31 Januari 2017

Kasus Oknum BPN Kota, Butuh Netralitas Aparat

SEJAK dilaporkan ke Polda Jambi Desember lalu, hingga kini kasus antara oknum pegawai BPN Kota Jambi Vs wartawan Jambi Independent, masih dalam proses penyelidikan. Terbaru, Ketua PWI Provinsi Jambi Mursid Sonsang menyesalkan sikap penyidik Polda Jambi yang menjadikannya saksi ahli dalam kasus itu tanpa persetujuan secara resmi dari dirinya.

Kepada rekan-rekan pers kemarin (30/1), Uda Mursid –sapaan akrab Mursid Sonsang- menegaskan bahwa dirinya hanya berdiskusi dengan dua petugas yang mengaku penyidik Polda Jambi. Pertemuan dilakukan di rumahnya, pokok bahasan terkait laporan dua wartawan Jambi Independent atas perlakuan oknum BPN Kota Jambi yang menghalang-halangi tugas wartawan.

Mursid kaget begitu dapat informasi bahwa diskusi kemarin, malah dijadikan dasar oleh penyidik Polda Jambi untuk melemahkan laporan wartawan JI. Padahal, dalam diskusi itu, Mursid menjelaskan bahwa kasus itu, memenuhi unsur penghalang-halangan tugas wartawan. Juga, mengandung unsur intimidasi terhadap wartawan.

Makanya, ketika diskusi itu dijadikan dasar penyelidikan oleh penyidik Polda Jambi, Mursid langsung menyatakan keberatan. Apalagi, ia mengaku sama sekali tak pernah menerima surat resmi dari Polda Jambi yang berisi tentang permintaan keterangan sebagai saksi ahli dalam kasus itu.
Bahkan, Mursid berkali-kali menegaskan bahwa dirinya tak pernah menandatangani BAP atas kasus tersebut. Dia merasa ada kejanggalan dalam proses penyelidikan kasus oknum BPN Kota Vs Wartawan JI. Makanya, ia akan melaporkan persoalan ini ke Irwasum Polri maupun lembaga pengawas kepolisian RI di Jakarta.

Sebagai Ketua PWI Provinsi Jambi, Mursid menegaskan bahwa dirinya berusaha bersikap netral dalam kasus ini. Maka itu, ia juga berharap penyidik Polda Jambi juga menerapkan sikap yang sama. Harus netral, di posisi tengah, jangan mengintimidasi maupun memberatkan atau melemahkan salah satu pihak. Sebab, saat inilah Polri membuktikan profesionalitasnya dalam memproses tindak pidana baik itu umum maupun khusus.

Sementara, Musri Nauli, kuasa hukum Jambi Independent, juga kaget mendengar ada selentingan kabar yang menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh oknum BPN Kota Jambi, tidak memenuhi unsur UU Pers nomor 40 tahun 1999. Padahal, ketika seseorang merampas, menyandera maupun menggiring wartawan, termasuk mengintimidasi wartawan, sudah masuk pasal penghalang-halangan tugas wartawan.

Makna menghalang-halangi, dinilai Musri sangat luas. Intinya, menghalang-halangi bukan berarti menyegel, membredel atau menghentikan aktivitas pers. Menghalang-halangi, artinya menghambat atau membuat pekerjaan pers jadi terhambat.

Karena itu, semua pihak kini sedang menunggu sikap tegas Polda Jambi terkait kasus ini. Pertanyaannya, bisakah Polda Jambi bersikap netral?

http://www.jambi-independent.co.id/kasus-oknum-bpn-kota-butuh-netralitas-aparat/

Musri Nauli Bekali Wartawan JI Soal Hukum

JAMBI – Jambi Independent kedatangan pengacara Musri Nauli, Senin (30/1). Kedatangannya ini, untuk berbincang dan berdiskusi soal hukum bersama tim redaksi Jambi Independent. Dalam diskusi tersebut, Musri mengatakan pada saat menulis berita harus selalu hati-hati dan memikirkan banyak aspek.

Dia mengatakan, pekerja jurnalistik juga harus berhati-hati dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, banyak pihak yang tidak memperhatikan UU ITE ini, sehingga bisa saja terjebak. Dia mencontohkan, untuk memposting sebuah gambar atau komentar di media sosial atau internet, juga harus berhati-hati. Karena jika tidak, bisa saja terjerat dengan UU ITE. “Apalagi pekerja jurnalistik, harus tau betul mengenai UU ITE ini,” katanya.

Selanjutnya, dia juga mengatakan dalam mempublikasikan produk jurnalistik dalam bentuk berita, harus dipastikan tidak meresahkan masyarakat dan mengganggu ketenangan. Meskipun berita yang disampaikan benar, jika akan berakibat meresahkan masyarakat sebaiknya di filter. “Seperti di Jawa, berita terkait kiyai-kiyai sangat difilter. Jarang sekali, karena sangat sensitif,” katanya.

Selain itu, Musri mengatakap jika dalam penulisan berita harus fokus dan jangan sampai bias. Topik yang diangkat menjadi headline adalah sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat banyak. Ini juga berlaku dalam pemilihan kata pada judul berita, sehingga tidak menjadi bias.

Kemudian, terkait dengan upaya mendapatkan informasi, pekerjaan jurnalis tidak bisa dihalang-halangi. Contohnya, ketika jurnalis hendak meminta data ke sebuah instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik, instansi tersebut harus menunjuk satu orang untuk memberikan informasi. Tidak bisa instansi itu menolak memberikan informasi. “Ada undang-undang KIP yang mengatur itu. Tidak harus wawancara pake mengajukan surat dulu dan administrasi lainnya,” tandasnya. (enn/mui)

Harian Jambi Independent, 31 Januari 2017

http://www.jambi-independent.co.id/musri-nauli-bekali-wartawan-ji-soal-hukum/
 

29 Januari 2017

opini musri nauli : Membaca kasus Patrialis Akbar





Diibaratkan pertandingan marathon yang memerlukan reli yang panjang maka dibutuhkan stamina yang matang. Tidak cukup start dengan teriakan yang lantang namun kemudian diloyo di akhir finish. Atau bahkan tidak dapat mencapai finish. Demikianlah kita membaca kasus Patrialis Akbar.

27 Januari 2017

Cerita negeri Astinapura : Kepingan Emas imitasi

 


Tanpa terdengar aba2, sang Resi palsu berseru di negeri Alengka .. Mengabarkan kepingan Emas imitasi..


Negeri Alengka kemudian gempar.. Seruan dari Resi palsu membuat punggawa menjadi murka ..

opini musri nauli : PATRIALIS AKBAR – HERO TO ZERO


Tiba-tiba membaca status FB dari jemaat FB tertangkapnya Patrialis Akbar (PA) dalam operasi Tangkap tangan (OTT) KPK cukup mengagetkan. Entah “gemuruh” angin ataupun suara gelegar Guntur menyambar pagi hari. Ditambah jauh dari perkotaan, tidak ada televisi dan mengandalkan internet, berita tentang tertangkapnya (PA) menimbulkan tanda Tanya. Kasus apa yang kemudian menjerat PA.

25 Januari 2017

opini musri nauli : INDONESIA DARURAT KEBAKARAN



Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan kepada Peserta Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2017 di Istana Negara Jakarta. “Saya rasa semua ingat kebakaran tahun 2015 betul-betul kita pontang-panting," kata Jokowi. 

opini musri nauli : Dedemit Berkelit


Tiba-tiba Sang Raja Astinapura murka.. Laporan punggawa istana mengabarkan dedemit kemudian berkelit..

"Kabar apa lagi yg hendak kau sampaikan, para punggawa .. Bukankah waktu yg lalu Kusuruh mencari dedemit yg sebenarnya.. Mengapa Skrg kemudian dedemit berkelit". ?

21 Januari 2017

Cerita Negeri Astinapura : Muslihat Sengkuni di Padepokan


Kerani padepokan membuat kabar.. Dibuka penerimaan pendekar padepokan..

Datanglah sang pendekar tua. Hendak jajal jurus kanuragan..


Namun sang kerani sadar.. Pendekar yg datang pernah menghancurkan padepokan.. Dgn jurus andalan.. Namun sang penghuni padepokan dapat mengalahkan..

opini musri nauli : KULTUM

Kalimat “7 menit” menghinggapi wacana public kontemporer. Berdasarkan isi Surat Edaran Nomor B.750/Seskab/Polhukam/12/2016, Jokowi memerintahkan pejabat agar pidato cukup 7 menit.


Kalimat “7 menit” mengingatkan istilah “Kuliah tujuh menit (Kultum)”. Sebuah ceramah agama yang dibatasi durasi cukup 7 menit. Ceramah tujuh menit diharapkan agar audience bisa menerima materi ceramah secara ringkas namun dalam satu tema tertentu.

20 Januari 2017

Cerita Negeri Astinapura : Ikat Kepala Titah Raja

 


Pagi hari, sang telik sandi tersentak bangun..

Terdengar suara gong kecil ditabuh bertalu-talu. Mengundang rakyat Astinapura untuk berkumpul.. Mendengar pengumuman dari sang Raja.


Ya. Raja sdh bertitah.. Semua rakyat harus mengenakan ikat kepala pemberian Raja.


"Semua rakyat harus mengenakan ikat kepala sebagai tanda patuh" seruan patih di kerumuman pasar..


Rakyat kemudian bertanya "tanda bakti apalagi yg mesti hamba tunjukkan.. Bukankah hasil panen 6 purnama selalu diserahkan kpd sang Raja.. Ikat kepala bukan tanda.. Ikat kepala bukan simbol kami”..


"Ya.. Ikat kepala bukan simbol rakyat astinapura.. Itu tanda negeri tetangga. Mengapa kita harus ikut seperti negeri tetangga ?" ujar pertapa tua..


Kemudian kerumuman bergumam aneh.. "Entah apa dipikirkan sang Raja. Lebih suka mengurusi ikat kepala daripada lihat lumbung padi yg tdk berisi""