21 April 2017

opini musri nauli : Kesalahan dan Pertanggungjawaban


Akhir-akhir ini wacana “hukuman penjara” dan “hukuman percobaan” menjadi wacana yang cukup ramai perhatian public. Materi hukuman penjara dan hukuman percobaan merupakan salah satu materi yang menjadi perhatian didalam KUHP.

Tema “hukuman penjara” dan hukuman percobaan” terletak didalam dimesi “pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)”.
Namun yang mengganggu pikiran saya apabila disampaikan oleh masyarakat umum, saya memahami dalam konteks memandang hukum dari berbagai sudut pandangan. Namun apabila disampaikan oleh kalangan hukum, maka wacana “kesalahan (schuld)” dan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” menjadi ranah yang mengganggu pikiran saya.

Pertama. Hakim tidak tunduk kepada Surat Tuntutan Jaksa penuntut umum. Hakim sama sekali tidak terikat terhadap surat tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa penuntut umum termasuk dengan masa hukuman (straftmatcht). Lihatlah Putusan MA No. 47/Kr/K/1956 tanggal 28 Maret 1957 “yang menjadi dasar tuntutan pengadilan ialah surat tuduhan, jadi bukan tuduhan yang dibuat oleh polisi”.  Atau Putusan MA No. 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 “putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan. Sehingga hakim kemudian “melihat” surat dakwaan dan melihat pembuktian. Apakah “dakwaan” yang dituduhkan terbukti atau tidak.

Problema menjadi mudah apabila “kesalahan” dapat dibuktikan pelaku dapat dipertanggungjawabkan (prinsip Crime Liability). Teori ini dikenal teori pertanggungjawaban pidana seperti teorekenbaarheid, Criminal Responbility, Criminal Liability yaitu teori untuk menentukan apakah seorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Artinya perbuatan pidana tersebut dilakukan bersifat melawan hokum.

Kedua. Tema “kesalahan (schuld)” dan “pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” merupakan tema yang menarik didalam kajian ahli hukum.

Padahal Asas kesalahan (schuld) dan asas pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility) merupakan dimensi yang terpisah. Roeslan Saleh, Moeljatno, Chairul Huda memisahkan antara Kesalahan dengan pertanggungjawaban. Sedangkan Indriyanto Seno Adji, Van Hammel, Djoko Prakoso, Prodjohamidjojo, R Soesilo tidak memisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban.

KUHP memisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban. Pasal 44 – pasal 51 ayat (1) KUHP justru menegaskan. Walaupun adanya kesalahan namun kesalahan yang terbukti tidak dapat dipertanggungjawaban.

KUHP kemudian merumuskan alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden)  atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” dan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”). Lihatlah didalam pasal pasal 44 (orang gila), pasal 45 KUHP anak dibawah umur agar dikembalikan kepada orang tuanya, Pasal 48 KUHP (keterpaksaan /overmacht), Pasal  49 ayat (1) KUHP (mempertahankan dirinya atau orang lain (noodweer)  dan 50 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) KUHP (orang yang menjalankan perintah undang-undang/ perintah jabatan).

Dengan demikian, maka apabila telah terjadinya tindak pidana, maka “asas pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” juga harus dibuktikan. Tidak sertamerta ketika terjadinya tindak pidana, maka terdakwa kemudian harus “bertanggungjawab”.

Ketiga. Didaalam praktek hukum acara pidana, pembuktian terhadap ““asas pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” merupakan tema menarik untuk didiskusikan.

Berbagai perangkat perundang-undangan (sebaga contoh UU Perusahaan Terbatas, atau asas tindak pidana korporasi) menempatkan “siapa yang harus diminta pertanggungjawaban dimuka hukum”.  Kesalahan “menempatkan” siapa yang harus bertanggungjawab dimuka hukum” mengakibatkan “kesalahan orang” maka Apabila identitas orang adalah salah, maka orang itu haruslah bebas dari putusan hukuman.

Dengan demikian maka terbuktinya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa, maka hakim mempunyai kewenangna untuk menjatuhkan pertanggungjawaban pidana (teorekenbaardheid/criminal responsibility). Termasuk masa hukuman (straftmaacht).

Selain itu, hakim mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan yang tidak mesti harus dijalani pidana penjara. Publik mengenal sebagai pidana percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 14 KUHP,  pasal 15 KUHP dan pasal 35 ayat (1) KUHP

Terhadap pemidanaan berdasarkan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility), maka Hakim dapat menjatuhkan pemidanaan dengan bersyarat. Publik mengenal sebagai hukuman percobaan.

KUHP sendiri menegaskan. Hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan hukuman terhadap kesalahan dengan penjatuhan hukuman dengan syarat-syarat tertentu.

“Hukuman percobaan” atau hukuman bersyarat mempunyai makna. Terhadap waktu tertentu berdasarkan putusan hakim, apabila terhukum tidak melakukan pidana, maka terhadap dirinya kemudian tidak dapat dikategorikan sebagai terpidana.

Atau dengan kata lain, walaupun terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan penuntut umum, maka setelah selesai menjalani masa percobaan, maka tidak dapat dikategorikan memenuhi unsur sebagaimana diatur dakwaan

Mekanisme ini sudah diatur didalam pasal 14 KUHP dan Pasal 15 KUHP.

Berbagai penerapan “hukuman percobaan” sudah jamak diterapkan didalam berbagai kasus-kasus yang menarik perhatian public. Kasus yang menimpa aktivits mahasiswa pada awal-awal reformasi merupakan salah satu bagian dari proses penerapan “hukuman percobaan’.

Padahal apabila disandingkan dengan surat dakwaan, ancaman pasal yang dikenal cukup beragam. Baik dengna “tuduhan” pasal seperti “membawa sajam” yang dapat diancam hukuman mati, “merusak property” seperti menghancurkan kaca DPRD, merobohkan pagar Polda Jambi yang dapat diancam dengan “penjara 4 tahun” atau pasal-pasal yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik’.

Menurut catatan penulis, hakim menerapkan masa percobaan 1-2 tahun. Bahkan “walaupun” ancaman membawa senjata tajam” dapat dikategorikan sebagai “hukuman mati” namun atas kebijaksanaan hakim, para pelaku hanya dikenakan percobaan 2 tahun.

Dengan demikian maka penerapan “hukuman percobaan” sudah jamak diterapkan di berbagai Pengadilan Negeri.




* Advokat


Dimuat di Harian Jambi Independent, 5 Mei 2017