Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tatacara penyelesaian
dimulai dengan seloko “Keruh air dihilir balek kemudik”, “Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu
digunggung musang” atau “Kalau anak tahu
di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul. Lihatlah
pulo dari asal”.
Di Marga Sumay dikenal “tumbuh diatas tumbuh”[1].
Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh
diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan
bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”[2]. Di Marga
Pelepat dikenal “Seloko
“Nengok tumbuh”[3].
Ungkapan
adat didalam menyelesaikan perselisihan “Apabila
duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu
kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama
ditarah”, ”Adat duduk bermusyawarah. Bertampan hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya
yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk’,
Tiung
bak tiung bunyinyo ungko. Sambil melompat menggendong anak. Singgah
memakan si buah pauh. Minta ampun pado nan tuo. Minta maaf pada nan banyak. Padamu bathin kami menyimpuh
“Jiko
tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang
bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan
ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh
matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo
pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing. Serenteh
bumbun.
Bilo urusan
sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak bejalan. Hilang
berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak. Bak batu jatuh
ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin. Hitam betungkus
bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik, dinteh di ateh dak
tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya[4].
Cara dimulai dari Seloko “Sirih
senampan. Keris nan sebilah. Kok tinggi pusako rajo dijuluk dengan yang sebatang.
Kok rendah pusako rendah kok
dengan keris nan sebilah. Kusut minta
diusaikan. Keruh minta dijernihkan[5].
Di
Marga Batin Pengambang Desa Sungai Keradak[6], Seloko dimulai “Bilo
tepijak di Gunung Arang hitamlah tapak. Bilo tesuruk di Gunung Kapur putihlah
punggung. Bilo Tetempuh dipintu salah,
tetap betang. Bilo telangkah di agamo tetaplah beduso.
Karena
itu, salah dikaku benar diantarkan. Salah sesamo. Hamba minta maaf. Salah
kepada Tuhan betubat. Utang bebaye, piutang diterimo. Tahu diutang kecik
diutang. Dak tahu diutang, utang gedang. Utang kecik dibayar lunas, utang
gedang nan diangsur. Adat utang nan bek gudam-bekhugguh. Besikhi-bealamat.
Bejanji besamayo. Janji nan didepat. Semayo nan ditunggu. Ikrar di uni.
Cara menyelesaikan Tata Cara menyelesaikan persoalan yang
biasa dikenal dengan istilah “jenjang
adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Atau Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai.
Barulah diselesaikan di tingkat Desa.
Di Marga Batin Pengambang dikenal Tegur Sapo.
Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Merupakan mekanisme dan tahap “betangkap
naik, bertangga turun didalam upaya menyelesaikan perselisihan, dimana
adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat. Di Margo Sungai Tenang
dikenal “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis,
memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,
menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku
Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.
Di Desa Lubuk Mandarsyah, Prosesinya
dimulai dari Pihak “tuo tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk
menyampaikan “habibul hajat (maksud dari pengundang) meminta maaf kepada
keluarga korban dan masyarakat yang terganggu dengan “kesalahan dari anak
kemenakan”.
Setelah mendengarkan “habibul hajat
(maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari
“tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.
Lembaga adat kemudian menetapkan
sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris,
100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)
Kemudian ditanyakan kepada “tuo
tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai”
menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian
“diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan menyampaikan
kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo tengganai telah
mampu membayar sanksi adat”[7].
Di Talang Mamak Dusun
Simarantihan, prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih
Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat[8].
Ikrar Sirih gambir
mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi
sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.
Dengan demikian maka para pihak yang
Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak
dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham” dapat menyelesaikan
dengan baik. “
Jangan hendaknya rumah sudah paek
bedengkang. Api padam puntung berasap. Runding Sudah ciak bebunyi. Jalo teambur
tali tesangkut. Hari siang bulan mungko tumbuh.