“Saya tidak akan memilih para penculik
teman-teman saya”. Suara menggelegar khas demonstran bergema di podium.
Suara kemudian sunyi. Tidak ada lagi tawa ceria ketika acara kemudian ditutup.
Ya.
3 tahun yang lalu, teman-teman mengadakan dialog menghadapi Pilpres 2014. Peserta
yang hadir berbagai latar belakang. Semuanya menyampaikan pandangan pilpres
2014. Namun sang pamungkas berhasil menutup acara dengan makna.
Kalimat
singkat, padat yang disampaikan Heri adalah ingatan khas dari saya tentang
seorang demonstran. Tanpa tedeng aling-aling apalagi berbasa-basi, ciri itu
kemudian melekat dan mengembalikan makna reformasi terhadap diri Heri.
Perjalanan
20 tahun reformasi membuat berbagai cita-cita reformasi “berjalan ditempat”. Pejuang-pejuang yang berpeluh keringat kemudian
tenggelam dalam hiruk pikuk reformasi. Semuanya menjadi bagian bahkan terseret
arus kekuasaan. Belum lagi “bau anyir”
korupsi yang semakin meminggirkan makna reformasi.
Namun
asa itu terus dikawal dan diteriakkan dalam berbagai kesempatan. Heri telah
mengambil bagian untuk berada dengan cita-cita reformasi.
Kalimat
menggelar khas demonstran lebih berkesan daripada cerita teman-teman di
Pengadilan Ad hock Perburuhan yang menceritakan Heri telah melakukan “dissenting opinion”. Sebagai wakil buruh
menjadi hakim ad hock, Heri tetap mengawal agenda buruh di muka persidangan.
Interaksi
saya secara personal lebih banyak dilakukan melalui telephone untuk menanggapi
isu-isu actual.
Entah
“issu agama” kemudian diseret-seret
dalam Pilpres dan kemudian beranjak ke Pilkada Jakarta. Namun Heri “kokoh” untuk tetap menawarkan agenda
toleransi yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Dalam
interaksi akhir-akhir ini, selain pertemuan yang semakin intensif paska
penangkapan Pendeta Mas Gie di Lampung, kesempatan bertemu untuk berdiskusi
semakin sering. Termasuk “mengatur”
agenda kepergian ke Lampung.
Heri
cukup aktif “mempersiapkan”
keberangkatan tim ke Lampung. Entah dengan cara menghubungi teman-teman yang
mempunyai waktu, menghadiri rapat persiapan hingga terlibat menjelang
keberangkatan. Mengingat sidang yang cukup rutin sehingga dipastikan hampir
setiap minggu bertemu.
Entah
beberapa kali kesempatan ke Lampung tidak bisa diikuti. Mungkin karena mulai
dirasa tidak enak ketika ke Lampung belum juga bisa, pada kesempatan kedua,
Heri menyampaikan alasan. “Aku mau pergi.
Tapi “orang rumah” tidak boleh. Kami kemudian tidak melanjutkan
pembicaraan. Secara naluriah saya menyadari penyakit yang diderita Heri cukup
parah. Ditambah kejadian setahun yang lalu di Jakarta.
Di
sela-sela diskusi, kadang-kadang saya pribadi bertanya. Bagaimana perasaannya
ketika issu agama kemudian sering “menampilkan”
video beralihnya umat nasrani masuk ke agama islam.
Dengan
santai dia menjawab pendek. “Biasa be”.
Saya tidak bisa menangkap makna jawabannya. Namun sekilas jawaban pendek
menggambarkan “keresahan” ketika teologi dipersoalkan dan kemudian menjadi
bahan untuk berpindahnya agama.
Namun
untuk menutupi kegelisahannya, Gusdur salah satu teladan yang dianggap sebagai
pengejawantahan Islam yang melindungi umat manusia. Entah beberapa kali ketika
dia menyampaikan tentang Islam tidak lupa menampilkan cerita Gusdur untuk
meyakini saya.
Kekaguman
Gusdur tidak hanya cuma cerita. Keinginan memperingati Gusdur sering diingatkan
oleh Heri. “Hayo. Kita akhir tahun Haul
Gusdur’. Sebuah keteladanan disaat bersamaan umat nasrani sedang menghadapi
Natal dan Tahun Baru.
Keteladanan
memegang kukuh makna reformasi tetap dilakukan beberapa hari yang lalu.
Menyampaikan orasi ketika mendampingi teman-teman buruh.
Sehingga
tidak salah kemudian Heri adalah reformis sejati. Yang kokoh bertahan dengan
agenda reformasi.
Selamat
Jalan, Kawan. Setiap kata-katamu khan kupegang selalu.