02 Mei 2017

opini musri nauli : POLITIK PADI

Kemakmuran dan kebesaran kerajaan di Jambi tidak dapat dilepaskan dari Merica[1] dan karet[2]. Namun negeri ini sangat menggantungkan hidupnya dari beras, yang diangkut dengan kapal yang kekurangan dan harus dibayar dengan mata uang.


Daerah perkebunan merica tidak melakukan penanaman padi, sebab harga merica lebih bagus dari pada padi. Oleh sebab itu petani merica tergantung pada beras yang didatangkan dari luar daerah. Pada akhir abad ke-19 harga beras di Hindia Belanda cenderung naik dan memasuki awal abad ke- 20 turun secara drastis[3].
Pada tahun 1641 dan 1642, Raja Palembang dan Jambi bergantian menghadap Sultan Agung di Mataram, menyampaikan hormat-bekti mereka. 

Ketika itu, kedua kerajaan tersebut tergantung pada Mataram dalam hal beras, khususnya Jambi. Hubungan antara Jambi dan Palembang dengan Mataram itu adalah sekadar contoh betapa besar pengaruh Mataram terhadap sejumlah kerajaan lain, juga di luar Jawa[4].

Mataram dipegang oleh Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), dia memerintah dari tahun 1613- 1645 berpusat di Ker/Karta yang dekat pantai selatan. Dalam pemerintahannya, Sultan Agung menerapkan politik ekspansi sehingga bukan hanya Jawa saja yang ingin dikuasainya, melainkan wilayah Nusantara. Pada masa Sultan Agung ini untuk pencapaiannya hampir seluruh Pulau Jawa berhasil dikuasai olehnya. Hingga pada saat Sultan Agung wafat wilayah kekuasaannya adalah seluruh Pulau Jawa terkecuali wilayah Batavia, Panarukan dan Blambangan[5].

Bahkan, seluruh perdagangan rempah pasti akan anjlok bila Mataram dan Makasar berhenti mengekspor beras[6]. Tahun 1676, Merangin, Tebo dan Tembesi, kebun-kebun merica kebanjiran dan rusak. Belum lagi perang Johor – Palembang yang merusak pertanian[7]. Sultan Jambi ketika itu Sultan Anum Ingalaga mengadakan hubungan dengan raja Siam dengan cara mengirimkan Emas, Raja siam kemudian mengirimkan beras. Bahkan tahun 1740 ada perintah yang mengharuskan menanam sawah di Muara Siau dengan acanam denda 10 “rijkdaalder” jika menolak.[8]

Tradisi perdagangan beras di Pulau Jawa terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan di pulau Sumatera terdapat disepanjang pantai barat pedalaman. Perdagangan beras telah ramai dikawasan itu sejak zaman V.O.C. Komoditi ini segera menjadi perhatian utama pengadaan bahan pangan pemerintahan Hindia Belanda[9].

Berbeda di Indrapura. Berdasarkan laporan Van Ronkel[10], pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur di bawah pemerintahan Raja Itam. Sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditas beras dan lada.

Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di nusantara, terutama membawa beras dan tekstil [11].

Dengan demikian, apapun yang menghasilkan kemakmuran seperti Merica, pala, cengkeh, karet yang dinikmati oleh daerah namun apabila tidak mampu untuk mandiri dalam pangan, maka kemakmuran itu tidak mempunyai arti.

Sedangkan daerah yang mampu memenuhi pangannya maka kemandirian daerah dan dicatat sebagai bagian sejarah yang tetap bertahan.


[1] Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatera Tengah Pada Abad XVII – XVIII,Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 79.
[2] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi- Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, terj. Noor Cholis, KITLV dan Banana, Jakarta, 2008). hal 323
[3] Lihat Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 1987, hal. 112.
[4] Ann Kumar, Java and the Modern Europe, hal.27-28. 
[5] Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, PT. LK:S Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2005, 259.
[6] Bernard H.M.Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 45
[7] Lihat Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatera Tengah Pada Abad XVII – XVIII,Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 218
[8] Barbara, Op.cit. 273
[9] Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 1987. Hal. 93
[10] Ronkel, Een Maleis Contract v 1600.
[11] Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi Adtya Media,  Yogyakarta, 1991, hal. 10