Akhir-akhir ini wacana “hukuman penjara” dan “hukuman percobaan”
menjadi wacana yang cukup ramai perhatian public. Materi hukuman penjara dan
hukuman percobaan merupakan salah satu materi yang menjadi perhatian didalam
KUHP.
Tema “hukuman penjara” dan hukuman percobaan” terletak didalam
dimesi “pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)”.
Namun yang mengganggu pikiran saya apabila disampaikan oleh
masyarakat umum, saya memahami dalam konteks memandang hukum dari berbagai
sudut pandangan. Namun apabila disampaikan oleh kalangan hukum, maka wacana “kesalahan
(schuld)” dan pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)”
menjadi ranah yang mengganggu pikiran saya.
Pertama. Hakim tidak tunduk kepada Surat Tuntutan Jaksa penuntut
umum. Hakim sama sekali tidak terikat terhadap surat tuntutan yang disampaikan
oleh Jaksa penuntut umum termasuk dengan masa hukuman (straftmatcht). Lihatlah
Putusan MA No. 47/Kr/K/1956 tanggal 28 Maret 1957 “yang menjadi dasar
tuntutan pengadilan ialah surat tuduhan, jadi bukan tuduhan yang dibuat oleh
polisi”. Atau Putusan MA No. 68
K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 “putusan pengadilan haruslah didasarkan
pada tuduhan. Sehingga hakim
kemudian “melihat” surat dakwaan dan melihat pembuktian. Apakah “dakwaan” yang
dituduhkan terbukti atau tidak.
Problema menjadi mudah apabila
“kesalahan” dapat dibuktikan pelaku dapat dipertanggungjawabkan (prinsip
Crime Liability). Teori ini dikenal teori
pertanggungjawaban pidana seperti teorekenbaarheid, Criminal Responbility,
Criminal Liability yaitu teori untuk menentukan apakah seorang
tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi
atau tidak. Artinya perbuatan pidana tersebut dilakukan bersifat melawan hokum.
Kedua. Tema “kesalahan (schuld)”
dan “pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” merupakan
tema yang menarik didalam kajian ahli hukum.
Padahal Asas kesalahan (schuld)
dan asas pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)
merupakan dimensi yang terpisah. Roeslan Saleh, Moeljatno, Chairul Huda
memisahkan antara Kesalahan dengan pertanggungjawaban. Sedangkan Indriyanto
Seno Adji, Van Hammel, Djoko Prakoso, Prodjohamidjojo, R Soesilo tidak memisahkan
antara kesalahan dan pertanggungjawaban.
KUHP memisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban. Pasal 44 –
pasal 51 ayat (1) KUHP justru menegaskan. Walaupun adanya kesalahan namun
kesalahan yang terbukti tidak dapat dipertanggungjawaban.
KUHP kemudian merumuskan alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden)
atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid”
dan memaafkan si pelaku
(“feit d’xcuse”). Lihatlah didalam
pasal pasal 44 (orang gila), pasal 45 KUHP anak dibawah umur agar dikembalikan
kepada orang tuanya, Pasal 48 KUHP (keterpaksaan /overmacht), Pasal 49 ayat (1) KUHP (mempertahankan dirinya atau
orang lain (noodweer) dan 50 ayat
(1) dan Pasal 51 ayat (1) KUHP (orang yang menjalankan perintah undang-undang/
perintah jabatan).
Dengan demikian, maka apabila telah terjadinya tindak pidana, maka
“asas pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” juga harus
dibuktikan. Tidak sertamerta ketika terjadinya tindak pidana, maka terdakwa
kemudian harus “bertanggungjawab”.
Ketiga. Didaalam praktek hukum acara pidana, pembuktian terhadap ““asas
pertanggungjawaban (torekenbaardheid/criminal responsibility)” merupakan tema
menarik untuk didiskusikan.
Berbagai perangkat perundang-undangan (sebaga contoh UU Perusahaan
Terbatas, atau asas tindak pidana korporasi) menempatkan “siapa yang harus diminta pertanggungjawaban dimuka hukum”. Kesalahan “menempatkan” siapa yang harus
bertanggungjawab dimuka hukum” mengakibatkan “kesalahan orang” maka Apabila
identitas orang adalah salah, maka orang itu haruslah bebas dari putusan
hukuman.
Dengan demikian maka terbuktinya perbuatan yang dituduhkan kepada
terdakwa, maka hakim mempunyai kewenangna untuk menjatuhkan pertanggungjawaban
pidana (teorekenbaardheid/criminal responsibility). Termasuk masa hukuman (straftmaacht).
Selain itu, hakim mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan
yang tidak mesti harus dijalani pidana penjara. Publik mengenal sebagai pidana
percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 14 KUHP, pasal 15 KUHP dan pasal 35 ayat (1) KUHP
Terhadap pemidanaan berdasarkan pertanggungjawaban
(torekenbaardheid/criminal responsibility), maka Hakim dapat menjatuhkan
pemidanaan dengan bersyarat. Publik mengenal sebagai hukuman percobaan.
KUHP sendiri menegaskan. Hakim mempunyai kewenangan untuk menentukan
hukuman terhadap kesalahan dengan penjatuhan hukuman dengan syarat-syarat
tertentu.
“Hukuman percobaan” atau hukuman bersyarat mempunyai makna. Terhadap
waktu tertentu berdasarkan putusan hakim, apabila terhukum tidak melakukan
pidana, maka terhadap dirinya kemudian tidak dapat dikategorikan sebagai
terpidana.
Atau dengan kata lain, walaupun terbukti melakukan tindak pidana
berdasarkan dakwaan penuntut umum, maka setelah selesai menjalani masa percobaan,
maka tidak dapat dikategorikan memenuhi unsur sebagaimana diatur dakwaan
Mekanisme ini sudah diatur didalam pasal 14 KUHP dan Pasal 15 KUHP.
Berbagai penerapan “hukuman percobaan” sudah jamak diterapkan
didalam berbagai kasus-kasus yang menarik perhatian public. Kasus yang menimpa
aktivits mahasiswa pada awal-awal reformasi merupakan salah satu bagian dari
proses penerapan “hukuman percobaan’.
Padahal apabila disandingkan dengan surat dakwaan, ancaman pasal
yang dikenal cukup beragam. Baik dengna “tuduhan” pasal seperti “membawa sajam”
yang dapat diancam hukuman mati, “merusak property” seperti menghancurkan kaca
DPRD, merobohkan pagar Polda Jambi yang dapat diancam dengan “penjara 4 tahun”
atau pasal-pasal yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik’.
Menurut catatan penulis, hakim menerapkan masa percobaan 1-2 tahun. Bahkan
“walaupun” ancaman membawa senjata tajam” dapat dikategorikan sebagai “hukuman
mati” namun atas kebijaksanaan hakim, para pelaku hanya dikenakan percobaan 2
tahun.
Dengan demikian maka penerapan “hukuman percobaan” sudah jamak
diterapkan di berbagai Pengadilan Negeri.
* Advokat