Kemakmuran
dan kebesaran kerajaan di Jambi tidak dapat dilepaskan dari Merica[1]
dan karet[2].
Namun negeri ini sangat
menggantungkan hidupnya dari beras, yang diangkut dengan kapal yang kekurangan
dan harus dibayar dengan mata uang.
Daerah perkebunan merica tidak melakukan penanaman padi, sebab harga
merica lebih bagus dari pada padi. Oleh sebab itu petani merica tergantung pada
beras yang didatangkan dari luar daerah. Pada akhir abad ke-19 harga beras di
Hindia Belanda cenderung naik dan memasuki awal abad ke- 20 turun secara
drastis[3].
Pada tahun 1641 dan 1642, Raja Palembang dan
Jambi bergantian menghadap Sultan Agung di Mataram, menyampaikan hormat-bekti
mereka.
Ketika itu, kedua kerajaan tersebut tergantung pada Mataram dalam hal
beras, khususnya Jambi. Hubungan antara Jambi dan Palembang dengan Mataram itu
adalah sekadar contoh betapa besar pengaruh Mataram terhadap sejumlah kerajaan
lain, juga di luar Jawa[4].
Mataram
dipegang oleh Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), dia memerintah dari tahun
1613- 1645 berpusat di Ker/Karta yang dekat pantai selatan. Dalam
pemerintahannya, Sultan Agung menerapkan politik ekspansi sehingga bukan hanya
Jawa saja yang ingin dikuasainya, melainkan wilayah Nusantara. Pada masa Sultan
Agung ini untuk pencapaiannya hampir seluruh Pulau Jawa berhasil dikuasai
olehnya. Hingga pada saat Sultan Agung wafat wilayah kekuasaannya adalah
seluruh Pulau Jawa terkecuali wilayah Batavia, Panarukan dan Blambangan[5].
Bahkan, seluruh
perdagangan rempah pasti akan anjlok bila Mataram dan Makasar berhenti
mengekspor beras[6]. Tahun
1676, Merangin, Tebo dan Tembesi, kebun-kebun merica kebanjiran dan rusak.
Belum lagi perang Johor – Palembang yang merusak pertanian[7].
Sultan Jambi ketika itu Sultan Anum Ingalaga mengadakan hubungan dengan raja
Siam dengan cara mengirimkan Emas, Raja siam kemudian mengirimkan beras. Bahkan
tahun 1740 ada perintah yang mengharuskan menanam sawah di Muara Siau dengan
acanam denda 10 “rijkdaalder” jika menolak.[8]
Tradisi perdagangan beras di Pulau
Jawa terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan di pulau Sumatera
terdapat disepanjang pantai barat pedalaman. Perdagangan beras telah ramai
dikawasan itu sejak zaman V.O.C. Komoditi ini segera menjadi perhatian utama pengadaan bahan pangan pemerintahan
Hindia Belanda[9].
Berbeda di Indrapura. Berdasarkan
laporan Van Ronkel[10], pada tahun
1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur di bawah
pemerintahan Raja Itam. Sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan
perkebunan yang mengandalkan komoditas beras dan lada.
Sebagai
pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di nusantara,
terutama membawa beras dan tekstil [11].
Dengan
demikian, apapun yang menghasilkan kemakmuran seperti Merica, pala, cengkeh,
karet yang dinikmati oleh daerah namun apabila tidak mampu untuk mandiri dalam
pangan, maka kemakmuran itu tidak mempunyai arti.
Sedangkan
daerah yang mampu memenuhi pangannya maka kemandirian daerah dan dicatat
sebagai bagian sejarah yang tetap bertahan.
[1] Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatera
Tengah Pada Abad XVII – XVIII,Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 79.
[2] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan
Negara Kolonial: Hubungan Jambi- Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
Imperialisme Belanda, terj. Noor
Cholis, KITLV dan Banana, Jakarta, 2008). hal 323
[3]
Lihat Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor indonesia,
1987, hal. 112.
[4] Ann Kumar, Java and the Modern
Europe, hal.27-28.
[5] Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa
dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, PT. LK:S Pelangi Aksara, Yogyakarta,
2005, 259.
[6] Bernard H.M.Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 45
[7] Lihat Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara –
Sumatera Tengah Pada Abad XVII – XVIII,Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal.
218
[8] Barbara, Op.cit. 273
[9] Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 1987. Hal.
93
[10]
Ronkel, Een Maleis Contract v 1600.
[11] Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian
Sosial Ekonomi Adtya Media, Yogyakarta, 1991, hal. 10