Terhadap
pelanggaran “pantang larang” kemudian dijatuhi sanksi yang dikenal sebagai “denda
adat (Sanksi)”. Sanksi diberikan baik terhadap tanah yang ditinggalkan,
melanggar terhadap pengaturan tentang hutan dan tanah (hukum rimbo dan hukum patanahan)
dan hukuman terhadap ketidakmauan untuk mematuhi sanksi.
Di
Marga Batin Pengambang, Desa Tambak Ratu[1],
dikenal “mengepang”, “belukar tuo”, datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”, “Nasi
putih air jernih”.
Tanah
yang telah ditebang kemudian diberikan tanda dengan kayu berkait (Mengepang). Apabila tidak
dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.
Walaupun sudah dikerjakan dengna cara membuat tanda kayu (kayu berkait) namun
apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun maka haknya menjadi hilang. Tanah
kemudian kembali ke desa (Belukar tuo).
Sedangkan terhadap masyarakat diluar desa setelah
membuko rimbo melalui prosesi adat “datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”,
namun selama 3 tahun kemudian tidak kerjakan maka tanah kemudian menjadi
hilang. Begitu juga kemudian meninggalkan Desa maka tanah kemudian ditinggalkan
dan menjadi milik desa. Kemudian dikenal “Harta berat ditinggal.
Harta ringan dibawa”.
Di Masyarakat Datuk Sinaro Putih[2]
terhadap pelanggaran seperti tidak memberikan tanda batas, maka pemilik tanah
dapat menikmati hasilnya. Sedangkan apabila telah diberikan tanda maka terhadap
penggarap kemudian dijatuhi sanksi berupa “ayam sikuk, beras segantang, seasam
segaram.
Begitu juga melakukan kegiatan berladang tidak
sompak, kompak dan setumpak, diberikan sanksi sesuai dengan keputusan sidang
adat.
Pelanggaran semakin berat apabila mengambil
sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestarian, merusak sanksinya kambing
sikuk boreh duo puluh kain empat kayu dan seasam segaram.
Sedangkan
melakukan
pemanfaatan sumberdaya alam desa, dan tidak membayar sumbangan untuk desa, yang
bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan sehari-hari. Termasuk juga
mengambil binatang liar yang boleh dimakan dan tidak membaginya
kepada pimpinan adat, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengambil
kembali dikemudian hari.
Sanksi lebih berat diberikan apabila kemudian
merusak. Sanksi berupa kobau sikok.
Marga
Pemayung Ilir[3], Terhadap
“buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa
dikenal dengan penamaan lain seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu
kleko”. Di Marga Sumay dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal
“mentaro”.
Sedangkan
tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan
maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan
sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.
Di Marga Kumpeh Ilir, terhadap pelanggaran adat Terhadap pelanggaran
“pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan
melalui proses adat[4]. Selain
itu terhadap tanah yang telah dibuka namun tidak dikerjakan maka dijatuhi
sanksi adat. Berupa “bubur putih.
Setelah diberikan denda adat atau sanksi terhadap
tanah yang tidak dikerjakan maka kemudian sanksi diberikan terhadap pelanggaran
terhadap tanah.
Di Marga Batin Pengambang, Di Desa Sungai Keradak[5],
tingkatan sanksi dikenal “Tegur ajar. Guling Batu”. Tegur Ajar diberikan sanksi
adat seperti “Membuka lahan kebun
orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin
kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak
keamanan.
Sedangkan
Guling Batu terdiri darI Membuka tempat yang dilarang, Orang luar membuka hutan
tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat
kenduri.
Desa
batu Empang[6]
dan Desa Simpang Narso[7],
tegur sapa berupa teguran pertama denda beras segantang dan ayam 1 ekor.
Sedangkan Tegur Pengajar berupa teguran kedua jika masih berbuat juga denda
beras 20 dan gantang kambing 1 ekor. Dan Denda Guling Batang, teguran terakhir
denda beras 100 gantang dan kerbau 1 ekor.
Di
Marga Batang Asai Tengah[8],
Tegur Sapo
diberikan terhadap pelanggaran seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu
hewan yang dilarang dan membuka hutan diluar aturan adat.
Tegur Sapo diberikan
terhadap pelanggaran seperti Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah
dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan. Sedangkan Guling
Batu terhadap pelanggaran seperti Membuka tempat yang dilarang., Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek
mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.
Di
Marga Sungai Tenang mengenal denda adat denda adat yaitu beras 20 kambing 1 ekor selemak
semanis
yang dijatuhi
apabila tidak mau mengikuti aturan adat termasuk
dalam mengelola sumberdaya alam di wilayahnya, mako biso kawi
turun ke bumi, padi ditanam ilalalang tumbuh, kunyit ditanam putih isinyo,
harimau maruh sepanjang maso, bahalak turun setiap waktu, air keruh ikannyo
liar, rumput kering kerbaunyo kurus, mencari tidak berulih emas, baumo tidak
mendapat padi, silang sengketo selalu tumbuh, penyakit taa’un dan layao tidak
kunjung henti. Kepala Adat jatuh dipemanjat, hanyut diperenang, disapo oleh pusako maka Kepala Adat
diberhentikan dan diajatuhi sanksi berupa denda dua kali lipat dari penduduk
biasa.
Di
Desa GedangSanksi
Adat [9], Denda adat
berupa “kambing Sekok, beras 20” dan “kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail
Separuh.
Kambing Sekok, beras 20,-. Denda
dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang yang membuka rimbo tanpa
sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo.
Sedangkan
kambing
Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20
gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanah kepada orang luar. Penjualan
dibatalkan dan tanah kembali ke penghulu.
Dan kambing
Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20
gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanpa sepengetahuan Penghulu/nenek
mamak[10].
Di
Desa Kotobaru[11], sanksi adat
dijatuhkan terhadap pelanggaran
Peraturan Desa kambing Sekok, beras 20,-, selemak-semanis dan uang Rp
2.500.000,[12].
Di Desa Tanjung Benuang dikenal “kambing sekok, beras 20, email 7 tahil
sepaho” dan “beras 2 ayam”.
Kambing Sekok, beras 20,-, emas 7 tail
sepaho. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan uang Rp.
750.000,- Tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung apabila “yang membuka rimbo tanpa
sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo”, atau “Menjual
tanah kepada orang luar. Sedangkan tanahnya kembali ke penghulu”, “Membuka
hutan padahal tidak ada hak”, “Warga Desa yang sebelumnya berasal dari luar
desa yang memiliki
tanah apabila menjual tanah,
maka jual beli tidak sah. Pembeli
dijatuhi hukuman.
Sedangkan tanahnya kembali ke desa” dan “Tidak melaksanakan putusan adat”.
Sedangkan
“Beras
2 ayam 2. Denda” dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua ekor apabila
KATO DAK SERENTAK, RUNDING DAK SELUKUR”
dan “Membuka hutan
bukan pada waktu yang ditentukan[13].
Di
Desa Tanjung Alam Sanksi Adat berupa
”kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-“.
Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp
500.00,- Tanah kembali ke penghulu, yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan
Penghulu dan “kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan
Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Selain itu
ditambah “TINGGI TIDAK DIKADAH, RENDAH TIDAK DIKUTUNG. yang menjual tanah
kepada orang luar,
Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir
dan tanah kembali ke Penghulu[14].
Di Desa Tanjung Mudo Hukuman adat dijatuhi
Kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing,
Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu.
Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir
dan tanah kembali ke Penghulu[15].
Di Marga Senggrahan Desa Durian Rambun,
sanksi diberikan seperti “menjual kawasan hutan adat” dengan sanksi yang berat
yaitu denda
1 ekor kerbau, 100 gantang beras, 100 buah kelapa, serta selemak semanis dan
lahan penjualan dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun”, ”penebangan
liar di kawasan hutan adat dengan maksud untuk menjual kayu hasil tebangan
tersebut di dalam kawasan Hutan adat”, ”merambah Hutan Adat”. Merambah hutan
adat juga ditambah dengan denda uang sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta) per
hektar serta kawasan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun.
Denda kambing, 20
gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanis terhadap pelanggaran seperti mengambil
hasil hutan tanpa izin”, ”mengambil tanaman manau dan menebang tanaman
buah-buahan di kawasan hutan adat, ” meracun ikan dan dengan alat lain yang
merusak ekosistem ikan pada kawasan hutan adat”, ”menutuh” petai, ” berburu memburu rusa, kijang dan
satwa yang dilindungi
Bahkan hasil manau di kembaikan ke masyarakat adat durian rambun.
Apabila ketentuan
sanksi tidak dapat dilaksanakan maka pelaku pelanggaran akan diajukan ke hukum
Negara oleh Kepala desa setelah mendapat
laporan dan masukan dari Lembaga adat[16].
Marga
VII Koto[17], Pelanggaran adat dijatuhi
denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh,
selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau
sekok, beras seratus, selemak-semanis” [18].
Terhadap
pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah
ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane.
Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau[19]”
Di
Marga Sungai Tenang dikenal “Plali”.
Seloko “Bapak
pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.
Namun apabila kemudian ”sang kena denda”
meminta maaf dan mau membayar denda, maka harus dilakukan upacara adat untuk
menyelesaikannya.
Karena ”Raja
tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar
Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka
dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung.
Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak
betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan
buntang kepada Langau.
Di
Marga Pemayungan Desa Pemayungan[20],
“Tidak boleh menebang hutan keramat (Tanah penggal,
Bulian berdarah, Bukit Selasih, Pasir embun). Sanksinya kain putih 300 kayu,
kerbau tiga, beras 300 gantang, kelapa 300, selemak semanis seasam segaram,
kayu dikembalikan ke desa, diusir dari kampung dan dilaporkan kepada Polisi[21].
Muara
Sekalo[22], Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing,
selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.
Desa
Semambu[23], Kerbau sekok, beras 100 gantang, selemak semanis,
hukum Depati apabila menebang Pohon sialang. Hilang mati. Tidak usah diurus apabila membuka
hutan tanpa pemberitahuan kepada penghulu. Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul. Apabila
sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat diberikan
keringanan sesuai dengan kemampuannya.
Desa
Desa Suo-suo Sanksi[24] Sanksinya
adalah ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis.
Di
Dusun Talang Mamak Simarantihan[25],
Terhadap pelanggaran adat dikenal sanksi berupa ayam sekok beras segantang
selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis dan
kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis.
Gantang terdiri dari 4
cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12
canting. Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal
pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai
wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.
Selain
itu dikenal Selendang matahari, timban tasik (piring) dan tongkat bumi
(tombak). Setiap pelanggaran harus mencantumkan selendang matahari, timban
tasik dan tongkat bumi.
Marga
Pemayung Ilir[26], Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai
“cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain
seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay
dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal “mentaro”.
Sedangkan
tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan
maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan
sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.
Di
Marga Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur Sanksi[27] dijatuhkan Terhadap
pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya
ditetapkan melalui proses adat
Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling
lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami
maka akan dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih.
Di Desa Sogo Terhadap pelanggaran “pantang larang”
dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat[1].
Di Desa Sponjen “Terhadap pelanggaran “pantang
larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui
proses adat. Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun.
Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan
dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih[28]
Didalam
Marga Maro Sebo Desa Rukam “Menempuh yang besawah atau merubah sebuah keputusan
mengorak yang bereboh[29].
Marga
Tungkal Ulu[30], Pengingkaran
terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung
tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”.
Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang
sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko
”Bebapak pado harimau, Berinduk pada
gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut
“orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau
menaati sanksi yang telah dijatuhkan.
Sedangkan
Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering
disebutkan didalam seloko “Gajah yang
begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.
Di
Marga Tungkal Ilir Desa Serdang Jaya[31].
Sanksi Areal Parit Cabang yang terletak di RT 12 Desa Makmur Jaya tidak boleh
diperjual-belikan, Terhadap penjualan
tanah di Parit Cabang RT 12 Desa Makmur Jaya maka tanah dikembalikan kepada
Tanah Kas Desa Makmur Jaya, Sedangkan terhadap penjual maupun pembeli dijatuhi sanksi
oleh masyarakat. Selain itu akan dilaporkan kepada proses hokum[32].
Desa
Makmur Jaya[33] SANKSI Wilayah
Hutan Lindung Gambut (HLG) yang berada di Dusun Sri Menanti Desa Serdang Jaya
tidak boleh diperjulan belikan. Apabila
terdapat proses jual beli di wilayah HLG maka hak atas tanah tersebut
dikembalikan ke pemerintah Desa Serdang Jaya. Pembeli maupun penjual tanah di HLG akan
diberikan hukuman oleh masyarakat. Apabila
lahan yang telah dibuka namun tidak dikelola selama 5 tahun, lahan tersebut
statusnya dikembalikan ke desa[34]..
Di
Marga Sabak/Dendang, Desa Sungai Beras, Berdasarkan kesepakatan, zona lindung harus
dilindungi dan tidak boleh dirusak, sanksi bagi
pelanggar akan diserahkan kepada pihak berwajib. Bagi lahan yang telah
terlanjur digarap oleh masyarakat yang berada pada kawasan hutan tidak
diizinkan melakukan perluasan, untuk pemanfaatan tanaman perkebunan
seperti sawit diizinkan satu periode,
nantinya diaharuskan mengganti dengan tanaman kehutanan.
Sama halnya dengan satwa dan tanaman yang
dilindungi dilarang untuk ditangkap, bagi pelanggarkan akan diserahkan kepada
pihak berwajib guna diproses secara hukum dengan acuan undang-undang
perlindungan satwa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Terhadap pelanggar
yang memasuki Hutan Desa tanpa izin dapat dikenakan sanksi Undang - Undang
Kehutanan. [35]
Dan
di Marga Berbak Untuk menegakkan hukum adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’.
Istilah Tegur ajar juga dikenal di Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan
dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [36].
Selain
itu terhadap penjatuhan sanksi adat atau denda adat kemudian tidak dipatuhi
maka dikenal “plali’. Yang ditandai dengan Seloko seperti Bebapak Kijang.
Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa
dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa (Marga Batin
Pengambang).
Di
Marga Sungai Tenang kemudian juga dikenal Pelalo Rendah. Kalau tidak mau tunduk
hukuman yang yang dijatuhkan Kepala Adat, maka dijatuhkan hukum pelalo
rendah, yaitu : tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado
harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao, maka sejak saat itu
yang melakukan perbutan dikeluarkan dari tanggung jawab Kepala Adat, tidak
boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang
tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk
dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟
yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya.
Pengingkaran
terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung
tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”.
Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang
sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko
”Bebapak pado harimau, Berinduk pada
gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut
“orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau
menaati sanksi yang telah dijatuhkan[37],.
Sedangkan
Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering
disebutkan didalam seloko “Gajah yang
begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.
[4] PERATURAN DESA SUNGAI
BUNGUR No. Tahun 2016 TENTANG PIAGAM
TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
[9] Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[10] Pasal 8 Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[15] Pasal 8 PERATURAN DESA TANJUNG
MUDO NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
[17] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[18] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[19] Langau adalah “lalat hijau”
[20] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
[21] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
[22] Muara Sekalo, Maret 2013
[23] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[25] Kepala Dusun Fahmi dan Patih
Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[29] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus
2017
[30] M. Syafe’I Achmad, mantan
Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
[36] Desa Rantau Rasau, Kecamatan
Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
[37] M. Syafe’I Achmad, mantan
Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016