Sejarah Jambi
sebagai penghasil merica[1]
dan karet[2]
telah dikenal didalam perdagangan Asia Tenggara. Sebagai penghasil merica di
Abad XVII – XVIII dan karet sebagai penghasil nomor 2 hindia Belanda, jalur
pantai timur Sumatra dilalui oleh para pedagang- pedagang Muslim yang
berasal dari Arab, Gujarat, Persia, China, dan India. Sehingga tidak salah
kemudian Jambi dikenal sebagai daerah yang kaya.
Namun disatu sisi, berbanding terbalik dengan penghasil merica dan karet.
Jambi juga dikenal sebagai daerah “importer” Padi. Perang berkecamuk terus
menerus antara Jambi dengan Palembang, Jambi dengan Johor, putusnya suplai beras
dari Siam dan Mataram[3]
mendorong Jambi untuk menanam Padi. Di Muara Siau kemudian diubah dari
perkebunan Merica menjadi padi. Dan denda 10 rijksdaalder apabila menolak.
Sejarah padi
tidak dapat dilepaskan dari teknologi dibawa migrasi yang berasal dari India[4].
Diduga kuat padi dibawa masuk ke Jawa dan kepulauan Asia Tenggara
lainnya oleh bangsa Austronesia yang pertama kali dibudidayakan di China
Tengah. Diperkirakan bahwa padi padi mulai dibudidayakan di Pulau Jawa sejak
sekitar 4000 tahun yang lalu[5].
Anthony Reid menjelaskan bahwa beras merupakan bahan makanan utama masyarakat
Asia Tenggara. Bahan tersebut diperoleh dengan menggunakan teknologi yang agak
primitif[6].
Menurut data
arkeologi, migrasi telah terjadi setidaknya sejak 2 juta tahun yang lalu sejak
Kala Plestosen, dimana Homo Erectus mengembara
keluar dari Benua Afrika (menurut teori Out of Africa) menuju Benua
Eropa kemudian menuju Benua Asia. Di Indonesia jejak-jejak Homo Erectus[7].
Zaman
Protosejarah diperkirakan dimulai di sekitar awal-awal Masehi dan berakhir
ketika pengaruh Hindu memasuki Nusantara hingga terbentuknya kerajaan-kerajaan
yang pertama di sekitar abad ke-4/5 Masehi. Pertanggalan
tempayan kubur di Renah Kemumu, Jambi dari ca. 1100 BP (Bonatz 2009)
menunjukkan budaya ini berlanjut hingga jauh memasuki zaman sejarah[8].
Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa antara abad ke-5
SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada
kepandaian seni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan Dong-son. Keterampilan
ditandai dengan Mengembangkan seni hias ornament, Mengenal pengecoran logam,
Melaksanakan perdagangan barter, Mengenal instrumen music, Memahami astronomi, Menguasai teknik navigasi dan
pelayaran, Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan,. Menguasai
teknik irigasi
dan Telah mengenal tata masyarakat yang teratur[9].
Di Jambi dikenal istilah seperti ”ngambil arin
dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian”[10],
Gerebuh[11],
Nyerayo[12],
“Nigoi sawah” [13],
“Nugal[14]”.
Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk membuat
lobang tanam yang dinamakan “tugal”[15]
Di daerah gambut, juga dikenal seperti “peumoan,
pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun
tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar
dan memerun[16]”
maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur,
ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.
Sejarah panjang tentang padi juga ditandai
dengan benih-benih local padi. Setiap desa-desa di Jambi mengenal padi benih
local dengan penamaan yang masih dirawat hingga sekarang. Misalnya Renik Kanal,
Pulut Mantung, Silang Jambu, Silang Kudung, Pulut Turun Daun (Desa Tanjung
Alam), Seringin Tinggi, Kuning Besar, Pulut Putih, Pulut Hitam (Desa Gedang),
Padi rias, Padi Sunggut, Padi Dayang, Padi Lumut, Padi Seribu Naik, Padi Kasar
(Lubuk Mandarsyah) adalah nama-nama padi local yang tetap dirawat hingga
sekarang. Tentu masih banyak nama-nama setiap desa yang mengenal benih local.
Bahkan saya pernah mencatat, ada satu desa hingga mempunyai benih local hingga
15 padi local.
Masyarakat di Jambi juga mengenal alat
tradisional seperti Tajak, Luci, galah, Tuai, jangki, bilik sebagai alat bantu
untuk padi.[17] Fungsi
alat-alat pertanian tradisional digunakan untuk memanen dan memelihara padi
baik sebelum atau sesudah pane.
Dengan dirawatnya padi oleh rakyat di Jambi,
maka ujaran seperti Padi Menjadi. Airnyo
jernih, ikan jinak. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno. Ke darat
durian gugu’, merupakan lambang kesuburan dan kemakmuran di Jambi. Tanda
alam bersahabat dan memberikan kemakmuran kepada manusia di sekitarnya.
Penghormatan terhadap padi sering juga diujar
didalam makna filosofi seperti “Ilmu
padi. Semakin berisi semakin menunduk”. Atau “Menanam padi pasti tumbuh rumput. Tapi menanam rumput tidak mungkin
tumbuh padi”.
Kalimat pertama mengisyaratkan agar setiap
diri kita mempunyai refleksi terhadap “keagungan” terhadap ilmu. Semakin tinggi
ilmu yang didapatkan justru bersikap rendah hati. Dengan rendah hati, maka
ketinggian ilmu kemudian dihormati.
Sedangkan kalimat kedua mengisyaratkan,
bagaimanapun kebaikan ditebar dimuka bumi, maka tetap ada yang membalaskannya
dengan kejahatan. Namun apabila kita menyebarkan kejahatan, maka tidak mungkin
akan timbul kebaikan. Dengan demikian, maka sudah seharusnya, tetap menyebarkan
kebaikan. Terhadap kejahatan yang dibalas dari kebaikan, maka kejahatan (rumput)
tetap harus disiangi (dibuang).
Namun “padi”
sebagai warisan leluhur Nenek moyang Jambi kemudian terus tergerus. Dengan
jumlah penduduk Jambi 1,06 juta (1971), melonjak terus mencapai 2,02 juta jiwa
(1990). Terus naik mencapai 2,4 juta jiwa (2000) dan mencapai 3,09 juta jiwa
(2013) dan mencapai 3,3 juta jiwa (2015). BPS menyebutkan lonjakan penduduk
hingga 3 x lipat selama 39 tahun.
Tingkat
pertumbuhan penduduk ternyata tidak diimbangi dengan hasil produksi pertanian.
Dari hasil padi 607 ribu ton (1993) berkurang tinggal 541 ribu ha (2015).
Angka terbalik
juga terjadi dengan semakin berkurangnya luas sawah. 120 ribu ha (2003) menurun
menjadi 113 ribu ha (2013). Angka ini belum ditambah 12 ribu ha yang dikonversi
ke lahan tambang emas.
Berkurangnya luas
sawah disebabkan semakin bertambahnya luas kebun sawit yang sudah mencapai 657
ribu ha (2013). Walaupun BPN sendiri sudah mensinyalir mencapai 1,2 juta ha.
namun baru 487 ribu ha yang sudah menjadi HGU.
Sawit juga
menggerus tanaman karet dari 450 ribu ha (2003) berkurang menjadi 384 ribu ha
(2013).
Bahkan luas perkebunan kelapa sawit saat ini sudah 819.237 hektar, 8 kali lipat
luas lahan sawah yang tinggal 143,034 hektar. Pada periode 2008-2010 terjadi
alih fungsi lahan pangan seluas 75.560 hektar di propinsi ini, alih fungsi
terbesar terjadi di wilayah transmigrasi (Trans-PIR) dimana lahan peruntukan
tanaman pangan seluas 60.000 hektar seluruhnya diubah menjadi perkebunan kelapa
sawit. Hal ini menempatkan Jambi sebagai titik rawan pangan prioritas pertama[18].
Akibat alih fungsi lahan sawah ini Propinsi Jambi hanya mampu memenuhi
11,7 persen kebutuhan berasnya sendiri atau sebesar 350 ton per tahun dari
kebutuhan minimal 3.000 ton per tahun[19]
Angka ini belum
seberapa ditambah dengan luas pertambangan batubara yang mencapai 1,09 juta ha.
Ditambah dengan “kerumitan” kawasan hutan dengan luas 2,1 juta ha yang sulit
diakses dan digunakan untuk pertanian. Sehingga praktis, areal pertambangan dan
kawasan hutan yang tidak bisa dijadikan lahan pertanian akan mengurangi areal
pertanian dari luas wilayah Jambi daratan 4,8 juta ha.
Dengan
kalkulasi sederhana 2,1 juta ha kawasan hutan ditambah 1,09 juta areal
pertambangan batubara dan 1,2 juta ha sawit, praktis tinggal menyisakan 800
ribu ha yang dapat digunakan.
Padahal dengan
kalkulasi rumus konsumsi beras/orang = 0,5 kg/tahun atau (menurut Menteri Pertanian, 2010) konsumsi beras perkapita/ton = 140
kg, maka konsumsi beras yang harus dipenuhi dari Jambi 0,46 juta ton.
Dengan
kalkulasi penduduk Jambi 3,3 juta jiwa dengan kalkulasi areal untuk pertanian
tinggal 800 ribu dan produksi padi cuma 541 ribu ton/tahun, maka ancaman
terhadap pangan sudah didepan mata.
[1] Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatera
Tengah Pada Abad XVII – XVIII,Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 79. Bahkan
tahun 1615, Coen memperkirakan setiap tahunnya 2 atau 3 jung besar asal China
merapat ke Jambi. Mereka membeli 5.500 pikul merica.
[2] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan
Negara Kolonial: Hubungan Jambi- Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
Imperialisme Belanda,
terj. Noor Cholis, (Jakarta: KITLV dan Banana, 2008). hal 39
[3] Barbara, Op.cit. Hal. 273
[4]
Seperti dikemukakan Purseglove dalam karyanya berjudul Tropical Crops.
[5]
Christie, Jan Wisseman, “Water and Rice in Early Java and Bali”, dalam Peter
Boomgaard (ed.), A World of Water:
Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian History. Leiden:
KITLV Press, 2007, Hal. 235-236
[6] Lihat Onghokham dalam pengantar bukunya Anthony Reid,
Asia Tenggara
dalam Kurun Niaga 1450- 1680; Jilid 1, Tanah di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), xix.
[7]
Simanjuntak, Truman, dkk. Daerah Kaki Gunung
Berbagai Tahap Zaman Batu dalam Menyelusuri
Sungai, Merunut Waktu. IRD (Lembaga Penelitian Perancis untuk
Pembangunan). 2006.
[8]
Bonatz, Dominik. 2009. “The Neolithic in the Highlands of Sumatra: Problems of
Defenition”, From Distant
Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highland of Sumatra, hlm.
43-74. Cambridge Scholars Publishing.
[9] WAGNER, FRIZT A., 1995, Indonesia: Kesenian Suatu
Daerah Kepulauan. Tranlated by
Hildawati Sidharta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Depdikbud.
[10] Petani bekerja di lahan
petani yang lain secara bergantian berdasarkan hitungan jumlah hari kerja. Riset Walhi Jambi, 2011
[11] Jika ada keluarga yang
mendapat musibah (misalnya kematian,
kecelakaan atau musibah besar lainnya) maka anggota keluarga terdekat atau
bisa penduduk dusun secara suka rela membantu menyelesaikan pekerjaan yang
mendesak seperti panen padi (nuai), nebas
jerami, merumput (membersihkan
gulma/rerumputan pada areal ladang tempat menanam padi ladang).
[12] meminta bantu kepada keluarga,
tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk (isi alam isi negeri, anak jantan anak betino) untuk membantu
meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen padi (nuai).
[13] Mengelola sawah orang lain
dengan sistem bagi tiga.
[14] Bersama-sama dengan
petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok talang) menanam padi
ladang.
[15]
Riset Walhi Jambi, 2011
[16]
Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra hantu tanah, jumblang
tanah, Betak biuto, Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan rempai, Keluarlah
dari sini. Kalau dak mau keluar, lukah dak kami pampah. Mati dak kami
bangun. Kami membakar yang layu yang rengah. Jin Api. Jin Angin bakarlah
yang layu yang rengah. Dengan pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan
dapat dikendalikan hingga masa menugal.
[17]
Bujang Ibrahim, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya di Daerah
Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jambi, Jambi, 1990, hal.
[18]
Kompas, 19 Juli 2010
[19] Bulog Divisi Jambi, 2010 dalam Hearing Bersama
Komisi III DPRD Prov. Jambi