikan Desa Miskin.
Untuk
mewujudkannya maka Desa Ekologi melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan
pengetahuan local serta pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan[1].
Pernyataan
tidak berbeda disampaikan oleh Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
yang menyebutkan Desa mampu membuka kesempatan dan momentum untuk memanfaatkan
kekayaan alam Indonesia.
Diskursus
Desa Ekologi dapat dilihat didalam tesis Senoaji yang membahas kearifan local
Masyarakat Baduy[2].
Dan Makalah And M. A yang mengungkapkan kearifan lingkungan di Sulawesi Selatan[3].
Sedangkan makalah Ramli Utina[4]
yang menyebutkan Problema ekologi juga dilihat seluk-beluk spiritual manusia,
pandangan hidupnya, kesadarannya terhadap alam dan perilaku ekologi menjaga
keseimbangan alam.
Dalam
kajian akademik, Ekologi berasal dari kata eko-lo-gi yaitu ilmu
tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam
sekitarnya (lingkungannya)[5].
Makna ini dapat dilihat didalam definisi yang diberikan oleh UU No. 32 Tahun
2009 yang memuat kata “ekoregion[6]”.
RA Hutagalung[7]
menyebutkan Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani “oikos
(habibat) dan “logos” (ilmu). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
baik interaksi makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Ekologi pertama kali dikemukan oleh Ernst Haekel (1834-1914). Sedangkan Soerjani dkk
menyebutkan Ekologi adalah ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup[8].
Dengan menempatkan lingkungan
dan manusia didalam ekosistem yang saling terhubung maka etika lingkungan hidup
kemudian menempatkan lingkungan hidup sebagai poros kendali. Sedangkan manusia
merupakan bagian dari ekosistem yang tergantung dari alam. Filsuf Fritjof Capra
telah mengingatkan[9].
Dengan
demikian Desa Ekologis adalah konsep keselarasan dengan alam. Yang ditandai
dengan memanfaatkan sumber daya alam dengna baik seperti hutan, tanah, air dan
udara.
Sebagai
turunan dari Desa Ekologis maka masyarakat berdaulat dengan air. UUD 1945 telah
menegaskan untuk “menjaga” air sebagai sumber penghidupan[10].
Mahkamah Konstitusi juga telah mencabut UU No. 7 Tahun 2014 dan mengembalikan
makna air didalam UU No. 11 Tahun 1974.
Di
Jambi, penghormatan terhadap air ditandai dengan seloko “kepala sauk”. Kepala
Sauk adalah hulu sungai yang terdapat kayu-kayu sama sekali tidak boleh ditebang.
Begitu
juga 25 meter dari arah sungai tidak boleh ditanami oleh masyarakat. “Tanah Ajum Tanah arah[11]”
menempatkan 25 meter dari arah sungai merupakan tempat kehidupan dan aktivitas
masyarakat di Sungai.
Desa
Ekologis juga mampu menyediakan pangan untuk kebutuhannya sendiri. Konversi
lahan pertanian ke sawit, HTI dan tambang (tatakuasa) merupakan sebuah
“penghancuran peradaban” pertanian sebagai sebagai Negara agraris. Dalam tata
kuasa yang disampaikan oleh Walhi, maka penataan (Tataguna) dan mengembalikan
lahan pertanian merupakan salah satu factor yang disebut sebagai Desa Ekologis.
Setiap
dusun di daerah Marga Kumpeh Hilir dikenal “peumoan”. Tanah yang merupakan
tempat ditanami padi (peumoan) tidak boleh dikonversi untuk “tanaman tuo”
seperti kelapa, kopi, coklat dan karet.
“Empang
Krenggo”, “sesap rendah jerami tinggi”, “tunggul pembarasan” adalah tanah yang
tidak dikelola maka dapat dikembalikan ke dusun. Tanah yang tidak dikelola
(tanah terlantar) yang diabaikan oleh pemiliknya maka kepemilikan terhadap
tanah akan hilang.
Setelah
air, tanah sebagai identitas Desa Ekologis maka Desa Ekologis harus mandiri
terhadap energy. Dengan kekayaan Indonesia yang melimpah ruah, maka alam
menyediakan energy terbarukan untuk energy.
23
Desa di Bangko telah menyediakan listrik dari Sungai yang dikenal Pembangkit
Listri Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Dengan menyediakan listrik dari sungai maka
masyarakat kemudian berkomitmen menjaga alur sungai sebagai penggerak turbon
untuk pembangkit listrik.
Dengan
listrik yang disediakan oleh alam maka ketergantungan listrik dari instalasi
Negara maupun harga listrik yang terus membumbung tinggi tidak dirasakan oleh
masyarakat.
Sehingga
tidak salah kemudian “sumber alam dapat
dijadikan sumber untuk pengubahan energy”[12]
Namun yang tidak boleh
dilupakan adalah pengetahuan masyarakat terhadap bencana alam.
Pengetahuan local tentang
pengetahuan terhadap alam, membaca tanda-tanda alam adalah kekayaan Indonesia
yang menempatkan Indonesia sebagai daerah bencana alam[13]
seperti gempa tektonik dan vulkanik[14]
(Ring of Fire).
Di Jambi ketika gempa bumi
vulkanik berkekuatan 7.0 SR tanggal 1 Oktober 2009, pusat gempa kemudian
disebutkan 46 km arah tenggara wilayah Kabupaten Kerinci.
Pusat Gempa yang disebutkan
46 km arah tenggara ternyata terletak di Desa Renah Kemumu Kecamatan Jangkat,
Kabupaten Merangin. Sebuah desa yang hampir praktis tidak menjadi perhatian
selain terletak didalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS),
peta-peta resmi Propinsi tidak menyebutkannya. Laporan juga menyebutkan jalan
putus menuju Desa Renah Kemumu, sekitar 75 % rumah rusak, penduduk trauma dan
berlindung di tenda-tenda di daerah terbuka.
Namun berkat pengetahuan
masyarakat terhadap rumah, Rumah penduduk berupa rumah panggung hanya bergeser
dan hanya diperlukan “dongkrak” untuk memperbaikinya. Konsep rumah panggung
terbukti mampu menghindarkan kerugian karena terkena bencana yang disebabkan
oleh kegagalan konstruksi.
Dengan
demikian maka kategori Desa Ekologis berangkat dari kedaulatan terhadap air,
tanah, energy dan pengetahuan tentang bencana alam, maka Desa Renah Kemumu
adalah Desa Ekologis. Sebuah Desa sudah diperhatikan Pemerintah Belanda dalam
berbagai catatannya[15].
Dimuat di Jambipos-online, tanggal 26 April 2017
http://www.jambipos-online.com/2017/04/desa-ekologis.html
[1] Desa Ekologi, Pembangunan minim Eksploitasi,
Mongabay, 26 April 2016
[2] G Senoaji, . Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola
Hutan dan Lingkunyannya, Tesis S 2 Ilmu Kehutanan, UGM, Yogyakarta.2003
[3] Andi M. A. dan Syarifuddin,. Mengungkap Kearifan Lingkungan
Sulawesi Selatan. PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar, 2007
[4] Ramli Utina. Makalah Kearifan local Masyarakat Bajo
Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo disampaikan didalam Konferensi dan Seminar
Nasional Pusat Studi Lingkungan Indonesia, 13 September di Mataram
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[6] Pasal 1 angka 29 UU No. 32 Tahun 2009 “Ekoregion adalah wilayah geografis yang
memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola
interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungna hidup.
[7] RA Hutagalung, Ekologi Dasar, Jakarta, 2010, Hal 20-27
[8] Soerjani, M; Rofiq Ahmad dan Rozy Munir,. Lingkungan:
Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan, UI Press, Jakarta, 1987.
[9] Fritjof Capra (Capra), seorang Filsuf dengan teropongnya
kemudian memotret pemikiran dan perilaku manusia yang memandang alam. Capra
kemudian “menggugat” paradigma yang sering dipergunakan oleh ilmu pengetahuan
barat yang berangkat dari Cartesian Mekanistis-reduksionistis. Manusia kemudian
tidak memberikan tempat yang seharusnya bagi perasaan atau intuisi manusia
didalam memahami alam semesta. Capra kemudian menggunakan kerangka berfikir
Thomas Kuhn mengenai filsafat tentang alam dan filsafat ilmu pengetahuan telah
mengalami tiga fase sepanjang sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan.
[10] Pasal 33 konstitusi.
[11] Kearifan Lokal Serampas Tanah Ajum Tanah Arah Arah, Alam
Sumatra, Edisi Januari 2015,
[12] GF Thompson, FR Stainer. Ecological Design and Planning. J
Wiley. New York. 1997, hal 21
[13] M. Toha, Sigi “Gendon’ Widyanto, Tatang Elmy Wibowo, Didik
S. Mulyana, Sofyan, Berkawan Dengan Ancaman, Walhi Jakarta, 2007
[14] Biasa disebut Ring of Fire (cincin api). Selain itu
Indonesia juga dikenal sabuk gempa pasifik.
[15] Bambang Hariyadi, Orang
Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan , IPB Press,
Bogor, 2013, Hal. 2