18 September 2018

opini musri nauli : MILENIAL

 

“Bang, kok warung bakso tuh tutup”, Ujar istriku heran. Padahal tempatnya salah satu tempat favorit dan tempat yang rutin dikunjungi. Entah menghabiskan waktu akhir pekan. Atau cuma sekedar menikmati baksonya. Warung bakso cabang dari Jawa. Terkenal enak dan susah dicari tandingannya.

“Mungkin kurang promosi”, jawabku sekenanya. Akupun tidak mengerti.

Ya. Sudah kuperhatikan. Satu tahun terakhir sudah tutup. Kurang laris dan terkesan tidak laku. Bahkan plang bertuliskan “Tempat ini disewakan” terlihat jelas. Lengkap dengna nomor HP pemilik rumah.

Berbanding terbalik dengan tempat-tempat lain. Bahkan akhir-akhir ini justru tumbuhnya berbagai tempat nongkrong anak muda yang “rasanya” tidak dikenal dengan lidahku.

Rumah makan padang, warung sate, lontong di Simpang Pulai, warung soto di telanapura justru tempat langgananku. Tidak tergantikan dengan tempat-tempat nongkrong anak muda.

Ya. “masalah perut” tidak mungkin tergantikan. Bahkan “seakan-akan menu wajib”, harus menikmati nasi padang diberbagai kota. Entah di Jawa ataupun diluar Indonesia. Tidak lengkap “lidah” tidak mencicipi cabe dan santan yang berkuah. “Tidak nikmat hidup nih” pikiranku.

Akupun teringat kisah perusahaan HP terkenal. Nokia. Yang kemudian menghentikan produksinya disebabkan “kalah bersaing” dengan HP keluaran terbaru dari Korea, Jepang. Bahkan Tiongkok kemudian membanjiri Indonesia. Mengalahkan jumlah produksi yang membuat Nokia kemudian roboh. Tumbang dengan seiring zaman.

Atau perusahaan Bluebird yang kemudian “meraung” melawan Go-jek atau Grab. Solusi angkutan online menghadapi kemacetan Jakarta.

Sebagai pengelana, penggunaan angkutan online tidak dapat dihindarkan. Dengan fasilitas aplikasi, harga terjamin, menggunakan GPS, tidak perlu mutar-mutar, langsung menunggu didepan pintu rumah bahkan mengantar ke tempat tujuan tanpa harus bertanya kiri kanan. Go jek kemudian “booming” dan Bluebird kemudian bergabung dengan Gojek.

Ya. Generasi baru telah lahir. Generasi yang “memutuskan mata rantai” pasar yang dikuasai para pedagang. Memotong rantai jalur distribusi. Menyebabkan harga menjadi murah dan kompetitif. Lengkap dengna pelayanan maksimal.

Dengan sekali “klik” semua pelayanan langsung diantarkan. Entah mengantarkan makanan, mengantarkan kiriman atau berbagai pelayana lain.

Belum lagi fasilitas “beli-tunai”. Dengan sekali “klik” gambar dan barang yang diinginkan, paling lama 2 hari sudah datang ekspedisi sudah datang mengantar.

Kemajuan yang tidak mungkin dibendung. Kemajuan yang tidak bisa dihindarkan. Kemajuan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan generasi milenial.

Pengalaman mudik “dikuasai” para putra-putriku. Memasuki satu kota hendak istirahat menempuh perjalanan jauh, dengan menggunakan aplikasi entah “booking” online, fasilitas hotel, gambar, jarak dari pusat pasar langsung bisa dipesan. Lengkap harga dan berbagai fasilitasnya. Tinggal “klik”. Beres sudah.

Cerita ini saya dapatkan ketika tokoh nasional yang berkunjung ke Jambi. Sembari bergurau saya tanyakan “mana stafnya, pak ?. Kok tidak diajak ?”. Padahal aku tahu persis. Sang staf baru pertama kali ke Jambi.

“Susah, anak muda sekarang, pak Nauli. Sebelum ke Jambi, dia sudah browsing tempat makanan dan tempat nongkrong. Sehabis makan malam tadi, dia sudah pesan go-car dan menuju tempat yang diketahuinya’.

Dunia milenial adalah dunia “keterbukaan’. Dunia yang memberikan informasi apapun didunia maya. Entah informasi, petunjuk, jalur ataupun berbagai informasi yang diperlukan.

Dalam kesempatan terpisah, saya berbicang-bincang mengenai satu tokoh nasional. Sayapun kemudian ngotot tokoh yang dimaksudkan adalah “alumni” dari kampus A. Dengan santai lawan bicara membantah sembari menunjukkan informasi tentang kampus B. Sembari menunjukkan situs yang memuat informasi. Sayapun kemudian kagok. Tidak mungkin membantah dengan informasi yang valid. Kata orang Jambi “mengaji diatas kitab”. Diskusi harus sesuai dengan sumber informasinya.

Tradisi ini sudah saya perhatika apabila saya bertemu dengan generasi milenial yang lain. Sehingga saya berkeyakinan mereka mempunyai informasi yang luas tentang tema-tema diskusi tertentu. Termasuk sembari menguasai informasi-informasi penting.

Hingga sekarang saya cuma bisa senyum-senyum apabila ada yang mengaku dari kampus A atau dari kampus B tentang alumni siapapun yang bercerita di public.

“Jadi, Kalo orang yang nyantri bisa diketahui pesantrennya dimana, ya ?”, pikiranku sekena.

“Udah, ah. Diskusi yang lain aja” sembariku bergegas mandi pagi.