10 September 2016

opini musri nauli : KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN


Ketika UU No. 10 tahun 2016 (UU Pilkada) disahkan tanggal 1 Juli 2016, reaksi publik belum menimbulkan persoalan.

UU No. 10 Tahun 2016 mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati. UU ini merupakan pengesahan dari Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada. Publik masih diingatkan ketika tarik menarik antara Pemerintah dan DPR yang menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Tarik menarik kepentingan mewarnai paska pilres 2014.
Namun ketika pasal 7 ayat (2) UU Pilkada terutama pasal 7 ayat (2) huruf g dan huruf h mulai dipersoalkan, maka penafsiran hukum kemudian menimbulkan permasalahan dari ranah hukum pidana.

Pasal 7 ayat (2) huruf g menyebutkan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sedangkan didalam pasal 7 ayat (2) huruf h menyebutkan “tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”

Secara sekilas tidak tampak pertentangan antara pasal 7 ayat (2) huruf g dengan pasal 7 ayat (2) huruf h. Namun apabila kita telusuri lebih jauh makna dari kedua pasal, maka kemudian menimbulkan pertentangan antara satu pasal dengan pasal lain atau kedua pasal menimbulkan permasalahan dari asas kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility).

Didalam mekanisme hukum acara pidana, hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan “terbukti atau tidaknya dakwaan jaksa penuntut umum” terhadap kesalahan terdakwa (schuld).

Terhadap terbuktinya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa, maka hakim mempunyai kewenangna untuk menjatuhkan pertanggungjawaban pidana (teorekenbaardheid/criminal responsibility). Termasuk masa hukuman (straftmaacht).

Asas kesalahan (schuld) dan asas pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility) merupakan dimensi yang terpisah. Roeslan Saleh, Moeljatno, Chairul Huda memisahkan antara Kesalahan dengan pertanggungjawaban. Sedangkan Indriyanto Seno Adji, Van Hammel, Djoko Prakoso, Prodjohamidjojo, R Soesilo tidak memisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban.

KUHP memisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban. Pasal 44 – pasal 51 ayat (1) KUHP justru menegaskan. Walaupun adanya kesalahan namun kesalahan yang terbukti tidak dapat dipertanggungjawaban.

Selain itu, hakim mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan yang tidak mesti harus dijalani pidana penjara. Publik mengenal sebagai pidana percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 14 KUHP,  pasal 15 KUHP dan pasal 35 ayat (1) KUHP

Pasal 7 ayat (2) huruf g kemudian disandingkan dengan makna “pertanggungjawaban”, maka menimbulkan permasalahan hukum.

Pertama. Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada kemudian menjadi “algojo” kepada DPR. Fungsi yudikatif yang menjadi wewenang Hakim kemudian “dirampas” oleh DPR.

Padahal, “hak dipilih” dan “hak memilih” dapat dicabut merupakan hukuman tambahan (Pasal 10 huruf b ayat (2) KUHP). Hakim berwenang untuk memberikan hukuman tambahan kepada seseorang. Atau hak memegang jabatan tertentu dicabut berdasarkan pasal 35 ayat 1 KUHP. Namun  hakimpun tidak dibenarkan untuk mencabut hak memegang jabatan tertentu (Pasal 35 ayat (2) KUHP).

Dengan demikian, maka Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada adalah bentuk “arogansi” dan tidak memahami prinsip Negara hukum (rechtstaat). DPR kemudian bertindak “malaikat pencabut nyawa” dan menjadi fungsi legislative sekaligus fungsi yudikatif.

Kedua. Terhadap pemidanaan berdasarkan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility), maka Hakim dapat menjatuhkan pemidanaan dengan bersyarat. Publik mengenal sebagai hukuman percobaan.

KUHP sendiri menegaskan. Hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan hukuman terhadap kesalahan dengan penjatuhan hukuman dengan syarat-syarat tertentu.

“Hukuman percobaan” atau hukuman bersyarat mempunyai makna. Terhadap waktu tertentu berdasarkan putusan hakim, apabila terhukum tidak melakukan pidana, maka terhadap dirinya kemudian tidak dapat dikategorikan sebagai terpidana.

Atau dengan kata lain, walaupun terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan penuntut umum, maka setelah selesai menjalani masa percobaan, maka tidak dapat dikategorikan memenuhi unsur sebagaimana diatur didalam pasal 7 ayat (2) UU Pilkada.

Mekanisme ini sudah diatur didalam pasal 14 KUHP dan Pasal 15 KUHP.

Selain itu juga, Ketentuan ini sudah diuji di MK. Diantaranya Budiman Soejatmiko, Hendri Djosodiningrat. MK  kemudian memberikan putusan yang kemudian menguatkan makna pasal 10 ayat (2) KUHP. Hanya jabatan tertentu yang memerlukan keluhuran seperti hakim yang dikecualikan.

Sehingga pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan konstitusi.

Atau dengan kata lain, pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menjadi tidak relevan untuk diterapkan.

Ketiga. Pasal 7 ayat (2) huruf h UU Pilkada justru menegasikan makna pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Pasal 7 ayat (2) huruf h Pilkada merupakan penghormatan hak asasi manusia yaitu hak untuk dipilih. Hak yang hanya wewenang hakim untuk mencabutnya berdasarkan alasan-alasan tertentu didalam persidangan.

Pertentangan antara pasal 7 ayat (2) huruf h UU Pilkada yang menegasikan Pasal 7 ayat (2) huruf g menimbulkan kerancuan dan ambigu.

Kerancuan antara pasal 7 ayat (2) huruf h UU Pilkada dengan pasal 7 ayat (2) huruf g mengakibatkan tidak tercapainya kepastian hukum (Rechtmatigheid) atau menimbulkan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Dan tentu saja merugikan warganegara yang mempunyai hak untuk dipilih.

Dengan demikian maka pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tidak dapat diterapkan didalam Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Walikota dan Bupati.