06 September 2018

opini musri nauli : POLEMIK GANTI PRESIDEN


Akhir-akhir ini tagar #gantipresiden2019 (tagar) mewarnai wacana public. Berbagai pandangan kemudian menempatkan apakah tagar merupakan makar atau kebebasan berpendapat (freedom of speech).  

Untuk menentukan apakah tagar merupakan hak mengemukakan pendapat sebagai kebebasan berpendapat (freedom of speech) atau sudah termasuk kedalam kategori makar maka kita harus melihat berbagai peraturan yang berkaitan.

Didalam ranah HAM, dikenal hak yang tidak boleh dikurangi (Non-derogable rights)  dan hak yang dapat dikurangi (derogable rights). Didalam Pasal 28I ayat (1) konstitusi disebutkan hak yang tidak boleh dikurangi (Non-derogable rights) terdiri dari  “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Hak inilah yang kemudian dikenal sebagai hak yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. “Dalam keadaan apapun” termasuk dalam keadaan peang, sengketa bersenjata dan dalam keadaan darurat. (Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Diluar daripada pasal 28I ayat (1) maka hak-hak dikenal sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable rights). Derogable rights adalah hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu. Dan dapat dikurangi (non permanen).

Salah satunya hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech). Didalam pasal 28 disebutkan Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Maka kita kemudian mengenal UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan pendapat dimuka umum. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, UU No. 11 tahun 2008 junto UU No. 19 tahun 2016 Tentang  Informasi Transaksi Elektronik.

Dengan demikian maka hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech) dikategorikan sebagai hak yang dapat dikurangi (Derogable rights) yang kemudian diatur didalam UU No. 9 Tahun 1999, UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan UU No. 11 Tahun 2008 junto UU No. 19 Tahun 2016.

Lalu apakah ketika tagar disampaikan kemudian dapat dikategorikan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech) ?

Secara sekilas banyak yang berpendapat mengatakan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech). Namun apakah demikian adanya ?

Mari kita telusuri satu persatu.

Pertama. Apakah tagar #gantipresiden hanyalah sekedar aspirasi semata. Bukankah berbagai fakta-fakta sudah membuktikan.

Berbagai deklarasi yang pernah dilakukan lebih banyak berisikan ujaran kebencian, hasutan bahkan menggunakan berbagai tema-tema diluar pilpres.

Masuknya issu “ganti sistem’, khilafah menumpang di agenda kemudian membuktikan. Ini bukan sekedar hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech). Tapi bermotif politik.

Tema seperti “ganti system” atau khilafah merupakan agenda terselubung untuk merongrong negara.

Selain itu Forum-forum yang netral dari urusan politik seperti ibadah haji ataupun penempelan stiker di pembagian air zamzam justru digunakan.

Sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech).

Jadi. Jelaslah. Motivasi politik yang kemudian menggunakan idiom hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech).

Kedua. #GantiPresiden 2019 mengandung perdebatan simantik. Ganti Presiden tidak sertamerta kita tempatkan sebagai “peralihan kekuasaan” pilpres 2019. Tidak sesederhana demikian.

Makna #gantiPresiden 2019 menimbulkan tafsir konstitusional. Negara kita mengenal peralihan kekuasaan yang kemudian disepakati melalui jalur Pemilihan Presiden. Bukan gantipresiden. Makna ini kemudian menjadi bias dan tidak mempunyai sandaran konstitusional.

Pasal 168 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menyebutkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan.

Dengan demikian maka mekanisme pergantian pilpres 2019 sudah ditentukan. Termasuk waktu. Lalu mengapa menggunakan determinan istilah #gantipresiden2019. Bukankah akan menimbulkan kerancuan.

Sehingga dari pendekatan gramatikal maka mengalami reduksi hakekat pemilihan Presiden yang telah diatur didalam UU Pemilu.

Ketiga. Menyamakan Tagar #gantipresiden2019 dengan keadaan tahun 1998 adalah keliru dan tidak tepat (tidak equal).

Pada masa Soeharto dikenal paket UU Politik. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum; (2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPR/MPR; (3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; (4) UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum; (5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

UU Ini kemudian dicabut sehingga kondisi politik 1998 (zaman Soeharto) menjadi tidak tepat. Sehingga menjadi tidak tepat dan relevan kemudian menyamakan keadaan 1998 dengan 2018.

Keempat. Tagar #gantiPresiden2019 dapat dikategorikan “menggulingkan pemerintahan yang sah”. Ganti Presiden adalah makna simbolik terhadap keinginan untuk mengganti Presiden hasil Pilpres 2014.

Bukankah makna “mengganti” sebelum pilpres merupakan upaya serius terhadap kepemimpinan yang sah. Pasal 107 KUHP “Maka yang dilakukan dengan sengaja maksud untuk menggulingkan Pemerintah diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.

Pasal 107 KUHP pernah diuji di MK. MK justru memberikan pertimbangan “Pasal makar dan permufakatan jahat diperlukan untuk mengatur kejahatan yang mengancam kesatuan negara. Pasal-pasal tersebut juga untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat. Selain itu justru melindungi kepentingan negara, memberikan perlindungan kepada diri pribadi, keluarga pada rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan atas perilaku tindak pidana makar.

Melihat perkembangan tagar yang tidak dapat dikategorikan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech) dan bermotif politik maka dapat dimengerti kemudian adanya penolakan diberbagai daerah. 



Advokat. Tinggal di Jambi 


Dimuat di  Jambiberita.com, 6 September 2018

http://jamberita.com/read/2018/09/07/3841/polemik-ganti-presiden/