Akhir-akhir
ini tagar #gantipresiden2019 (tagar) mewarnai wacana public. Berbagai pandangan
kemudian menempatkan apakah tagar merupakan makar atau kebebasan berpendapat
(freedom of speech).
Untuk
menentukan apakah tagar merupakan hak mengemukakan pendapat sebagai kebebasan
berpendapat (freedom of speech) atau sudah termasuk kedalam kategori makar maka
kita harus melihat berbagai peraturan yang berkaitan.
Didalam
ranah HAM, dikenal hak yang tidak boleh dikurangi (Non-derogable
rights) dan hak yang dapat dikurangi (derogable
rights). Didalam Pasal 28I ayat (1) konstitusi
disebutkan hak yang tidak boleh
dikurangi (Non-derogable rights) terdiri dari “Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Hak
inilah yang kemudian dikenal sebagai hak yang tidak boleh dikurangi oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun. “Dalam keadaan apapun” termasuk dalam
keadaan peang, sengketa bersenjata dan dalam keadaan darurat. (Penjelasan Pasal
4 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Diluar
daripada pasal 28I ayat (1) maka hak-hak dikenal sebagai hak yang dapat
dikurangi (derogable rights). Derogable rights adalah
hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam
keadaan tertentu. Dan dapat
dikurangi (non permanen).
Salah
satunya hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech). Didalam pasal 28
disebutkan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
Maka kita kemudian mengenal UU No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan pendapat dimuka umum. UU No. 40 Tahun 1999
Tentang Pers, UU No. 11 tahun 2008 junto UU No. 19 tahun 2016 Tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Dengan demikian maka hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech)
dikategorikan sebagai hak yang dapat dikurangi (Derogable
rights) yang kemudian
diatur didalam UU No. 9 Tahun 1999, UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan UU No.
11 Tahun 2008 junto UU No. 19 Tahun 2016.
Lalu
apakah ketika tagar disampaikan kemudian dapat dikategorikan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech) ?
Secara
sekilas banyak yang berpendapat mengatakan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech).
Namun apakah demikian adanya ?
Mari
kita telusuri satu persatu.
Pertama.
Apakah tagar #gantipresiden hanyalah sekedar aspirasi semata. Bukankah berbagai
fakta-fakta sudah membuktikan.
Berbagai
deklarasi yang pernah dilakukan lebih banyak berisikan ujaran kebencian,
hasutan bahkan menggunakan berbagai tema-tema diluar pilpres.
Masuknya
issu “ganti sistem’, khilafah menumpang di agenda kemudian membuktikan. Ini bukan
sekedar hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech). Tapi
bermotif politik.
Tema
seperti “ganti system” atau khilafah merupakan agenda terselubung untuk
merongrong negara.
Selain
itu Forum-forum yang netral dari urusan politik seperti ibadah haji ataupun
penempelan stiker di pembagian air zamzam justru digunakan.
Sehingga
tidak dapat dikategorikan sebagai hak menyampaikan
pendapat dimuka umum atau kebebasan
berpendapat (freedom of speech).
Jadi.
Jelaslah. Motivasi politik yang kemudian menggunakan idiom hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech).
Kedua.
#GantiPresiden 2019 mengandung perdebatan simantik. Ganti Presiden tidak
sertamerta kita tempatkan sebagai “peralihan kekuasaan” pilpres 2019. Tidak
sesederhana demikian.
Makna
#gantiPresiden 2019 menimbulkan tafsir konstitusional. Negara kita mengenal
peralihan kekuasaan yang kemudian disepakati melalui jalur Pemilihan Presiden.
Bukan gantipresiden. Makna ini kemudian menjadi bias dan tidak mempunyai
sandaran konstitusional.
Pasal
168 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menyebutkan “Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan.
Dengan
demikian maka mekanisme pergantian pilpres 2019 sudah ditentukan. Termasuk
waktu. Lalu mengapa menggunakan determinan istilah #gantipresiden2019. Bukankah
akan menimbulkan kerancuan.
Sehingga
dari pendekatan gramatikal maka mengalami reduksi hakekat pemilihan Presiden
yang telah diatur didalam UU Pemilu.
Ketiga.
Menyamakan Tagar #gantipresiden2019 dengan keadaan tahun 1998 adalah keliru dan
tidak tepat (tidak equal).
Pada
masa Soeharto dikenal paket UU Politik. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan
Umum; (2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang
DPR/MPR; (3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; (4)
UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum; (5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang
Organisasi Massa.
UU
Ini kemudian dicabut sehingga kondisi politik 1998 (zaman Soeharto) menjadi
tidak tepat. Sehingga menjadi tidak tepat dan relevan kemudian menyamakan
keadaan 1998 dengan 2018.
Keempat.
Tagar #gantiPresiden2019 dapat dikategorikan “menggulingkan pemerintahan yang
sah”. Ganti Presiden adalah makna simbolik terhadap keinginan untuk mengganti
Presiden hasil Pilpres 2014.
Bukankah
makna “mengganti” sebelum pilpres merupakan upaya serius terhadap kepemimpinan
yang sah. Pasal 107 KUHP “Maka yang
dilakukan dengan sengaja maksud untuk menggulingkan Pemerintah diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun”.
Pasal
107 KUHP pernah diuji di MK. MK justru memberikan pertimbangan “Pasal makar dan permufakatan jahat diperlukan
untuk mengatur kejahatan yang mengancam kesatuan negara. Pasal-pasal tersebut
juga untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat. Selain itu justru melindungi
kepentingan negara, memberikan perlindungan kepada diri pribadi, keluarga pada
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan atas perilaku tindak pidana
makar.
Melihat
perkembangan tagar yang tidak dapat dikategorikan sebagai hak menyampaikan pendapat dimuka umum atau kebebasan berpendapat (freedom of speech)
dan bermotif politik maka dapat dimengerti kemudian adanya penolakan diberbagai
daerah.
Advokat. Tinggal di Jambi
Dimuat di Jambiberita.com, 6 September 2018
http://jamberita.com/read/2018/09/07/3841/polemik-ganti-presiden/