Ketika
UU No. 10 tahun 2016 (UU Pilkada) disahkan tanggal 1 Juli 2016, reaksi publik
belum menimbulkan persoalan.
UU
No. 10 Tahun 2016 mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati. UU
ini merupakan pengesahan dari Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1
Tahun 2014 Tentang Pilkada. Publik masih diingatkan ketika tarik menarik antara
Pemerintah dan DPR yang menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
DPRD. Tarik menarik kepentingan mewarnai paska pilres 2014.
Namun
ketika pasal 7 ayat (2) UU Pilkada terutama pasal 7 ayat (2) huruf g dan huruf
h mulai dipersoalkan, maka penafsiran hukum kemudian menimbulkan permasalahan
dari ranah hukum pidana.
Pasal
7 ayat (2) huruf g menyebutkan “tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sedangkan
didalam pasal 7 ayat (2) huruf h menyebutkan “tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap”
Secara
sekilas tidak tampak pertentangan antara pasal 7 ayat (2) huruf g dengan pasal
7 ayat (2) huruf h. Namun apabila kita telusuri lebih jauh makna dari kedua
pasal, maka kemudian menimbulkan pertentangan antara satu pasal dengan pasal
lain atau kedua pasal menimbulkan permasalahan dari asas kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal
responsibility).
Didalam
mekanisme hukum acara pidana, hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan “terbukti atau tidaknya dakwaan jaksa
penuntut umum” terhadap kesalahan terdakwa (schuld).
Terhadap
terbuktinya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa, maka hakim mempunyai
kewenangna untuk menjatuhkan pertanggungjawaban pidana (teorekenbaardheid/criminal
responsibility). Termasuk masa hukuman (straftmaacht).
Asas
kesalahan (schuld) dan asas
pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility) merupakan dimensi
yang terpisah. Roeslan Saleh, Moeljatno, Chairul Huda memisahkan antara
Kesalahan dengan pertanggungjawaban. Sedangkan Indriyanto Seno Adji, Van
Hammel, Djoko Prakoso, Prodjohamidjojo, R Soesilo tidak memisahkan antara
kesalahan dan pertanggungjawaban.
KUHP
memisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban. Pasal 44 – pasal 51 ayat
(1) KUHP justru menegaskan. Walaupun adanya kesalahan namun kesalahan yang
terbukti tidak dapat dipertanggungjawaban.
Selain
itu, hakim mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan yang tidak mesti
harus dijalani pidana penjara. Publik mengenal sebagai pidana percobaan
sebagaimana diatur didalam pasal 14 KUHP, pasal 15 KUHP dan pasal 35 ayat (1) KUHP
Pasal
7 ayat (2) huruf g kemudian disandingkan dengan makna “pertanggungjawaban”,
maka menimbulkan permasalahan hukum.
Pertama.
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada kemudian menjadi “algojo” kepada DPR. Fungsi yudikatif
yang menjadi wewenang Hakim kemudian “dirampas” oleh DPR.
Padahal,
“hak dipilih” dan “hak memilih” dapat dicabut merupakan
hukuman tambahan (Pasal 10 huruf b ayat
(2) KUHP). Hakim berwenang untuk memberikan hukuman tambahan kepada seseorang.
Atau hak memegang jabatan tertentu dicabut berdasarkan pasal 35 ayat 1 KUHP.
Namun hakimpun tidak dibenarkan untuk
mencabut hak memegang jabatan tertentu (Pasal 35 ayat (2) KUHP).
Dengan
demikian, maka Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada adalah bentuk “arogansi” dan
tidak memahami prinsip Negara hukum (rechtstaat). DPR kemudian bertindak “malaikat pencabut nyawa” dan menjadi fungsi
legislative sekaligus fungsi yudikatif.
Kedua.
Terhadap pemidanaan berdasarkan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal
responsibility), maka Hakim dapat menjatuhkan pemidanaan dengan bersyarat. Publik
mengenal sebagai hukuman percobaan.
KUHP
sendiri menegaskan. Hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan hukuman
terhadap kesalahan dengan penjatuhan hukuman dengan syarat-syarat tertentu.
“Hukuman
percobaan” atau hukuman bersyarat mempunyai makna. Terhadap waktu tertentu
berdasarkan putusan hakim, apabila terhukum tidak melakukan pidana, maka
terhadap dirinya kemudian tidak dapat dikategorikan sebagai terpidana.
Atau
dengan kata lain, walaupun terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan
penuntut umum, maka setelah selesai menjalani masa percobaan, maka tidak dapat
dikategorikan memenuhi unsur sebagaimana diatur didalam pasal 7 ayat (2) UU
Pilkada.
Mekanisme
ini sudah diatur didalam pasal 14 KUHP dan Pasal 15 KUHP.
Selain
itu juga, Ketentuan ini sudah diuji di MK. Diantaranya Budiman Soejatmiko,
Hendri Djosodiningrat. MK kemudian
memberikan putusan yang kemudian menguatkan makna pasal 10 ayat (2) KUHP. Hanya
jabatan tertentu yang memerlukan keluhuran seperti hakim yang dikecualikan.
Sehingga
pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan konstitusi.
Atau
dengan kata lain, pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menjadi tidak relevan
untuk diterapkan.
Ketiga.
Pasal 7 ayat (2) huruf h UU Pilkada justru menegasikan
makna pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Pasal 7 ayat (2) huruf h Pilkada
merupakan penghormatan hak asasi manusia yaitu hak untuk dipilih. Hak yang
hanya wewenang hakim untuk mencabutnya berdasarkan alasan-alasan tertentu
didalam persidangan.
Pertentangan
antara pasal 7 ayat (2) huruf h UU Pilkada yang menegasikan Pasal 7 ayat (2)
huruf g menimbulkan kerancuan dan ambigu.
Kerancuan
antara pasal 7 ayat (2) huruf h UU Pilkada dengan pasal 7 ayat (2) huruf g
mengakibatkan tidak tercapainya kepastian hukum (Rechtmatigheid) atau menimbulkan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Dan tentu saja
merugikan warganegara yang mempunyai hak untuk dipilih.
Dengan
demikian maka pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tidak dapat diterapkan
didalam Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Walikota dan Bupati.