24 April 2017

opini musri nauli : HERI – SANG REFORMIS



Saya tidak akan memilih para penculik teman-teman saya”. Suara menggelegar khas demonstran bergema di podium. Suara kemudian sunyi. Tidak ada lagi tawa ceria ketika acara kemudian ditutup.

Ya. 3 tahun yang lalu, teman-teman mengadakan dialog menghadapi Pilpres 2014. Peserta yang hadir berbagai latar belakang. Semuanya menyampaikan pandangan pilpres 2014. Namun sang pamungkas berhasil menutup acara dengan makna.
Kalimat singkat, padat yang disampaikan Heri adalah ingatan khas dari saya tentang seorang demonstran. Tanpa tedeng aling-aling apalagi berbasa-basi, ciri itu kemudian melekat dan mengembalikan makna reformasi terhadap diri Heri.

Perjalanan 20 tahun reformasi membuat berbagai cita-cita reformasi “berjalan ditempat”. Pejuang-pejuang yang berpeluh keringat kemudian tenggelam dalam hiruk pikuk reformasi. Semuanya menjadi bagian bahkan terseret arus kekuasaan. Belum lagi “bau anyir” korupsi yang semakin meminggirkan makna reformasi.

Namun asa itu terus dikawal dan diteriakkan dalam berbagai kesempatan. Heri telah mengambil bagian untuk berada dengan cita-cita reformasi.

Kalimat menggelar khas demonstran lebih berkesan daripada cerita teman-teman di Pengadilan Ad hock Perburuhan yang menceritakan Heri telah melakukan “dissenting opinion”. Sebagai wakil buruh menjadi hakim ad hock, Heri tetap mengawal agenda buruh di muka persidangan.

Interaksi saya secara personal lebih banyak dilakukan melalui telephone untuk menanggapi isu-isu actual.

Entah “issu agama” kemudian diseret-seret dalam Pilpres dan kemudian beranjak ke Pilkada Jakarta. Namun Heri “kokoh” untuk tetap menawarkan agenda toleransi yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Dalam interaksi akhir-akhir ini, selain pertemuan yang semakin intensif paska penangkapan Pendeta Mas Gie di Lampung, kesempatan bertemu untuk berdiskusi semakin sering. Termasuk “mengatur” agenda kepergian ke Lampung.

Heri cukup aktif “mempersiapkan” keberangkatan tim ke Lampung. Entah dengan cara menghubungi teman-teman yang mempunyai waktu, menghadiri rapat persiapan hingga terlibat menjelang keberangkatan. Mengingat sidang yang cukup rutin sehingga dipastikan hampir setiap minggu bertemu.

Entah beberapa kali kesempatan ke Lampung tidak bisa diikuti. Mungkin karena mulai dirasa tidak enak ketika ke Lampung belum juga bisa, pada kesempatan kedua, Heri menyampaikan alasan. “Aku mau pergi. Tapi “orang rumah” tidak boleh. Kami kemudian tidak melanjutkan pembicaraan. Secara naluriah saya menyadari penyakit yang diderita Heri cukup parah. Ditambah kejadian setahun yang lalu di Jakarta.

Di sela-sela diskusi, kadang-kadang saya pribadi bertanya. Bagaimana perasaannya ketika issu agama kemudian sering “menampilkan” video beralihnya umat nasrani masuk ke agama islam.

Dengan santai dia menjawab pendek. “Biasa be”. Saya tidak bisa menangkap makna jawabannya. Namun sekilas jawaban pendek menggambarkan “keresahan” ketika teologi dipersoalkan dan kemudian menjadi bahan untuk berpindahnya agama.

Namun untuk menutupi kegelisahannya, Gusdur salah satu teladan yang dianggap sebagai pengejawantahan Islam yang melindungi umat manusia. Entah beberapa kali ketika dia menyampaikan tentang Islam tidak lupa menampilkan cerita Gusdur untuk meyakini saya.

Kekaguman Gusdur tidak hanya cuma cerita. Keinginan memperingati Gusdur sering diingatkan oleh Heri. “Hayo. Kita akhir tahun Haul Gusdur’. Sebuah keteladanan disaat bersamaan umat nasrani sedang menghadapi Natal dan Tahun Baru.

Keteladanan memegang kukuh makna reformasi tetap dilakukan beberapa hari yang lalu. Menyampaikan orasi ketika mendampingi teman-teman buruh.

Sehingga tidak salah kemudian Heri adalah reformis sejati. Yang kokoh bertahan dengan agenda reformasi.

Selamat Jalan, Kawan. Setiap kata-katamu khan kupegang selalu.